Sumber Daya Berpikir bagi Kelas Bawah

Singkat cerita, di sebuah ajang masa perkenalan mahasiswa baru –yang sering disebut ospek– ketua BEM tingkat universitas melakukan sebuah orasi untuk memberi semangat dan pandangan baru ke maba (mahasiswa baru) tentang bobroknya perekonomian sebuah negeri di Asia Tenggara yang namanya Indonesia. Di dalam orasinya, ia berkata bahwa buruknya perekonomian –sebut saja kemiskinan– di suatu negara dapat membuat warga negara tersebut memiliki cara pandang/pemikiran yang buruk.

Sebenarnya bisa dibilang benar juga, karena masyarakat miskin akan kesulitan untuk mendapatkan pendidikan yang setara dengan kalangan borjuis yang bisa masuk ke sekolah manapun yang mereka kehendaki. Walaupun tetap bisa bersekolah, masyarakat miskin tentunya akan mendapatkan kualitas pendidikan yang berbeda.

Lumrahnya, sekolah yang mahal memiliki tenaga pengajar yang lebih mumpuni daripada sekolah yang murah. Sarana dan prasarana sekolah juga bisa mempengaruhi kualitas pendidikan yang ada di sekolah tersebut.

Bacaan Lainnya

Baca juga: Oreo Supreme dan Kapitalisme

Sekolah yang mahal pasti memiliki sarana prasarana yang lebih baik, seperti fasilitas laboratorium yang lebih lengkap, alat-alat pembelajaran yang lebih canggih, dan fasilitas paket lengkap lainnya yang membuat sekolah-sekolah kecil di kampung merasa insecure.

Dengan adanya fasilitas-fasilitas ini, pendidikan yang diberikan juga akan lebih berkualitas. Alhasil masyarakat borjuis akan lebih melek teknologi ketimbang masyarakat kelas bawah.

Dengan teknologi yang serba canggih ini, masyarakat borjuis akan dengan mudah mendapatkan informasi-informasi yang dapat membuat premikiran mereka lebih luas dan lebih terbuka. Keterbukaan pemikiran inilah yang dapat memudahkan seseorang untuk mengambil pilihan yang tepat.

Sekarang kita coba bumbui tulisan ini dengan sedikit pandangan filsafat. Nurani Soyomukti dalam bukunya Pengantar Filasafat Umum menyampaikan bahwa strata ekonomi dapat mempengaruhi pemikiran manusia. Ia berpendapat, bahwa manusia akan terpacu untuk berpikir dengan adanya kontradiksi yang disajikan oleh alam. Kontradiksi berupa ujian-ujian yang dihadapi manusia akan memicu otak manusia untuk berpikir bagaimana cara menyelesaikan masalah tersebut. Dengan begitu pikiran manusia akan berkembang karena selalu dilatih untuk berpikir.

Masyarakat kelas bawah pastinya akan mendapatkan kontradiksi ini lebih banyak, sehingga mereka dituntut oleh alam untuk berpikir dengan kemampuannya sendiri untuk bertahan hidup. Berbeda dengan kelas borjuis yang dihujani oleh materi yang berlimpah. Kebanyakan dari mereka akan menyewa orang lain untuk berpikir dengan uang mereka yang banyak itu.

Contoh simplenya saat ada start-up baru yang membutuhkan media marketing untuk memasarkan produknya. Jika foundernya memiliki uang yang banyak, dengan mudahnya ia akan menyewa orang lain untuk membuat desain yang bagus supaya produknya laku. Sebaliknya, founder yang memiliki modal yang pas-pasan dan tidak memiliki cukup uang untuk menyewa orang lain akan mencoba dengan sekuat tenaga membuat media marketingnya sendiri. Biarpun hasil desainnya tidak sebagus sang ahli marketing yang disewa si borjuis itu, ia akan mendapatkan sebuah pengalaman baru dalam dunia marketing. Ia akan mengulik berbagai sumber untuk mempelajari sendiri bagaimana marketing yang baik itu.

Misalnya lagi, mahasiswa yang memiliki uang kiriman bulanan yang sangat banyak layaknya tissue dengan bodohnya akan menyewa seorang joki tugas untuk menyelesaikan penugasannya. Mahasiswa kelas menengah ke bawah? Dengan perjuangannya ia akan mempelajari sendiri belasan literatur untuk menyelesaikan laporan-laporannya.

Baca juga: Kebijakan yang Merampas Hak Rakyat (Omnibus Law)

Perlu digaris bawahi bahwa yang penulis ingin sampaikan sama sekali bukan sebatas perbandingan kedua kelas ekonomi ini saja. Bahwa ada kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Kelas ekonomi atas tentunya memiliki sumber daya materi yang banyak untuk membiayai pendidikan formal yang lebih baik. Namun mereka hanya akan menemukan sedikit kontradiksi dari alam karena kecukupannya itu. Sehingga masyarakat kelas atas yang tidak menjunjung tinggi kesadaran berpikir hanya akan menghabiskan uang-uangnya itu secara radikal dan hedonik.

Di sisi lain, masyarakat kelas bawah memiliki sumber daya berupa kontradiksi-kontradiksi yang diaungrahi oleh Tuhan untuk memacu mereka berpikir secara mandiri. Sayangnya banyak masyarakat kelas bawah yang tidak menyadari hal ini. Mereka hanya bisa mengutuk ujian-ujian dari alam semesta sebagai penghinaan. Terlalu terlarut dalam keinginan untuk tenggelam dalam lautan materi.

Poin pentingnya adalah benar atau salahnya cara berpikir dan mengambil keputusan tidak hanya digantungkan pada keadaan ekonomi seseorang, tetapi pada kesadaran mereka untuk berpikir. Akan menjadi hal yang cuma-cuma jika memiliki sumber daya berpikir namun tidak dipergunakan dengan timbulnya kesadaran. Otak hanya akan menjadi sampah.

Nanda Dizza Zakariyya
Mahasiswa Prodi Teknologi Industri Pertanian IPB University

Editor: Rahmat Al Kafi

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI