Norma Moral: Ancaman Bagi Masyarakat

Ancaman Bagi Masyarakat
Norma Moral: Ancaman Bagi Masyarakat

Dalam pidato kebudayaannya pada tahun 1977, Mochtar Lubis menyebut orang Indonesia sebagai manusia yang hipokritis atau munafik. Manusia Indonesia memang paling pintar bersandiwara, berpura-pura percaya kepada suatu hal padahal sejatinya tidak. Sistem feodalisme yang masih pekat membentuk masyarakat Indonesia menjadi sumber hipokrisi dalam hal keagamaan dan isu sosial. Jiwa feodalisme dan kemunafikan yang melekat pada watak manusia Indonesia membentuk suatu ciri dimana khalayak tidak berani untuk menyuarakan pandangan mereka tersendiri. Siapa sangka, watak tersebut masih melekat pada rakyat Indonesia hingga sekarang?

Sangat disayangkan, adanya budaya sensor dalam bentuk norma moral dan sosial yang terinfiltrasi dalam kehidupan bermasyarakat mengekang khalayak Indonesia dari budaya berpikir kritis. Masyarakat dipaksa untuk tunduk terhadap nilai-nilai konservatif secara buta, dan membungkam gerakan isu-isu yang progresif. Semboyan “melanggar norma moral Indonesia” digunakkan sebagai jalan keluar mudah bagi khalayak untuk menghindari tantangan berdialog.

Daya Norma Masyarakat

Indonesia masih alergi dengan topik-topik yang berbau “liberal”. Topik-topik “kontroversial” layaknya feminisme, hak kelompok minoritas LGBTQ, dan hukum aborsi dikecam dan dianggap sebagai hal yang tabu. Tidak bisa dipungkiri, pandangan dan norma moral yang konservatif berakar pada nilai-nilai budaya dan agama yang dominan di Indonesia.

Bacaan Lainnya

Norma moral memang memiliki kedudukan yang sangat tinggi di Indonesia. Sayangnya, eksistensi nilai-nilai norma moral dalam kehidupan bermasyarakat tidak dapat menjamin kesejahteraan bagi seluruh warga negara Indonesia. Kurangnya pendidikan seks yang sesuai di dalam sistem pendidikan Indonesia menjadi salah satu contoh yang relevan. Norma moral yang melihat pendidikan seks sebagai “pelajaran pornografi” berhasil mencabut hak asasi pelajar Indonesia atas pendidikan seksual yang komprehensif.

Bukan hanya itu, norma moral juga telah menjadi biang diskriminasi. Contohnya bisa dilihat dari lembaga TNI dan Polri yang berhasil mengeluarkan anggota-anggota LGBTQ dengan menggunakan alasan pelanggaran kode etik. Aksi pembersihan anggota LGBTQ tersebut sebenarnya tidak dibenarkan oleh konstitusi Indonesia, karena pembedaan berdasarkan orientasi seksual merupakan suatu pelanggaran HAM. Tertulis di konstitusi negara bahwa setiap orang memiliki hak atas ekspresi, privasi, dan perlindungan dari diskriminasi. Akan tetapi, instansi-instansi di atas tetap bersikeras memberikan hukuman tersebut.

Tampaknya perampasan hak asasi manusia dan aksi diskriminasi tidak menghentikan masyarakat Indonesia untuk terus memegang dan memperjuangkan norma-norma moralnya. Hal di atas menunjukkan bagaimana norma moral sudah melekat pada pola berpikir khalayak Indonesia. Lantas, apakah norma moral layak digunakan sebagai rationale oleh masyarakat Indonesia?

Gagasan Yang Cacat

Masyarakat Indonesia mengagungkan dan menggunakan norma moral layaknya kebenaran yang mutlak. Norma moral dilihat sebagai hukum yang superior atau suatu panduan yang tetap mengenai dikotomi benar dan salah. “Melanggar norma moral” dipercaya sebagai alasan yang cukup kuat untuk menginvalidasi dan membungkam isu-isu yang bertentangan dengan pandangan konservatif masyarakat Indonesia.

Akan tetapi, norma moral pada dasarnya tidak bersifat universal. Norma moral merupakan suatu produk budaya berupa suatu pemahaman dan aturan berperilaku yang tidak tertulis; sebuah fenomena sosial yang terbentuk (secara tidak sengaja) atas interaksi antar individu dan kelompok di dalam suatu masyarakat. Dapat dilihat bahwa norma moral merupakan suatu hal yang berdinamika dan tidak mutlak.

Banyak orang percaya bahwa nilai-nilai konservatif dan budaya tradisi Indonesia yang terkandung dalam norma moral dan sosial masyarakat tidak akan pernah berubah. Faktanya, norma-norma tersebut terbentuk atas pandangan kolektif dari suatu masyarakat, dan bergantung berat terhadap pandangan politik dan demografis khalayak Indonesia. Kedua faktor di atas merupakan elemen-elemen yang tidak tetap dan rentan terhadap perubahan seiring berjalannya waktu. Hal ini dapat dibuktikan dengan status quo dari emansipasi wanita di Indonesia yang jauh berbeda dari Indonesia tempo dulu. Norma masyarakat yang dulu mengharapkan wanita untuk tinggal di rumah sebagai ibu rumah tangga sekarang telah berubah; wanita lebih bebas untuk membangun karir dan kehidupan mereka sendiri.

Retorika masyarakat mengenai norma moral maupun sosial sebagai hukum yang bersifat konstan, tidak lekang oleh waktu, dan harus selalu ditaati merupakan sebuah fallacy atau kesalah pahaman yang sayangnya merajalela di tengah masyarakat.

Ancaman Bagi Masyarakat

Sifat dari norma moral yang non-universal, berdinamika, dan rentan terhadap perubahan menimbulkan pertanyaan atas penggunaan norma sebagai rationale masyarakat Indonesia. Penggunaan norma moral sebagai rationale yang dinormalisasikan oleh masyarakat Indonesia merupakan budaya yang represif, karena masyarakat dipaksa untuk mentaati gagasan-gagasan secara buta dan tidak dibebaskan untuk berpikir secara mandiri.

Hal tersebut menjadi halangan yang amat besar bagi perkembangan budaya kritis di tengah masyarakat, karena argumentasi khalayak yang nampaknya “sesuai dengan norma” tidak terbentuk secara alami; melainkan karena indoktrinasi dan ketakutan atas ancaman pengucilan, diskriminasi, dan sanksi sosial lainnya. Masyarakat dibuat takut untuk mengekspresikan pandangan mereka sendiri karena mereka tidak ingin melanggar norma-norma yang ada.

Ketergantungan khalayak terhadap norma-norma moralnya sebagai rationale argumentasi dan tindakan merupakan ancaman bagi kesejahteraan dan perkembangan masyarakat Indonesia. Semboyan “melanggar norma moral” yang sangat mudah dilontarkan oleh masyarakat Indonesia mematahkan upaya diskusi dan dialog antar individu, kelompok, dan pandangan yang beragam.

Perbedaan pendapat merupakan hal yang tidak dapat dihindari, dan setiap orang memiliki kebebasan untuk memegang pandangannya masing-masing. Akan tetapi, penting bagi masyarakat Indonesia untuk melepas budaya berpikir yang dangkal dan berhenti menggunakan norma moral sebagai tameng untuk kenyamanan.

Fabian Narmada Radhiya
Mahasiswa Sampoerna University

Editor: Rahmat Al Kafi

Baca Juga:
Pentingnya Orang Tua Memberikan Pendidikan Moral Kepada Anak Sejak Usia Dini
Pengaruh Kepribadian Guru dalam Membentuk Etika, Moral dan Akhlak Siswa
Menyikapi Krisis Moral dalam Pendidikan

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI