Sudah Tepatkah Keputusan Presiden Membubarkan 18 Lembaganya?

Keputusan
Keputusan Presiden Membubarkan 18 Lembaganya

Membahas tentang isu politik seperti tak ada ujungnya. Keputusan serta kebijakan selalu diambil hanya karena menyongsong aksi cepat tanggap tapi malah terkesan tergesa-gesa. Alasan yang cetek menjadi benteng untuk melakukan perubahan.

Bukankah kebijakan politik yang seperti ini bagai menyelesaikan sebuah masalah dengan masalah. Layaknya slogan disalah satu acara siaran televisi nasional menyelesaikan masalah tanpa solusi. 

Bagaimana tidak, setelah ditekennya Peraturan Presiden (Perpres) 82/2020 yang berisikan tentang Komite Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan Pemulihan Ekonomi Nasional merujuk pada pembubaran 18 lembaga ini menimbulkan masalah baru.

Korona Menjadi Kambing Hitam

Dengan situasi yang ada saat ini wajar jika pandemi virus korona ini menjadi sasaran empuk untuk dijadikan kambing hitam kebijakan pemerintah. Menggiring narasi “pemulihan ekonomi nasional” dengan dalih efisiensi anggaran negara dirasa sangat tidak tepat.

Bacaan Lainnya

Jika ditelusuri lebih dalam sudahkah pemerintah mengevaluasi anggaran kementerian/lembaga yang memiliki anggaran gemuk. Sebagai contoh anggaran kementerian pertahanan yang bisa dibilang sangat fantastis, dibandingkan dengan 18 lembaga yang dibubarkan itu tidak ada apa-apanya.

Salah satu media informasi, katadata.co.id, menyatakan bahwa kementerian pertahanan mengantongi anggaran paling besar mencapai Rp 131,2 triliun. Terdapat kenaikan anggaraan sebesar Rp 21,6 triliun dari tahun sebelumnya yang berdasarkan rancangan APBN sebesar Rp 127,4 triliun. Hal ini menjadikan jumlah anggaran yang diterima oleh kemenhan lebih tinggi dibandingkan dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

Jika pemerintah terus menyuarakan pembubaran lembaga tetapi tidak melakukan efisiensi di kementerian itu sama saja bohong. Membubarkan lembaga yang memiliki anggaran tak seberapa tetapi tutup mata tentang anggaran kementerian yang gembrot.

Tumpang Tindih Nasib PNS

Ketidak jelasan pangkal dari kebijakan ini juga berdampak pada Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang bekerja di lembaga-lembaga yang dibubarkan oleh presiden. Kurang lebih ada enam lembaga negara yang tidak jelas nasibnya akan diterbangkan kemana.

Keenam lembaga tersebut terdiri dari Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025, Badan Pengembangan Kawasan Strategis dan Infrastruktur Selat Sunda, Komite Pengarah Peta Jalan Sistem Perdagangan Nasional bebrbasis Elektronik (Road Map E-Commerce) tahun 2017-2019, Tim Restrukturisasi dan Rehabilitasi PT (Persero) PLN, Komite Kebijakan Sektor Keuangan, Tim Peningkatan Kelancaran Arus Barang Ekspor dan Impor. 

Para pegawai dari keenam lembaga ini mempertanyakan nasib mereka kemana mereka akan berlabuh. Hal ini mengindikasikan bahwa keputusan yang diambil oleh pemerintah belum sepenuhnya matang sehingga belum layak untuk dieksekusi.

Jika ingin melakukan pembubaran maka sebaiknya antisipasi terkait masalah penyaluran atau pemindahan tugas PNS di lembaga terkait harus lebih dulu direncanakan. Sehingga keputusan yang diambil pemerintah bisa tepat sasaran dan tidak ada organisasi ataupun institusi pemerintah yang mengalami kelebihan PNS akibat dari melonjaknya para PNS yang dialokasikan karena pembubaran 18 lembaga ini.

Tidak hanya itu, nasib jabatan para PNS tertinggi dari 18 lembaga yang dibubarkan ini juga memiliki kemungkinan akan turun jabatan jika mereka nantinya akan dipindahtugaskan. Tidak ada jaminan jika eselon 1 dan 2 yang berasal dari 18 lembaga ini akan tetap menjabat di eselon 1 dan 2. Kemungkinan untuk alih status jabatan fungsional sangat mungkin terjadi.  

Dari sini saja kita sudah mendapat gambaran bahwa keputusan untuk melanjutkan pembubaran beberapa lembaga lagi hanya akan menambah masalah. Terutama bagi para PNS yang terdampak akibat keputusan ini. 

Rakyat Butuh Bukti

Dikutip dari sebuah tayangan video di Youtube, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Tjahjo Kumulo menyatakan bahwa pembubaran 18 lembaga negara tersebut bukan semata-mata dilakukan atas dasar pemangkasan anggaran untuk penanganan Covid-19. Melainkan karena alasan progress report yang menyatakan bahwa ke 18 lembaga ini tidak menunjukkan perkembangan yang signifikan setelah diberi kesempatan kerja 4-5 tahun.

Jika benar alasannya adalah karena progress yang buruk, seharusnya pemerintah menjelaskan kepada publik bahwa mereka memiliki bukti terkait 18 lembaga ini yang tidak bekerja dengan maksimal. Dengan demikian, alasan untuk tidak berdalih dari pemangkasan anggaran penanganan Covid-19 ini dapat diterima oleh masyarakat Indonesia.

Keputusan Lanjut Presiden

Dilansir dari siaran Pers Publish What You Pay Indonesia, Sekjen Kementerian ESDM yang baru saja terpilih menjadi anggota dewan EITI (Extractive Industries Transparency Initiative) menyatakan bahwa sebenarnya, Tim Transparansi Industri Ekstraktif dalam EITI telah terbukti dapat meningkatkan kepatuhan perusahaan dalam membayar kewajiban royalti dan pajak–karena selalu diawasi kinerja dan laporannya dibuka kepada publik.

Transparasi model EITI juga dapat mencegah terjadinya praktek pengelakan pajak yang menyebabkan rasio pajak di Indonesia masih rendah. Hal ini merupakan bukti bahwa tidak semua kinerja dari 18 lembaga yang dibubarkan tersebut memiliki progress report yang buruk. 

Namun, jika nantinya kebijakan presiden terkait pembubaran 18 lembaga negara tetap berlanjut, maka pemerintah perlu melakukan evaluasi tentang seberapa efektif keputusan yang mereka ambil. Dilihat dari pembubaran 18 lembaga yang sudah dilakukan masih banyak catatan-catatan yang harus diperbaiki.

Terutama mengenai pengalokasian beberapa pegawai PNS yang masih menjadi tanda tanya yang tak memiliki kepastian akan masa depannya. Maka dari itu, pemerintah sebaiknya mencanangkan evaluasi secara berkala guna mengantisipasi potensi melemahnya kinerja kementerian akibat penambahan beban tugas pokok dan fungsi (tupoksi) dari lembaga yang dibubarkan tersebut.

Abie Syahrin Ghalib
Mahasiswa Sampoerna University

Editor: Rahmat Al Kafi

Baca Juga:
Dinasti Politik Menjadi Nepotisme Baru
Sesat Jalan Pikir Stafsus Presiden, Milenial rasa Kolonial?
Bandung Political Research Gelar Diskusi Publik Tentang Perppu Ormas

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses