Fenomena meme politik di ruang digital Indonesia terus berkembang pesat, menjadi bagian tak terpisahkan dari dinamika demokrasi. Meme yang awalnya hanya dianggap sebagai hiburan, kini menjelma menjadi medium ekspresi sosial dan politik yang sangat berpengaruh.
Namun, di balik daya tarik dan kecepatan viralnya, batas antara humor, kritik, dan penghinaan sering kali menjadi kabur, terlebih ketika menyangkut simbol negara dan nilai-nilai Pancasila.
Meme politik kerap mengemas isu rumit menjadi lebih ringan dan mudah dicerna masyarakat. Humor dalam meme tidak hanya berfungsi sebagai pelepas ketegangan, tetapi juga mampu membangun solidaritas kelompok dan menyampaikan ketidakpuasan secara tidak langsung.
Dengan bahasa yang santai dan visual yang menarik, meme mampu menarik perhatian khalayak luas, termasuk generasi muda yang aktif di media sosial.
Namun, ketika humor digunakan secara berlebihan atau tanpa batas, ia berpotensi merendahkan martabat politik dan melecehkan figur publik.
Kritik yang awalnya ditujukan pada kebijakan bisa berubah menjadi serangan pribadi atau bahkan pelecehan terhadap simbol negara. Kondisi ini berisiko memperburuk kualitas diskursus politik dan mengaburkan batas antara fakta dan opini.
Kasus terkini yang menjadi sorotan adalah penangkapan seorang mahasiswi Institut Teknologi Bandung (ITB) berinisial SSS, yang diduga membuat dan menyebarkan meme foto Presiden Prabowo Subianto dan mantan Presiden Joko Widodo yang dibuat sedang berciuman. Modifikasi foto tersebut dibuat dengan bantuan kecerdasan artifisial (AI) dan sempat viral di media sosial.
Aparat Bareskrim Polri menangkap SSS di indekosnya di Jatinangor, Jawa Barat, pada awal Mei 2025. Polisi menjerat SSS dengan Pasal 45 ayat (1) jo Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), terkait penyiaran informasi elektronik yang memiliki muatan melanggar kesusilaan dan manipulasi konten. SSS terancam hukuman penjara hingga 12 tahun dan/atau denda maksimal Rp12 miliar.
Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menegaskan bahwa penangkapan mahasiswi tersebut merupakan bentuk kriminalisasi kebebasan berekspresi di ruang digital.
“Ekspresi damai seberapa pun ofensif, baik melalui seni, termasuk satire dan meme politik, bukanlah merupakan tindak pidana. Respons Polri ini jelas merupakan bentuk kriminalisasi kebebasan berekspresi di ruang digital,” ujarnya.
Baca Juga: Reformasi Alat Politik Gen-Z: Meme Menjadi Senjata Baru dalam Kampanye Politik
Hamid menambahkan, penangkapan ini bertentangan dengan semangat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan bahwa keributan di media sosial tidak tergolong tindak pidana.
“Kebebasan berpendapat adalah hak yang dilindungi baik dalam hukum HAM internasional dan nasional, termasuk UUD 1945. Negara tidak boleh anti-kritik, apalagi menggunakan hukum sebagai alat pembungkaman,” tegasnya.
Sementara itu, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, menyatakan bahwa meme yang diunggah mahasiswi ITB itu merupakan bentuk ekspresi kritik terhadap isu “matahari kembar”, di mana kepemimpinan Prabowo sebagai kepala negara masih dibayangi oleh pengaruh Jokowi.
“Ini bagian dari satir, gambaran di mana Prabowo dan Jokowi dianggap sebagai dua matahari yang bersatu,” jelas Isnur.
SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Expression Network) juga mengecam upaya kriminalisasi yang dilakukan oleh Bareskrim Mabes Polri.
“Kritik terhadap pejabat publik melalui meme, sebagaimana dikemukakan oleh SSS, merupakan bentuk ekspresi yang sah dan bagian dari hak asasi manusia yang harus dilindungi oleh negara,” tulis SAFEnet dalam pernyataan sikapnya.
SAFEnet menilai, penggunaan pasal asusila dan manipulasi konten dalam UU ITE dipaksakan oleh kepolisian. “SSS telah gamblang menjelaskan bahwa meme tersebut ia buat dengan menggunakan AI, sebagai kritik atas kekosongan regulasi AI pula,” tambahnya.
Baca Juga: Deepfake Berita Politik dalam Bentuk Meme Melanggar Nilai-Nilai Pancasila
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, menegaskan bahwa meme yang dinilai sebagai kritik sosial dalam bentuk seni metaforis harus dipahami dalam konteks kebebasan berekspresi.
“Itu adalah bagian dari kebebasan pendapat. Problemnya adalah tidak semuanya bisa menangkap metafora semacam ini sebagaimana pesan yang hendak disampaikan. Itu butuh kecerdasan,” ujarnya.
Herdiansyah menambahkan, meme yang menunjukkan ‘ciuman’ antara dua tokoh nasional harus dipahami sebagai sindiran terhadap relasi kekuasaan yang dianggap terlalu intim dan tidak wajar, bukan sebagai pelanggaran moral atau norma kesusilaan.
“Kalau kita lihat, meme-meme semacam ini juga muncul di dunia internasional. Ada Trump dan Putin, Trump dan Xi Jinping, bahkan pemimpin Soviet dan Jerman Timur. Itu semua simbol kritik politik,” jelasnya.
Sebagai produk budaya digital, meme memiliki peran strategis dalam membentuk opini publik. Kemampuannya menyederhanakan isu kompleks membuat meme mudah diterima dan diingat. Namun, sifat meme sebagai konten buatan pengguna (user-generated content) membuatnya rentan terhadap manipulasi dan penyebaran disinformasi.
Meme politik yang provokatif, hiperbolis, atau bahkan manipulatif dapat membentuk persepsi publik secara tidak akurat. Dalam beberapa kasus, meme bahkan digunakan sebagai alat propaganda untuk memecah belah masyarakat atau menjatuhkan lawan politik.
Jika tidak dikontrol, penyebaran meme bermuatan hoaks dapat merusak tatanan demokrasi dan melanggar prinsip kebenaran serta keadilan yang diusung Pancasila.
Baca Juga: Bahasa Indonesia sebagai Senjata Politik: Analisis terhadap Pengaruhnya dalam Media Sosial
Dalam menghadapi maraknya meme politik, nilai-nilai Pancasila seharusnya menjadi acuan utama dalam menilai etika sebuah konten. Prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, serta kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, dapat menjadi standar dalam menciptakan dan menyebarkan meme.
Meme yang menyerang secara personal, menyebarkan kebencian antarkelompok, atau menistakan simbol negara jelas bertentangan dengan semangat Pancasila. Sebagai bagian dari budaya digital yang membentuk kesadaran kolektif, tanggung jawab etis dalam produksi dan konsumsi meme tidak boleh diabaikan.
Masyarakat dituntut untuk selektif dalam mengonsumsi konten politik di media sosial. Literasi digital menjadi kunci agar publik tidak hanya menjadi konsumen pasif, tetapi juga kritis terhadap setiap informasi yang diterima.
Dengan kemampuan berpikir kritis, masyarakat dapat membedakan antara kritik yang konstruktif dan penghinaan yang merusak.
Penulis:
1. Karina Maulidia Kusuma
2. Olivia Chairunisa Wijaya
3. July Wulandari S.
Mahasiswa Universitas Pancasila
Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Daftar Pustaka
Mahasiswi Terduga Pembuat Meme Prabowo-Jokowi Ciuman Terancam 6 Tahun Penjara dan Denda Rp12 Miliar. (2025). Diakses pada 24 Mei 2025 dari https://www.dobrak.co/news/9315127754/mahasiswi-terduga-pembuat-meme-prabowo-jokowi-ciuman-terancam-6-tahun-penjara-dan-denda-rp12-miliar
Bebaskan mahasiswi yang ditangkap karena meme Prabowo-Jokowi. (2025). Diakses pada 24 Mei 2025 dari https://www.amnesty.id/kabar-terbaru/siaran-pers/bebaskan-mahasiswi-yang-ditangkap-karena-meme-prabowo-jokowi/05/2025/
Raihan, Muhammad. 2025. Meme Jokowi-Prabowo dan Ancaman Nyata Kebebasan Sipil. Diakses pada 24 Mei 2025 dari https://nasional.kompas.com/read/2025/05/11/07292931/meme-jokowi-prabowo-dan-ancaman-nyata-kebebasan-sipil
David Indra, Hasrul, Suryanef, Al Rafni. 2024. Analisis isi pesan politik berbentuk humor melalui media Tiktok jelang Pemilihan Umum. Journal of Education, Cultural and Politics. 4(2).
Margaretta, Puspita, Permono, Fitriono. 2022. Penerapan Pancasila dalam bermedia sosial. Intelektiva. 4(4).
Ikuti berita terbaru di Google News