Mengapa Sertifikasi Halal Indonesia Kalah dengan Malaysia?

sertifikasi halal Indonesia vs malaysia
Mengapa Sertifikasi Halal Indonesia kalah dari Malaysia?

Sertifikasi halal di negara-negara penduduk mayoritas Islam bukan lagi menjadi sebatas jaminan kehalalan produk konsumsi dan produk pakai ataupun indikator halal haram bagi umat muslim, melainkan berubah menjadi komoditas-dagang.

Mengapa demikian, karena saat ini sertifikat halal tidak lagi berbentuk kepercayaan, melainkan upaya antisipasi terhadap bentuk ’penipuan’ atas kandungan halal dalam suatu produk, baik itu dalam proses maupun berbentuk barang jadi. Kehalalan produk juga dikenal akan karena kesehatan dan keamanannya bahkan di negara non muslim.

Di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) merupakan lembaga yang bertugas mengeluarkan fatwa sekaligus sertifikasi halal. MUI melakukan pengawasan dalam proses sertifikasi halal meliputi produk-produk makanan, minuman, obat-obatan, dan kosmetika melalui LPPOM (lembaga bawahan MUI).

Bacaan Lainnya
DONASI

Baca juga: Potensi Besar Global Halal Market

Para produsen yang ingin memiliki sertifikat halal harus melalui serangkaian proses seperti mengisi data produsen atau fasilitas, membayar biaya pendaftaran dan biaya akad sertifikasi halal, mengisi dokumen, pemeriksaan dokumen, baru kemudian penerbitan sertifikat halal. Tindakan pasca sertifikasi diawasi oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).

Di Malaysia, Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM) merupakan satu-satunya lembaga yang berhak mengeluarkan sertifikasi halal. Kinerja JAKIM langsung diawasi oleh pemerintah Malaysia sehingga proses pengeluaran sertifikat halal dikenal ketat.

Proses tersebut meliputi pendaftaran, preaudit, audit, evaluasi pasca-audit, dan pengeluaran sertifikat halal. Sertifikat yang dikeluarkan oleh JAKIM diakui oleh international dan sertifikat yang dikeluarkan selain oleh JAKIM dinyatakan tidak sah baik untuk perdagangan domestik maupun ekspor.

Baca juga: Destinasi Pariwisata Halal Sebagai Tonggak Pertumbuhan Ekonomi Daerah

Walaupun standar maupun prosedur sertifikasi di negara Indonesia dan Malaysia tidak terdapat perbedaan yang signifikan, nyatanya sertifikat halal yang dikeluarkan oleh MUI kalah bersaing dengan sertifikat halal yang dikeluarkan oleh JAKIM.

Merujuk pada Global Islamic Indicator 2020, Indonesia menempati urutan keempat di bawah Malaysia sebagai posisi pertama dalam sektor makanan dan minuman halal. Perbedaan apa yang menyebabkan label halal Indonesia kalah bersaing dengan label halal Malaysia? Artikel ini bertujuan untuk membahas mengapa sertifikasi halal Indonesia kalah dengan Malaysia.

Pengertian Sertifikasi Halal

Sertifikat halal adalah fatwa tertulis yang dikeluarkan oleh lembaga muslim berwenang yang menyatakan”kehalalan suatu produk-sesuai-dengan syariat Islam. Sertifikat halal ini merupakan syarat untuk mendapatkan ijin pencantuman label halal pada kemasan produk dari instansi pemerintah yang berwenang. Sertifikasi halal diterapkan pada produk pangan, obat-obatan, kosmetika dan produk lainnya.

Negara-negara muslim di dunia biasanya menerapkan sertifikat halal pada produk yang diperdagangkan di negara mereka, baik itu produk domestik maupun produk impor. Hal itu dilakukan sebagai wujud jaminan bagi konsumen muslim bahwa produk yang mereka konsumsi diproses secara halal dan tidak mengandung bahan-bahan haram. Sehingga dapat menenangkan batin konsumen muslim dalam mengkonsumsinya dan terhindar dari dosa.

Baca juga: Potensi Pasar Kosmetik Halal di Indonesia

Moenip (2006) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa negara Indonesia, Malaysia, dan Singapura mempunyai standar halal yang hampir identik. Namun, negara-negara non-Islam seperti Jepang yang mencoba membidik pangsa pasar halal, berkiblat kepada Malaysia dalam rujukan standar sertifikasi halal produk mereka, baru kemudian berkiblat kepada Indonesia. Hal tersebut tentunya dipegaruhi oleh beberapa faktor. Berikut beberapa perbedaan yang paling menentukan mengapa produk sertifikasi halal Malaysia lebih dilirik pada pangsa pasar halal international:

1. Perbedaan Keketatan Regulasi Halal

Di Indonesia, beberapa masalah seputar regulasi halal sering menjadi sorotan berita, seperti kasus produsen yang berani menempelkan logo halal pada produknya padahal mereka belum mendapatkan sertifikasi halal.

Kesadaran produsen melabeli sertifikat halal pada makanan, obat-obatan, dan kosmetika lokal belum begitu tinggi. Banyak negara non muslim yang begitu bersemangat mendapatkan label halal pada produknya. Bukan karena ingin menjadi islami, melainkan untuk merebut pangsa pasar umat Islam dalam membeli produk halal. Bahkan, sekarang ini pun banyak kalangan non muslim yang lebih menyukai produk bersertifikat halal karena mereka percaya bahwa halal itu lebih terkontrol kualitasnya, lebih sehat, dan lebih bersih.

Sedangkan negara Malaysia menerapkan keketatan yang tinggi mengenai sertifikasi halal baik di sektor pangan, obat obatan, kosmetika, dan produk lainnya. Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM) telah mewajibkan perusahaan national dan multinasional baik itu milik muslim ataupun non muslim untuk menerapkan regulasi halal pada produk yang dipasarkan, serta menunjuk auditor internal untuk mengawasi proses produksi.

Malaysia juga merupakan satu-satunya negara di dunia yang dikenal menerapkan standar halal dan dikelola secara ketat. Sehingga pangsa pasar global baik itu muslim maupun non-muslim lebih percaya terhadap produk bersertifikasi halal yang dikeluarkan oleh JAKIM.

Baca juga: Membandingkan Kondisi Wisata Halal di Arab Saudi, Turki, Indonesia, dan Malaysia saat Pandemi Covid-19

2. Branding Produk Bersertifikasi Halal

Mengutip dari Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia 2019-2024, pemasaran Indonesia pada sektor makanan, pakaian dan kosmetik halal masih terbilang belum maksimal dan perlu dievaluasi.

Ketua Kamar Dagang Industri (Kadin) Rosan P. Roeslani mengatakan Untuk membangun industri halal ini dibutuhkan value chain dari makanan dan minuman halal. Oleh karena itu peran UMKM sangat penting di setiap value chain.

Branding penerapan sertifikat halal pada produk UMKM Indonesia juga penting untuk meningkatkan kesadaran produsen akan pasar produk halal global. Indonesia juga harus berperan lebih aktif untuk marketing dan berhubungan dengan negara-negara muslim yang mayoritas pangsa pasarnya baik untuk meningkatkan branding produk muslim bersertifikat halal milik Indonesia.

Malaysia memiliki industri yang kuat di pemasaran dan manufaktur produk-produk halal. Dukungan dari pemerintah Malaysia telah memperkuat hubungan dengan negara-negara mitra dagang utama di dunia terutama yang membutuhkan produk halal.

Pemerintah Malaysia telah mendirikan Halal Development Centre (HDC) yang dibentuk dengan tujuan untuk mempromosikan Malaysia sebagai pusat halal internasional. Karena branding ini, Jepang menyadari bahwa Malaysia adalah pelopor dalam penerapan sertifikasi terhadap produk yang ditujukan untuk kaum muslim. Jepang sangat merasa sangat cocok dengan standar tinggi yang diterapkan Malaysia dalam hal sertifikasi halal.

Kesimpulan

Regulator halal Indonesia harus lebih memperketat sertifikasi halal pada produk yang akan dikonsumsi, maupun yang akan diekspor. Indonesia juga harus lebih sering melakukan branding produk-produk halal buatan Indonesia ke negara OKI maupun non OKI.

Potensi Indonesia yang besar dalam pasar produk halal akan sia-sia apabila tidak dimanfaatkan karena 87% penduduk Indonesia adalah umat muslim. Sehingga negara Indonesia dapat bersaing dengan negara lain dalam sertifikasi halal seperti Malaysia.

Nama Penulis: Muhammad Naufal Abdullah
Mahasiswa Ekonomi Syariah IPB University angkatan 57

Editor: Rahmat Al Kafi

Daftar Pustaka

Afroniyati, L. (2014). Analisis ekonomi politik sertifikasi halal oleh Majelis Ulama Indonesia. JKAP (Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik)18(1), 37-52.

Atiah, I. N., & Fatoni, A. (2019). Sistem Jaminan Halal: Studi Komparatif Indonesia dan Malaysia. Syiar Iqtishadi: Journal of Islamic Economics, Finance and Banking3(2), 37-50.

Razaly, M. M., & Zakaria, Z. (2018). PELAKSANAAN SISTEM PENGURUSAN JAMINAN HALAL DI RUMAH-RUMAH SEMBELIHAN AYAM HALAL DAN ISU-ISU BERKAITAN: SATU SOROTAN LITERATUR: The Implementation of Halal Assurance Management System in Malaysia’s Certified Halal Slaughter Houses and Its Related Issues: A Literature Review. Journal of Shariah Law Research, 3(1), 105-124.

Puspitasari, E., & Roosiani, I. (2021). Sertifikasi Halal Sebagai Bagian Strategi Ekonomi Pemerintahan Shinzo Abe. IDEA: Jurnal Studi Jepang3(2), 130-142

Muhtadi, T. Y. (2020). Perbandingan Mekanisme Sertifikasi Produk Halal Antara Indonesia Dengan Malaysia. Pelita: Jurnal Penelitian dan Karya Ilmiah, 32-43.

Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia 2019-2024. (2019). BAPPENAS, Jakarta: Indonesia

Majelis Ulama Indonesia. (2008). Prosedur Sertifikasi Halal MUI. Diakses pada 7 Maret 2022, dari https://halalmui.org/mui14/main/page/prosedur-sertifikasi-halal-mui

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI