Mengenal Lebih dalam Kutubut Tis’ah Menurut Prespektif Ilmu Hadist

Kutubut Tisah

A. Pendahuluan

Secara etimologi, hadist mempunyai makna segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan serta sifat-sifat fisik dan suri tauladan nabi. Dengan perngertian yang semacam ini, hadist disininimkan dengan istilah sunnah. Dalam pengertian yang semacam ini, hadist disinonimkan dengan istilah sunnah.

Berdasarkan definisi tersebut, bentuk-bentuk hadist dapat dibedakan menjadi 4 bagian, yaitu: sabda, perbuatan, taqrir, ihwal nabi, yaitu segala sifat dan dan keadaan beliau. Menurut Nur al-Din Ltr, definisi tersebut masih dirasa dikurang sempurna, karena dalam kitab-kitab hadist banyak dijumpai perkataan-perkataan yang tidak bersumber dari nabi, melainkan dari sahabat dan tabi’in.

Sehingga pengertian hadist secara termonologi yang ideal adalah segala sesuatu yang disandarkan pada nabi muhammad S.A.W, berupa ucapan, perbuatan, taqrir, sifat-sifat fisik atau etik, dan juga segala sesuatu yang disandarkan kepada para sahabat dan tabi’in. demikian ini makna hadist menurut para ahli. 

Bacaan Lainnya

Berbicara tentang hadist, hadist merupakan sumber hukum islam yang kedua setelah al-qur’an. Di zaman sekarang ini, hadist-hadist nabi muhammad sudah dibukukan oleh para ulama-ulama islam terdahulu.

Mengenal kitab-kitab hadis bagi umat Islam khususnya para calon sarjana muslim adalah suatu keharusan. Karena dengan diketahuinya kitab hadis tersebut, baik mulai dari pengarangnya, sistematika penulisannya atau yang lain yang berhubungan dengan masalah studi hadis akan memudahkan proses pencarian hadis langsung dari sumbernya dengan melakukan penelitian ulang tentang kualitas hadis sehingga tidak ragu-ragu untuk berhujjah menggunakan hadis.

Hadis atau sunnah, baik secara struktural ataupun fungsinya telah disepakati oleh para muslimin dari berbagai aliran Islam sebagai sumber ajaran agama setelah Al-Quran karena dengan adanya hadis itulah ajaran Islam semakin menjadi jelas.

Baca juga: Pembahasan Mengenai Kritik Sanad Hadist

B. Pembahasan

1. Kitab Shahih Al-Bukhari

Kitab “shahih al-Bukhāri” judul lengkapnya adalah Al-Jāmi al-Musnad al Mukhtasar Min Umūr Rasulillāh wa Sunanih wa Ayyamih.” Kitab ini disusun selama enam belas tahun, dimulai saat Imam al-Bukhari berada di Masjid al-Haram, Mekah dan diselesaikan di Masjid Nabawi Madinah.

Menurut Ibnu Shalah dan al-Nawawi kitab ini berisi 7.275 hadis, dikarenakan banyak yang diulang dan jika tidak diulang, jumlah hadis yang ada di dalamnya sebanyak 4.000 buah hadis.

Jumlah hadis sebanyak itu disusun oleh Imam al-Bukhari dan gurunya Syaikh Ishaq yang merupakan hasil saringan dari satu juta hadis yang diriwayatkan oleh 80.000 orang rawi.

Imam al-Bukhari terkenal memiliki daya hafal yang sangat tinggi. Semua hadis yang beliau koleksi dari berbagai kota dan dari puluhan ribu rawi tersebut mampu beliau hafal. Namun tidak semua hadis yang beliau hafal kemudian diriwayatkan dan dituangkan dalam kitabnya, melainkan diseleksi terlebih dahulu secara ketat dengan menetapkan syarat-syarat. Beliau sangat cermat dan teliti.

Selain itu, setiap kali hendak menulis hadis dalam kitabnya, beliau mandi dan shalat istikharah dua rekaat terlebih dahulu untuk meyakinkan bahwa hadis yang akan ditulis benar-benar shahih.

Kitab shahih al-Bukhari ditulis secara sistematis. Hadis-hadis di dalamnya dikelompokkan berdasarkan topik-topik yang lazim dipergunakan dalam sistematika penulisan kitab fikih. Hanya saja kitab hadis itu diawali dengan pembahasan tentang wahyu dan diakhiri dengan pembahasan tentang tauhid.

Kitab ini dibagi dalam seratus bagian dan setiap bagiannya terdiri atas beberapa bab. Dalam setiap bab terhimpun hadis-hadis yang berbicara tentang topik yang sama.

Hadis-hadis tersebut ditulis lengkap beserta sanadnya. Imam al-Bukhari menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh sebuah hadis untuk dapat disebut sebagai hadis shahih. Syarat-syarat yang ditetapkan oleh Imam al-Bukhari sebagai berikut;

  • Perawinya harus seorang muslim, sadiq (jujur), berakal sehat, tidak mudallis (berbohong), menipu dan mengada-ada, tidak mukhtalit (mencampuradukkan hak dan batil), nilai-nilai utama dan nilai-nilai yang rendah, serta bergaul dengan orang-orang jahat pada satu kesempatan, dan orang-orang baik pada kesempatan lain, adil, dzabit atau kuat daya ingatnya, sehat pancaindera, tidak suka ragu-ragu, dan memiliki I’tikad baik dalam meriwayatkan hadis.
  • Sanadnya bersambung sampai kepada Nabi Muhammad SAW
  • Matannya tidak syaż (menyimpang dari ajaran agama yang benar) dan tidak ber illat (cacat secara akli maupun hati nurani).
  • Perawi hadis harus muasirah (satu masa), liqa’ (bertemu langsung/bertatap muka), dan subut sima’ihi (mendengar langsung secara pasti dari gurunya).

Selain itu, Imam al-Bukhari hanya berpegang kepada perawi-perawi hadis yang memiliki integritas kepribadian dan kualifikasi persyaratan yang tertinggi. Murid-murid Imam Ibnu Syihab az-Zuhri misalnya, oleh Imam al-Bukhari dibagi ke dalam lima tingkatan (tabaqat). Tingkatan pertama, mereka yang memiliki sifat adil, kuat hafalan, teliti, jujur, dan lama menyertai az-Zuhri, seperti Malik dan Sufyan bin Uyainah.

Tingkatan kedua, memiliki sifat yang sama dengan tingkatan pertama hanya saja tidak lama menyertai az-Zuhri, seperti al-Auza’i, dan al-Laits bin Sa’ad. Tingkatan ketiga, mereka yang memiliki kualifikasi di bawah tingkatan kedua, seperti Ja’far bin Barqan dan am’ah bin Shalih.

Tingkatan yang keempat dan kelima adalah mereka yang tercela atau majruh dan lemah. Dalam meriwayatkan hadis Imam al-Bukhari hanya memilih perawi tingkatan pertama dan hanya sedikit dari tingkatan kedua. Beliau sama sekali tidak meriwayatkan hadis dari para perawi yang berada pada tingkatan ketiga, keempat, dan kelima.

Kitab Shahih al-Bukhari ini laksana cahaya yang terang benderang, melebihi terangnya sinar matahari. Kaum muslimin, bahkan para ulama menilai kitab ini sebagai kitab yang luar biasa. Imam Muslim misalnya, beliau banyak mengambil faedah dari karya agung ini. Beliau mengatakan bahwa karya ini tidak ada tandingannya dalam ilmu hadis.

Imam al-Nawawi mengatakan dalam muqaddimah Syarah Shahih Muslim, “Para ulama sepakat bahwa buku yang paling shahih setelah al-Qur‟an adalah dua kitab shahih, Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim.”

Cukuplah pengakuan para imam ahli hadis ini menunjukkan keagungan kitab ini. Abu Ja’far Mahmud bin Amr al-Uqaili rahimahullah mengisahkan ketika al-Bukhari menulis kitab shahih ini, beliau membacakannya kepada Imam Ahmad, Imam Yahya bin Main, Imam Ali bin al-Madini, juga selain mereka. Maka mereka mempersaksikan tentang keshahihan hadis-hadis yang ada.

Kitab Shahih al-Bukhari selain sangat berguna bagi umat Islam, ia mampu menginspirasi para ulama yang lain untuk berkarya. Sebagai bukti, banyak ulama-ulama ahli hadis yang juga menyusun kitab sejenis dengannya.

Selain itu, ada pula ulama yang menyusun kitab-kitab syarah, sebagai pemapar dan penjelas, dari kitab Shahih al-Bukhari. Adapun kitab-kitab yang mensyarah (memaparkan dan menjelaskan) Shahih al-Bukhari ada 82 buah, antara lain:

  • Kitab Umdatul Qari Syarah  al-Bukhāri oleh al-Allamah Badruddin al- Aini.
  • Kitab at-Tanqih, karya Badruddin az-Zarkasyi.
  • Kitab at-Tausyih, karangan Jalaluddin as-Suyuthi.
  • Kitab A’lamu al-Sunan, karangan al-Khaththabi.
  • Kitab Syarh al-Bukhāri oleh Ibnu Baththal
  • Kitab Fath al-Bari Syarh sahih al-Bukhāri oleh al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani.

Kitab induk dari syarah Shahih al-Bukhari adalah Fathul Bari karangan al-Asqalani. Sedangkan sebaik-baiknya ringkasan (mukhtasar) dari Shahih al-Bukhari adalah at-Tajridu al- sahih yang disusun oleh Husain ibn al-Mubarak.

Baca juga: Ilmu Hadis: Pengertian dan Sejarah Perkembangan

2. Kitab Shahih Muslim

Kitab ini judul lengkapnya adalah “al-Musnad al- sahih al-Mukhtasar min al-Sunan bi Naql al-Adl an al-Adl an Rasulillah”. Secara singkat terjemahan dari judul kitab ini adalah “Kitab Hadis Bersanad Shahih yang Ringkas Diriwayatkan oleh orang-orang adil dari orang-orang Adil dari Rasulullah.”

Imam Muslim menghabiskan waktu kurang lebih 15 tahun untuk menyusun kitab ini. Sebelum memutuskan untuk menuliskan sebuah hadis dalam kitab ini, Imam Muslim terlebih dahulu meneliti dan mempelajari keadaan para perawi, menyaring hadis yang akan diriwayatkan, dan membandingkan riwayat yang satu dengan riwayat yang lain.

Tentang ketelitian Imam Muslim, dapat diketahui dari ungkapan beliau sendiri, “Tidaklah aku mencantumkan sebuah hadis dalam kitabku ini, melainkan dengan alasan. Tidak pula aku menggugurkan suatu hadis, melainkan dengan alasan pula.”

Demikianlah sebuah kitab yang agung, luas dan dalam kandungan maknanya. Seolah laut lepas tak bertepi. Imam Muslim pernah berkata, sebagai ungkapan kebahagiaan beliau, “Apabila penduduk bumi ini menulis hadits selama 200 tahun, maka usaha mereka hanya akan berputar-putar di sekitar kitab musnad (shahih) ini.

Menurut “Ajjaj al-Khatib”, Shahih Muslim menghimpun hadis shahih sebanyak 3.030 buah hadis tanpa pengulangan, dan menjadi 10.000 buah hadis dengan pengulangan. Sementara menurut Ahmad bin Salamah dan Ibnu Shalah “Shahih Muslim” berisi 4.000 hadis tanpa pengulangan, dan 12.000 hadis dengan pengulangan. Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, namun hadis yang ditulis oleh Imam Muslim merupakan hasil seleksi yang ketat dari 300.000 hadis yang dikumpulkannya.

Kitab Shahih Muslim memiliki karakteristik tersendiri, yang berbeda dengan metode Imam al-Bukhari. Imam Muslim tidak mencantumkan judul-judul dalam setiap pokok bahasan untuk menegaskan pelajaran yang terdapat dalam hadis yang beliau sebutkan. tetapi, beliau lebih memilih untuk menyebutkan tambahan-tambahan lafaz pada hadis pendukungnya. Sehingga, dalam menuliskan satu hadis pokok, beliau tambahkan hadis-hadis penguat lain untuk menjelaskan kandungan ilmu dari hadis tersebut. Sederhananya, beliau ingin menjelaskan hadis dengam hadis yang lain.

Sedangkan Imam al-Bukhari, beliau menyebutkan judul bab untuk mengungkap kandungan hadis, tanpa menyebutkan hadis penguatnya. Imam al-Bukhari memotong hadis sesuai dengan tema bab. Sementara Imam Muslim menuliskan satu hadis secara utuh. Sehingga, kita akan sering menemui pengulangan satu hadis dalam Shahih alBukhari. Walaupun dua kitab ini berbeda dalam sistematika penyusunannya, namun Imam Muslim banyak terpengaruhi oleh metode penulisan gurunya, Imam Al Bukhari.

Para ulama berbeda pendapat mengenai mana yang lebih unggul antara Shahih Muslim dengan Shahih al-Bukhari. Kebanyakan ahli hadis berpendapat bahwa Shahih al-Bukhari lebih unggul. Sedangkan sejumlah ulama lain lebih mengunggulkan Shahih Muslim. Hal ini menunjukkan perbedaan tipis antara dua kitab shahih ini. Dalam sistematika penulisan, Imam Muslim lebih unggul. Namun dari segi ketatnya syarat keshahihan, Shahih al-Bukhari lebih utama. Yang jelas disepakati, bahwa kedua kitab hadis shahih ini sangat berperan dalam standarisasi bagi akurasi akidah, syariah, fikih, dan semua bidang ilmu dalam Islam.

Kitab yang memberikan syarah terhadap Shahih Muslim ada 15 buah, antara lain:

  • Al-Mu’allim bi Fawadi Muslim, karangan al-Maazary.
  • Al-Ikmāl, karangan al-Qadli al-‘Iyad.
  • Minhājul Muhaddin, karangan an-Nawawi.
  • Ikmāl al-Ikmāl, karangan az-Zawawi.
  • Ikmā al-Ikmāl al-Muallim, karangan Abu Abdillah Muhammad al-Abiyi al-Maliki

3. Kitab Sunan Abu Dawud

Kitab “Sunan Abi awud”, disusun oleh Imam Abu Dawud ketika beliau di Tarsus, sebuah kota kecil di Irak, selama dua puluh tahun. Dari 500.000 buah hadis yang berhasil dikumpulkan, Imam Abu Dawud hanya mencantumkan 4.800 buah hadis dalam kitab sunan-nya. Kitab “sunan”, berbeda dengan kitab jami’, musnad, atau yang lainnya.

Kalau Jami mencakup semua tema keagamaan, sedangkan sunan hanya memuat hadis-hadis yang berkaitan dengan masalah fikih saja. Sistematika penulisan hadis di dalamnya pun biasa mengikuti tema-tema yang lazim dalam susunan kitab fikih.

Adapun Musnad, adalah kitab hadis yang disusun berdasarkan sanad hadis mata rantai periwayatan hadis dari para sahabat Nabi saw. Biasanya kitab musnad mendahulukan hadis-hadis yang berasal dari sahabat-sahabat utama. Model kitab musnad seperti ini dapat kita jumpai semisal pada kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal.

Di dalam “Kitab Sunan”, Imam Abu Dawud tidak hanya memuat hadis shahih, tetapi juga hadis-hadis hasan, dan hadis-hadis dha’if yang tidak terlalu lemah. Abu Dawud pun mencantumkan hadis-hadis yang tidak disepakati oleh para ulama hadis untuk ditinggalkan. Adapun hadis-hadis yang sangat lemah, tetapi dengan penjelasan sebab-sebab kelemahannya.

Hadis-hadis jenis ini, menurut beliau lebih baik dari pada pendapat orang semata-mata. Kitab Sunan Abi Dawud ini diakui oleh mayoritas dunia muslim sebagai salah satu kitab hadis yang paling autentik. Beberapa kitab Syarah dari Sunan Abi Dawud antara lain:

  • Abu Sulaiman Hamad bin Muhammad bin Ibrahim al-Khattibi (w 386 H), yang menulis Syarh Ma’alim as-Sunan.
  • Syaraf al-Haq Abadi (w. 1329) yang menulis kitabnya, Aun al-Ma’būd.
  • Khalil Ahmad as-Sarnigari (w. 1367) yang menulis Bażl al-Majhūd Fi Halli Abi Dāwūd.
  • Abu Hasan Muhammad bin Abd al-Hadi as-Sanadi ( w.1139).

4. Kitab Sunan An-Nasa’i

Kitab Sunan an-Nasa’i termasuk salah satu di antara “al-Kutub al-Shihah as-Sittah”. Sunan an-Nasa’i terbagi dua, Sunan al-Kubra dan Sunan al- sughra. Sunan al- sughra disebut sunan al-Mujtaba` (Sunan Pilihan), karena kualitas hadis-hadis yang dimuat dalam sunan ini hanya hadis-hadis pilihan. Penulisan kitab Sunan al-Sughra ini dilatarbelakangi oleh peristiwa ketika Imam an-Nasa’i memperkenalkan sebuah kitab hadis kepada seorang penguasa di kota Ramalah, Palestina, penguasa itu bertanya kepada an-Nasa’i apakah di dalamnya hanya memuat hadis-hadis shahih.

Imam an-Nasa’i menjawab bahwa di dalam kitabnya tersebut dimuat hadis shahih, hasan dan yang mendekati keduanya. Kemudian penguasa itu menyuruh untuk menuliskan hadis-hadis yang shahih saja dalam kitabnya. Kemudian Imam an-Nasa‟i meneliti kembali hadis-hadis yang ada pada Kitab Sunan al-Kubra, hasilnya, kitab tersebut menjadi ramping dan dinamakan Sunan al-Sughra. Karena isinya pilihan kemudian dinamai pula “Sunan al-Mujtaba.”

Kitab Sunan yang kini beredar di kalangan umat Islam adalah kitab Sunan al-Sughra yang diriwayatkan oleh Imam Abdul Karim an-Nasa’i, putra Imam an-Nasa’i, seorang ahli hadis yang meninggal pada tahun 344 H. Jumlah hadis yang terdapat dalam kitab Sunan al-Sughra menurut Abu Zahrah sebanyak 5761 buah hadis. Sedangkan sistematika susunannya mengikuti lazimnya sistematika kitab fikih. Pada jilid satu Sunan al-Sughra ini dimulai dengan “Kitāb at- taharah”, yang membahas tentang tata cara bersuci dan ditutup dengan “Kitāb al-Mawāqit” yang menguraikan tentang waktu shalat.

Kitab ini meskipun menurut pengakuan penulisnya berisi hadis-hadis pilihan dan shahih semuanya, namun menurut para ahli merupakan kitab sunan setelah shahihain, yang paling sedikit memuat hadis dhaif dan para rawi yang “majrūh.” Hal ini menurut Muhammad Abu Syuhbah, merupakan bukti ketelitian dan kecermatan Imam an-Nasa’i dalam menyusun kitab hadis tersebut. Oleh karenanya para ulama menempatkan “Al-Mujtaba” berada satu tingkat setelah Kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim.

Subhi al-Shalih mengemukakan bahwa kitab hadis yang termasuk tabaqāt al-Tasniyah, berada pada peringkat kedua, adalah Jāmi‟ al-Tirmidżi, Sunan Abu Dāwūd, Sunan Ahmad bin Hanbal, dan Mujtaba` an-Nasā’i. Semua kitab tersebut tidak sampai pada tingkat “Shahihain atau Muwatta’‟ Imam Malik. Namun satu hal yang pasti, pengarangnya tidak bersikap “tasahul” (bersikap longgar dalam meriwayatkan hadis). Kitab Sunan an-Nasa’i adalah kitab yang kurang mendapat syarah dibandingkan kitab sunan yang lain. Di antara yang menulis syarah kitab Sunan an-Nasa,i adalah Jalaluddin al-Suyuthi dalam kitab Zahrur Rabbi ala al-Mujtaba`.

5. Kitab Sunan at-Tirmidzi

    Salah satu karya besar Imam at-Tirmidzi adalah Sunan at-Tirmidzi. Kitab hadis karya beliau ini termasuk unik, ada yang menyebutnya al-Jami’ lengkapnya al-Jami’ At-Tirmidzi. Kedua sebutan ini sah karena masing-masing memiliki argumen yang kuat. Disebut “al-Jami” karena temanya tidak hanya persoalan fikih, melainkan mencakup persoalan-persoalan yang memenuhi kriteria kitab al-Jami’. Ada delapan tema yang minimal harus tercantum dalam sebuah kitab “al-Jami‟. Delapan tema itu adalah; akidah; hukum-hukum fikih, pemerdekaan budak, etika makan dan minum, tafsir Al-Qur’an, sejarah dan biografi tokoh, bepergian (safar), kejadian-kejadian penting dan pujian terhadap perjalanan hidup seseorang (manaqib). Selain itu, sebuah kitab hadis bisa saja dinamkan al-Jami’, secara harfiah berarti menghimpun, apabila mencantumkan hadis-hadis yang telah termuat di dalam kitab-kitab yang sudah ada. Kitab al-Jami karya at-Tirmidzi di dalamnya membicarakan delapan tema yang ada pada sebuah kitab jami’.

    Sedangkan yang menamai kitab karya at-Tirmidzi ini dengan Sunan, karena kitab tersebut menghimpun hadis-hadis Nabi berdasarkan bab-bab fikih. Kualitas hadis yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dalam kitabnya bervariasi dari yang shahih, hasan, hingga dhaif, gharib dan mu’allal. Dengan  demikian, Sunan at-Tirmidzi memiliki keistimewaan yang mengagumkan ketekunan penyusunannya di dalam menjelaskan letak cacat atau kekurangan hadis-hadis hasil penelitiannya yang masuk ke dalam kategori dha’if. Hadis-hadis dhaif yang terdapat dalam kitab ini pada umumnya hanya menyangkut fadail al-amal (anjuran melakukan perbuatan-perbuatan kebajikan), hadis semacam ini lebih longgar dibandingkan dengan persyaratan bagi hadis-hadis tentang halal dan haram.

Kitab Sunan at-Tirmidzi juga menginspirasi para ulama setelahnya untuk berkarya. Ada beberapa kitab “syarah” dari Sunan at-Tirmidzi di antaranya:

  • Abu Bakar Muhammad bin Abdillah al-Isybili al-Arabi (w. 543 H), yang mengarang kitab “Aridat al Ahwazi  ala at-Tirmiżi.”
  • Ibn Rajah al-Hambali (w. 795 H) kitab syarahnya berhubungan dengan pembahasan ‘ilal yang ada dalam Sunan at Tirmizi.
  • Imam as-Suyuti Asy-Syafi’i(w. 911 H) yang menulis kitab Qut al Mugtazi ala Jami’ at-Tirmidzi.

6. Kitab Sunan Ibnu Majah

Salah satu dari karya terbesar Imam Ibnu Majah adalah Sunan Ibnu Mājah. Nama asal Sunan Ibnu Majah ialah al-Sunan. Nama ini telah digunakan sendiri oleh Ibnu Majah, tetapi kemudian beliau memandang bahwa al-Sunan itu terlalu umum kerana terdapat juga kitab-kitab hadis lain yang dinamakan al-Sunan.

Maka dengan itu, dihubungkan nama kitab kepada penyusunnya dan dinamakan Sunan Ibnu Majah. Kitab yang terdiri dari empat jilid ini adalah salah satu karya Ibnu Majah yang masih beredar sampai sekarang. Beliau menyusun sunan menjadi beberapa kitab dan bab.

Kitab ini disusun secara baik dan indah menurut sistematika fiqih. Beliau memulai sunan ini dengan bab mengikuti sunnah Rasulullah saw. Dalam bab ini dia membahas hadis yang menunjukkan kekuatan sunnah, kewajiban untuk mengikuti dan mengamalkannya.

Sebagian ulama sudah sepakat bahwa kitab hadis yang pokok ada lima (Kutub al-Khamsah), yaitu Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan an-Nasa’i, Sunan at-Tirmidzi. Mereka tidak memasukkan Sunan Ibnu Majah mengingat derajat kitab ini lebih rendah dari lima kitab tersebut. Tetapi sebagian ulama yang lain menetapkan enam kitab hadis pokok, dengan menambah Sunan Ibnu Majah sehingga terkenal dengan sebutan Kutub al-Sittah (enam kitab hadis).

Ulama pertama yang menjadikan kitab Sunan Ibnu Majah sebagai kitab keenam adalah al-Hafidz Abdul Fadli Muhammad bin Tahir al-Maqdisi (w. 507 H) dalam kitabnya Atraf al-Kutub as-Sittah dan dalam risalahnya Syurut al- A’immat as-Sittah.

Pendapat ini kemudian diikuti oleh al-Hafiz Abdul Ghani bin al-Wahid al-Maqdisi (w. 600 H) dalam kitabnya al-Ikmal fi Asma’ ar-Rijāl. Pendapat mereka inilah yang diikuti oleh sebagian besar ulama.

Mereka memasukkan Sunan Ibnu Mājah sebagai kitab keenam tetapi tidak memasukkan al-Muwatta’ Imam Malik. Padahal kitab ini lebih shahih dari pada kitab milik Ibnu Majah. Hal ini dikarenakan di dalam Sunan Ibnu Majah banyak terdapat hadis yang tidak tercantum dalam Kutub al-Khamsah, sedangkan hadis yang terdapat di dalam al-Muwatta’ seluruhnya sudah termaktub dalam Kutub al-Khamsah.

Sebenarnya derajat al-Muwatta’ lebih tinggi dari Sunan Ibnu Majah. Sunan Ibnu Majah merupakan karya terbesar beliau. Dalam kitabnya itu, Ibnu Majah telah meriwayatkan sebanyak 4000 buah hadis seperti yang diungkapkan Muhammad Fuad Abdul Baqi, penulis buku Mu’jam Al-Mufahras li Alfaz al-Qur’an (Indeks Al-Qur’an), jumlah hadis dalam kitab Sunan Ibnu Majah sebanyak 4.241 buah hadis.

Sebanyak 3002 di antaranya termaktub dalam lima kitab kumpulan hadis yang lain. Ia bukan hanya melingkungi hukum Islam, malah turut membahas masalah-masalah akidah dan muamalat. Sunan Ibnu Majah berisi hadis shahih, hasan dan dhaif bahkan hadis munkar dan maudlu, meskipun jumlahnya kecil.

7. Musnad Ahmad

Kitab Musnad Ahmad merupakan salah satu karya monumentalnya Imam Ahmad di bidang hadis yang masih menjadi rujukan dalam berbagai persoalan umat hingga saat ini. Kitab ini ditulis pada permulaan abad 3 H, sebagaimana disebutkan dalam sejarah, bahwa awal abad 3 H memang sudah dimulai adanya usaha untuk membersihkan hadis-hadis dan fatwa-fatwa ulama yang tidak termasuk hadis. Menurut sebagian ulama, derajat kitab ini berada di bawah kitab sunan. Adapun peringkat pertama ditempati oleh Sahih al-Bukhari karya Imam Bukhari, Sahih Muslim karya Imam Muslim, dan al-Muwatta’ karya Imam Malik.

Musnad Ahmad termasuk kitab termashur dan terbesar yang disusun pada periode kelima perkembangan hadis (abad 3 H). Kitab ini melengkapi dan menghimpun kitab-kitab hadis yang ada sebelumnya dan merupakan satu kitab yang dapat memenuhi kebutuhan muslim dalam hal agama dan dunia, pada masanya.

Seperti halnya ulama-ulama abad ketiga semasanya, Ahmad menyusun hadis dalam kitabnya secara musnad. Hadis-hadis yang terdapat dalam musnad tersebut tidak semua riwayat Ahmad, sebagian merupakan tambahan dari putranya yang bernama Abdullah dan tambahan dari Abu Bakar al-Qat’i.

Hadis-hadis yang terdapat dalam kitab Musnad, menurut penelitian para ulama hadis, ada yang sahih, ada yang hasan dan ada yang dhaif. Di dalamnya terdapat hadis-hadis sahih yang diriwayatkan oleh penyusun kitab enam, dan juga hadis-hadis yang tidak diriwayatkan oleh mereka itu.

Hadis-hadis yang terdapat dalam Musnad Ahmad dihimpun dari 6 sumber, yaitu:

  • Hadis yang diriwayatkan Abdullah dari ayahnya, Ahmad ibn Hanbal, dengan mendengar langsung. Hadis seperti ini paling banyak jumlahnya di dalam Musnad Ahmad.
  • Hadis yang didengar Abdullah dari ayahnya dan dari orang lain. Hadis semacam ini sangat sedikit jumlahnya.
  • Hadis yang diriwayatkan Abdullah dari selain ayahnya. Hadis-hadis ini, ahli hadis menyebutnya Zawaid Abdullah (tambahan-tambahan).
  • Hadis yang tidak didengar Abdullah dari ayahnya tetapi dibacakan kepada sang ayah.
  • Hadis yang tidak didengar dan tidak dibacakan Abdullah kepada ayahnya, tetapi Abdullah menemukannya dalam kitab sang ayah yang ditulis dengan tangan.
  • Hadis yang diriwayatkan oleh al-Hafiz Abu Baqar al-Qati’i.

Metode penyusunan kitab Musnad Ahmad jelas berbeda dengan metode penyusunan kitab lainnya. Kalau kitab sunan dan sahih misalnya, mengurutkan pembahasannya dengan mengacu pada sistematika fikih, yaitu dimulai dari bab ibadah, pernikahan, muamalah, dan seterusnya, Musnad tidak demikian. Hadis-hadis dalam Kitab Musnad disusun berdasarkan riwayat para perawi. Artinya, seluruh hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi ditampilkan dalam satu bagian, sedangkan bagian selanjutnya memaparkan himpunan hadis yang diriwayatkan perawi lain.

8. Al-Muwatta’ Malik

Kitab ini ditulis oleh Abu Abdillah Malik bin Anas bin Malik bin Abu Amir bin Amr bin al-Harits bin Gayman bin Husail bin Amr bin al-Harits al-Asbahi al-Madani yang lebih dikenal dengan Imam Malik. Kitab yang berisi hadis-hadis Nabi Muhammad saw. dan fatwa sahabat dan tabi’in ini dinamakan muwatta’ sebelum kitab tersebut di sebarluaskan, Imam Malik telah melakukan sosialisasi dengan menyodorkan karyanya tersebut di hadapan 70 ulama’ Fiqih Madinah dan mereka menyepakatinya.

Hal ini seperti yang terdapat dalam sebuah riwayat al-Suyuti bahwa, Imam Malik berkata “Aku mengajukan kitabku ini kepada 70 ahli Fikih Madinah, mereka semua setuju dengan kitabku tersebut, maka Aku namai dengan al-Muwatta’.

Seperti yang disinggung sebelumnya kitab ini berisi hadis Rasulullah saw. baik yang bersambung sanadnya maupun tidak, fatwa sahabat Nabi, dan juga fatwa tabi’in. Para ulama’ berbeda pendapat tentang jumlah hadis yang terdapat di kitab ini:

  • Ibnu Habbab yang dikutip Abu bakar Al-A’rabi dalam syarah Al-Tirmidzi menyatakan ada 500 hadis yang disaring dari 100.000 hadis.
  • Abu Bakar Al-Abhari berpendapat ada 1726 hadits dengan perincian 600 musnad, 222 mursal, 613 mawquf dan 285 fatwa tabi’in.
  • Muhmmad Syuhudi Ismail menyatakan kitab al-Muwatta’ 1804 hadits.
  • Muhammad Fuad Abdul Al-baqi mengatakan Al-Muwatta’ berisi 1824 hadits.
  • Arnold John Wensinck menyatakan dalam Al-Muwatta’ ada 1612 hadits.

Metode yang di pakai adalah metode pembukuan hadits berdasarkan klasifikasi hukum Islam (fiqih) dengan mencantumkan hadis-hadis yang bersumber langsung dari Nabi saw, yang disebut dengan Marfu’ dan yang besumber dari sahabat Nabi saw, yang disebut dengan Mauquf ataupun yang berasal dari tabi’in, yang disebut Maqthu’.

9. Sunan Ad-Darimi

Kitab hadis karya al- darimi berjudul “al-Hadist al-Musnad al-Marfu’ wa al-Mawquf al-Maqtu’‟. Kitab ini disusun dengan menggunakan sistematika berdasarkan bab-bab fikih. Sehingga karenanya kitab ini lebih popular dengan “Sunan al- darimi”.

Kitab ini berisi hadis-hadis marfu’. Mauquf dan maqtu’. Bagian terbesar dari hadis yang terdapat dalam kitab tersebut adalah hadis marfu’. Namun ada kalanya al-Darimi mengemukakan atsar dari sahabat maupun tabi’in. Hal semacam ini ia kemukakan dalam beberapa bab tentang hukum fikih, seperti dalam bab taharah dan faraid.

Kitab karya al-darimi memeiliki penyusunan yang baik, yang terangkai dalam 24 kitab, ratusan bab, dan 3367 buah hadis. Dalam menyusun kitab, al-Darimi hanya mengemukakan satu hadis, atau dua hadis atau tiga hadis saja dalam suatu bab. Sangat jarang sekali dijumpai dalam suatu bab terdapat hadis lebih dari tiga hadis mengingat kapasitas al-Darimi tampaknya ia memang menyengaja hanya memasukkan hadis-hadis dengan kualitas yang tinggi.

Inilah alasan mengapa ia tidak memasukkan hadis-hadis mu’allaq ke dalam kitabnya. Hadis mu’allaq memang ada di dalam kitab tersebut, tetapi jumlahnya sangat sedikit dan tidak lebih dari 10 buah hadis.

Ad-Darimi menyusun kitab ini berdasarkan sistematika yang digunakan oleh penyusun-penyusun kitab-kitab fikih, sehingga tidak biasa dihindari adanya pengulangan penyebutan hadis. Akan tetapi al-Darimi berusaha agar pengulangan hadis tidak terjadi. Apabila pengulangan itu terjadi dalam bab yang sama, al-darimi akan mengemukakan hadis lain yang menjadi mutabi’-nya, atau mengemukakan hadis lain yang memiliki ziyadah pada matannya.

Akan tetapi apabila pengulangan tersebut terjadi pada bab yang berbeda, terkadang al-Darimi mengemukakan hadis yang sama persis, baik sanad maupun matan. Hal ini dapat dilihat hadis-hadis pada kitab al-salat bab al-Taganni bi al-Qur’an, diulang din akhir kitab pada kitab fadail al-Quran bab al-Taganni bi al-Quran.

Baca juga: Pentingnya Asbabul Wurud dalam Ilmu Hadis

Kesimpulan

Kitab-kitab hadis sangat banyak jumlahnya. Namun, kitab-kitab hadis yang dianggap bisa dijadikan pedoman (mu’tabarah) hanya terbatas. Mengenal kitab-kitab hadis yang mu’tabarah menjadi sangat penting bagi pengkaji hadis sebagai bahan referensi dalam mengambil ajaran-ajaran Islam, termasuk hukum.

Kitab-kitab hadis mu’tabarah tersebut adalah Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu dawud, Sunan an-Nasa’i , Sunan at-Tirmidzi , Sunan Ibnu Majah, Musnad Ahmad, Sunan al- darimi, Muwaṭṭa’ Malik. Sembilan kitab ini disebut dengan Kutub as-Tis’ah (kitab yang sembilan).

Setiap kitab-kitab tersebut memiliki kelebihannya sendiri-sendiri dan memiliki sistematika penulisan yang beragam pula. Setiap kitab hadis tersebut telah di-syarhi oleh ulama-ulama berikutnya.

Penulis: Muhammad Ma’aliyal Umur
Mahasiswa Prodi Al-Qur’an Dan Tafsir UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Referensi

Kementerian Agama RI. Ilmu Hadist-Indonesia. Jakarta : Kementrian Agama, 2020

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI