Perempuan dan Revenge Porn

Perempuan dan Revenge Porn

Victim Blaming terhadap Perempuan pada Kasus Revenge Porn sebagai Representasi Ideologi Patriarki

Perkembangan arus media sosial yang begitu pesat melahirkan berbagai dampak bagi kehidupan manusia. Salah satu dampak yang paling berbahaya adalah maraknya kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) Dari berbagai jenis KBGO terdapat yang namanya revenge porn.

Matsuri (2015) menjelaskan mengenai Revenge porn atau pornografi balas dendam yang merupakan tindakan dengan memanfaatkan kepemilikan materi pornografi yang diperoleh secara ‘sah’, kemudian disebarluaskan dengan tujuan ‘balas dendam’ setelah putus dari suatu hubungan.

Contoh kasusdi Indonesia yang dilansir dari tirto.id pada 29 Januari 2019, Maya (nama samaran) menjadi korban revenge porn yang dilakukan oleh mantan kekasihnya. Pada saat masih menjadi sepasang kekasih Maya kerap kali diancam sehingga pergerakan sangat dibatasi.

Baca Juga: Hukum Tidak Berguna dalam Mengurangi Ketidakadilan dan Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia

Bacaan Lainnya

Setelah putus pun si pelaku masih berusaha untuk bertemu dan jika kemauannya tidak dituruti dia akan kembali mengancam korban yaitu menyebarkan foto telanjang mereka ke media sosial. Kemudian dilansir dari Japan Today kasus serupa juga terjadi pada 14 Januari 2016 di Prefektur Hyogo.

Seorang guru bahasa Inggris di Himeji Commercial High School bernama Yoshiaki Saito yang berusia 37 tahun dicurigai mengancam akan menyebarkan foto dari mantan pacarnya yang berusia 19 tahun yang dulu dia ajar. Tersangka, diduga mengirim pesan kepada mantan pacarnya melalui LINE pada 27 Desember, dan mengatakan akan mengedarkan foto itu kecuali jika dia kembali bersamanya.

Berdasarkan Badan Kepolisian Nasional Jepang, jumlah laporan kasus revenge porn naik 6,2% di tahun 2020, dan menjadi jumlah tertinggi sejak tahun 2014 yakni total 1.570 kasus. Diantaranya sekitar 90% pelapor adalah wanita, dan sisanya adalah laki-laki.

Sangat terlihat bahwa terdapat kesenjangan gender yang mencolok di antara para korban. Dari segi hubungan antara korban dan pelaku, lebih dari setengahnya yakni 54% adalah kekasih atau mantan, persis seperti dua contoh kasus di atas. Sedangkan sisanya 16,4% merupakan kenalan daring dan 13,2% kenalan lain (The Asahi Shimbun).

Di samping itu menurut catatan akhir tahun Komnas Perempuan 2020, terjadi lonjakan tajam terkait pengaduan KBGO sebanyak 348% dari 490 kasus di 2019 menjadi 1.425 kasus di 2020 (BBC). Pada Catatan Tahunan (CATAHU) 2021 Komnas Perempuan mengungkapkan 71 dari 836 kasus KBGO merupakan kasus revenge porn yang terjadi di Indonesia. Jadi, berdasarkan data-data di atas dapat dikatakan bahwa baik di Jepang maupun di Indonesia laporan kasus KBGO melonjak pada tahun 2020, yang mana hal ini juga dipengaruhi oleh situasi pandemi.

Baca Juga: Rosa Luxemburg & Marsinah Pejuang Kaum Perempuan: Pendekatan Feminis Marxis

Revenge porn lebih banyak menyerang wanita dibandingkan dengan pria. Pelaku yang sebagian besar adalah laki-laki, yang menyebarkan foto mantan kekasihnya menikmati kekuasaan atas diri perempuan dengan mengontrol tubuh perempuan tersebut.

Hal ini dikarenakan adanya konstruksi sosial yang menganggap bahwa wanita sebagai objek seksualitas, tubuh perempuan hanya sebatas hiasan. Sejalan dengan anggapan bahwa patriarki merupakan akar masalah dari penindasan kepada perempuan (Burgess-Proctor:2006, dalam Munir:2020).

Kasus reveng porn biasanya diawali dengan “penjinakan” yang dibarengi dengan ancaman penyebaran konten privat mereka ke media sosial jika keinginan pelaku tidak dituruti. Perbuatan tersebut menunjukkan kekerasan berbasis gender di mana nilai-nilai patriarki memandang perempuan sebagai subordinat laki-laki yang mana pelaku sebagai laki-laki merasa berhak mengatur dan mengontrol perempuan baik itu mengendalikan seksualitas atau identitas gender perempuan.

Kemudian ketika para korban begitu tertekan mereka berusaha untuk mendapatkan dukungan dengan menceritakan apa yang mereka alami kepada kerabat. Sayangnya tidak semua mendapatkan respon yang positif. Seperti pada kasus Maya orang-orang malah mengatakan “ya jelas, wajar, laki-laki cemburu sama pasangannya.” Dari sini sangat jelas bahwa masyarakat masih menganggap patriarki di atas segala-galanya.

Kasus pelecehan terhadap perempuan sering kali dinormalisasi oleh masyarakat dengannya adanya asumsi bahwa tersebarnya data-data intimnya di ranah digital secara non-konsensual adalah akibat dari kelalaian dan kecerobohan perempuan (Sugiyanto, 2021).

Sebagai korban saja perempuan masih menjadi victim blaming atas cara berpakaian, cara berbicara atau pembawaan dirinya. Richmond-Abbott mengungkapkan bahwa pandangan budaya kita tentang kejahatan seksual membantu melestarikan victim blaming atau korban yang disalahkan sedangkan memaklumi pelaku kejahatan yang akhirnya memperkuat kekuatan dan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan (Putri, 2012 dalam Sugiyanto, 2021).

Konsep blaming the victim ini menggambarkan korban sebagai pemicu tindak kejahatan yang terjadi. Dari sini dapat terlihat kuasa sistem patriarki yang mana laki-laki dianggap sebagai kaum superior sedangkan perempuan dianggap kaum inferior.

Dalam kriminologi yang berfokus pada manifestasi patriarki terhadap kejahatan pada perempuan, seperti KDRT, perkosaan, pelecehan seksual, dan pornografi, mengakui bahwa pelanggaran oleh perempuan akan diikuti dengan viktimisasi oleh laki-laki (Burgess-Proctor, 2006 : 29 dalam Munir dkk, 2020).

Baca Juga: Kesetaraan Gender terhadap Kaum Perempuan

Jika ditinjau dari perspektif viktimolgi menurut jenis korban perempuan termasuk dalam latent victim (Mulyadi, 2007:124 dalam Sugiyanto, 2021). Dalam peneletiannya Indrawati (2015:39) juga menyatakan bahwa perempuan dan anak-anak tergolong dalam latent victim yang mana mereka berpotensi menjadi korban kejahatan.

Ketika perempuan menjadi korban, jika dilihat dari ciri-ciri secara psikologis, mereka akan mulai menunjukkan adanya ketakutan yang kemudian diikuti dengan sifat pasrah. Kepasrahan ini adalah dimana mereka menerima saja perlakuan orang lain kepada dirinya sebagai “nasib” atas penderitaan mereka.

Pemikiran seperti inilah yang akhirnya membentuk budaya fatalistik dan kondisi seperti ini akan semakin membuka peluang perempuan menjadi korban. Von Hentig menyatakan bahwa keadaan takut yang diikuti sikap pasrah disebabkan oleh adanya faktor biologik yang mengategorikan perempuan sebagai korban dengan sebutan the female, sehingga begitu rentan menjadi korban dikarenakan memiliki fisik yang lebih lemah (Widiartana, 2014; Sugiyanto, 2021).

Dalam berbagai kasus KBGO perempuan yang paling rentan menjadi korban. Selain dari kondisi psikologis dan faktor biologik, kondisi sosial masyarakat yang masih kental akan nilai-nilai patriarki kerap menjadikan perempuan sebagai pihak yang paling dirugikan.

Belum cukup menjadi korban, mereka juga mengalami victim blaming. Masyarakat menganggap bahwa perempuan yang menjadi korban adalah akibat dari perilakunya sendiri. Ketika para korban yang seharusnya memperoleh keadilan dan perlindungan, mereka malah mendapat kecaman dari orang-orang sekitar.

Hal ini menyebabkan kecenderungan sikap pasrah dan ketidakberdayaan yang dialami perempuan ketika kekuasaan atas tubuh mereka direnggut secara paksa hingga mengganggu kesehatan mental. Oleh karena itu, sangat perlu adanya instrumen hukum yang tegas yang mampu melindungi korban dan menindak pelaku.

Referensi

Alaidrus, Fadiyah. (2019). Nelangsa Korban Revenge Porn: Diobjektifikasi & Tak Terlindungi. Tirto.id: https://tirto.id/nelangsa-korban-revenge-porn-diobjektifikasi-tak-terlindungi-dfka (diakses 31 Desember 2021)

Febriana, A., & Ayu, N. (2021). Kasus Jual Beli Revenge Porn, Korban Dieksploitasi dan Belum Terlindungi Hukum. Ketik Unpad: https://ketik.unpad.ac.id/posts/3011/kasus-jual-beli-revenge-porn-korban-dieksploitasi-dan-belum-terlindungi-hukum (diakses 03 Januari 2022)

Japan Today.(2016). Teacher arrested over revenge porn case involving ex-girlfriend. https://japantoday.com/category/crime/teacher-arrested-over-revenge-porn-case-involving-ex-girlfriend (diakses 02 Januari 2022)

Komnas Perempuan. (2021). Perempuan Dalam Himpitan Pandemi: Lonjakan Kekerasan Seksual, Kekerasan Siber, Perkawinan Anak, Dan Keterbatasan Penanganan Di Tengah Covid-19. Journal of Chemical Information and Modeling, 138(9), 1689-99.

Lumbanrau, R. E. (2021). Kekerasan online: Korban revenge porn dimaki, dicekik, hingga konten intim disebar – ‘Saya berkali-kali mencoba bunuh diri. BBC News Indonesia:  https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-56629820 (diakses 03 Januari 2022)

Munir, A., & Junaini, W. (2020). Studi Terhadap Seorang Perempuan Sebagai Korban Revenge Porn di Pekanbaru. SISI LAIN REALITA, 5(01), 21-35.

Tauchi, Kosuke. (2021). Reports to police of ‘revenge porn’ reached a new high in 2020. The Asahi Shimbun: https://www.asahi.com/ajw/articles/14239806 (diakses 02 Januari 2022)

Sugiyanto, O. (2021). Perempuan dan Revenge Porn: Konstruksi Sosial Terhadap Perempuan Indonesia dari Preskpektif Viktimologi. Jurnal Wanita dan Keluarga, 2(1), 22-31.

UAS Kajian Gender dan Perempuan Jepang, Studi Kejepangan FIB UNAIR

Vigyant Pradika Agustina
Mahasiswa Studi Kejepangan
Universitas Airlangga Surabaya

Editor: Diana Pratiwi

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses