Di Bawah Bayang-Bayang Okupasi: Ketahanan dan Harapan Perempuan Palestina melalui Perspektif Gender

Perempuan Palestina
Ilustrasi Perempuan Palestina (Sumber: UNICEF/Mohammad Ajjou)

Dalam bayang-bayang perjuangan yang tak kunjung reda, konflik antara Palestina dan Israel terus membara. Sudah 57 tahun lamanya Palestina dijajah oleh Israel.

Penderitaan, ketidakadilan, kemiskinan serta kekerasan terus menjadi makanan sehari-hari rakyat Palestina. Melansir Time Magazine, per April 2024 lebih dari 30.000 rakyat Palestina dibunuh dalam konflik ini. Situasi bagi perempuan dan anak-anak tidak jauh lebih baik.

Di tengah gelombang konflik yang melanda, perempuan dan anak-anak merasakan dampaknya dengan paling keras. Rentannya posisi perempuan dalam konflik menjadi panggilan bagi perhatian khusus, mengingat peran penting yang mereka emban dalam struktur masyarakat yang terkena dampak langsung.

Bacaan Lainnya
DONASI

Pergantian konsep identitas maskulin dan feminin, peran gender yang baru muncul saat konflik berlangsung, serta relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan menurut Martha Thompson  perlu dibicarakan secara terbuka. Karena jika kita gagal untuk mengidentifikasi serta memahami pengalaman, situasi, kerentanan serta kapasitas perempuan dan laki-laki dalam sebuah konflik, maka akan terjadi generalisasi yang lebih merugikan perempuan.

Memandang perempuan secara eksklusif sebagai korban berarti mengabaikan realitas gender dan konflik yang kompleks dan dinamis. Peran perempuan dalam konflik Palestina-Israel tidak terbatas hanya sebagai korban, tetapi juga mencakup berbagai peran yang mereka pegang dalam masyarakat yang terkena dampak konflik.

Selain mengalami dampak langsung dari kekerasan fisik dan psikologis, perempuan Palestina juga memegang peran penting dalam menjaga keberlangsungan keluarga dan masyarakat di tengah ketidakpastian.

Sebagai istri dan ibu dari para pejuang, mereka harus menjalankan tanggung jawab domestik mereka sambil menghadapi ancaman keamanan yang konstan. Tidak hanya itu, perempuan juga sering kali menjadi tulang punggung ekonomi keluarga, terutama ketika suami atau anggota keluarga lainnya terluka atau tewas dalam konflik.

Selain itu, banyak perempuan Palestina yang aktif sebagai pengasuh lansia dan anak-anak di bawah umur, memastikan bahwa generasi mendatang tetap terlindungi dan terjaga meskipun dalam kondisi yang sulit. Selain itu, beberapa perempuan juga terlibat dalam upaya perdamaian dan penyelesaian konflik, berusaha untuk membawa suara mereka ke meja perundingan dan memperjuangkan hak-hak mereka dalam proses rekonsiliasi.

Baca juga: Suara Indonesia dalam Memperjuangkan Hak Palestina: Keadilan Internasional dan Pancasila

Menurut laporan UN Women, 10.000 perempuan telah menjadi korban fatal dari tindakan Israel Defense Forces, sementara 19.000 lainnya mengalami luka-luka.

Dari perempuan yang selamat, 3000 di antaranya harus menanggung status janda, memikul beban sebagai kepala keluarga dalam keadaan yang penuh tekanan. Bahkan, sejak 7 Oktober 2023, ada 155.000 perempuan yang harus merangkak dalam kondisi hamil dan menyusui di tengah teror dan kekacauan yang melanda.

Ketika rumah-rumah dirampas oleh IDF, perempuan dan anak-anak seringkali menjadi sasaran empuk bagi kekerasan yang mengerikan.

Selain itu, permasalahan air, sanitasi dan kebersihan menjadi atensi utama. Bantuan yang tidak merata akibat tertahan oleh pihak Israel menjadi salah satu faktor utamanya. Melansir UN Agency for Palestine, hanya ada satu dari tiga pipa air yang terhubung antara Israel dan Gaza yang bekerja. Artinya hanya ada satu toilet untuk 486 orang.

Dengan terbatasnya akses terhadap infrastruktur dasar seperti pipa air bersih dan sistem sanitasi yang layak, perempuan dan anak-anak menjadi sangat rentan terhadap berbagai penyakit dan kondisi kesehatan yang serius. Terutama bagi ibu hamil dan menyusui. 

Di tengah kondisi konflik yang mempersulit mobilitas dan akses terhadap pelayanan kesehatan, banyak perempuan Palestina yang harus menghadapi pilihan sulit. Beberapa dari mereka terpaksa untuk menggunakan kain sisa tenda sebagai pembalut, ataupun menggunakan pembalut bekas pakai yang dicuci kembali.

Beberapa lainnya menggunakan pil penahan menstruasi karena kekhawatiran mereka akan resiko yang lebih jika mereka memaksakan diri menggunakan pembalut kotor. Padahal penggunaan pil itu hanya digunakan jika perempuan mengalami penyakit yang mengganggu seperti endometriosis dan pendarahan ekstrim.

Pengalaman perempuan dan laki-laki di dalam konflik tidak dapat disamakan. Meskipun keterlibatan laki-laki dalam konflik jauh lebih banyak, dampaknya lebih berat bagi perempuan.

Laki-laki terlibat dalam berbagai peran, mulai dari provokator perang hingga pemasok perlengkapan perang, dari prajurit di garis depan hingga komandan yang bertanggung jawab atas strategi perang. Namun, perempuanlah yang sering kali merasakan dampak yang paling dalam dan menyakitkan dari konflik tersebut.

Perempuan akan memikul satu-satunya tanggung jawab utama untuk mengurus keluarga mereka, terlepas dari apakah anggota rumah tangga laki-laki ikut serta dalam konflik atau tidak. Selain itu, perempuan juga rentan terpapar penyakit menular karena tanggung jawab tradisional domestik mereka dan peran mereka untuk mengurus anggota keluarga, termasuk anggota keluarga yang sakit.

Dampak jangka panjang yang dapat diterima oleh perempuan Palestina sangatlah beragam dan kompleks. Mereka mungkin mengalami trauma psikologis yang mendalam akibat kekerasan dan kehilangan yang mereka alami selama konflik.

Perempuan juga mungkin mengalami dampak ekonomi jangka panjang karena kehilangan pendapatan keluarga, kesulitan dalam memulai kembali kehidupan mereka setelah konflik, dan ketidakstabilan ekonomi yang berkelanjutan di wilayah yang terkena dampak konflik.

Namun demikian, perempuan Palestina juga menunjukkan ketahanan dan keteguhan yang luar biasa dalam menghadapi tantangan ini. Meskipun terkena dampak yang besar, banyak perempuan yang tetap kuat dan tegar, memimpin keluarga mereka melalui masa-masa sulit dan berperan aktif dalam upaya membangun kembali komunitas mereka.

Secercah Harapan

Di sisi lain, konflik ini memberikan kesempatan bagi perempuan Palestina untuk memperluas peran dan kontribusi mereka dalam masyarakat. Selama konflik, banyak perempuan yang mengambil alih posisi kepala keluarga dan memegang tanggung jawab ekonomi yang lebih banyak.

Trauma yang mereka alami juga dapat menjadi pendorong untuk memperkuat persatuan perempuan. Di balik lapisan penderitaan dan kesulitan, trauma ini dapat menjadi titik sentuh  yang mempersatukan perempuan dalam perjuangan bersama.

Beragam konflik sipil yang terjadi pada tahun 1990-an di Afrika seperti Rwanda telah berhasil mendorong perempuan melakukan transformasi di masyarakat. Ada 250,000 perempuan menjadi korban kekerasan berbasis gender, meninggalkan ribuan yatim piatu dan janda. Namun, dari penderitaan ini, muncul kekuatan baru yang menggerakkan perubahan.

Proses ini telah mendukung pemberdayaan perempuan dengan metode bottom-up yakni dari akar rumput, ke lingkup nasional dan regional. Perempuan tidak lagi hanya menjadi korban, tetapi juga menjadi agen perubahan yang aktif dalam membangun kembali masyarakat mereka.

Ketika populasi perempuan melonjak tinggi dan sebagian dari mereka mengambil peran sebagai breadwinner, maka kelompok advokasi untuk hak-hak perempuan memiliki peran yang semakin penting. Mereka menjadi suara bagi perempuan yang berjuang untuk kesetaraan, keadilan, dan pemberdayaan ekonomi.

Tentunya gerakan ini didukung oleh institusi internasional. UN Women yang tidak hanya membantu memperjuangkan hak-hak perempuan di tingkat global, tetapi juga secara khusus mendukung perempuan Palestina dalam menyuarakan aspirasi mereka di kancah internasionall.

Dorongan atas gencatan senjata permanen dan pencapaian perdamaian berkelanjutan dapat memberikan harapan baru bagi perempuan Palestina untuk menciptakan masa depan yang lebih baik dan aman.

Akhir dari kemiskinan dan operasi yang dialami oleh perempuan Palestina dapat berakhir jika dicapai melalui aksi individual dan kolektif yang berkelanjutan. Keberanian dan ketahanan mereka adalah sumber inspirasi bagi kita semua, dan memberikan harapan bahwa, di tengah penderitaan dan kehancuran, ada juga kekuatan dan keberanian yang dapat membawa perubahan yang positif dalam masyarakat.

 

Penulis: Salma Kinanti Buldhani
Mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Jenderal Soedirman

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi  

 

Referensi

ActionAid. (2024, January 18). Women in Gaza resort to using scraps of tent in place of period products and go weeks without showering amid dire humanitarian conditions. ActionAid International. https://actionaid.org/news/2024/women-gaza-resort-using-scraps-tent-place-period-products-and-go-weeks-without-showering

Alsaafin, L., & Amer, R. (2023, October 31). No privacy, no water: Gaza women use period-delaying pills amid war. Al Jazeera. https://www.aljazeera.com/news/2023/10/31/no-privacy-no-water-gaza-women-use-period-delaying-pills-amid-war

Arostegui, J. (2013). Gender, conflict, and peace-building: how conflict can catalyse positive change for women. Gender & Development, 21(3), 533-549. http://dx.doi.org/10.1080/13552074.2013.846624

Roberts, L. (2024, March 15). The Science Is Clear. Over 30000 People Have Died in Gaza. Time. https://time.com/6909636/gaza-death-toll/

Thompson, M. (2006). Women, gender, and conflict: making the connections. Development in Practice, 16(3-4), 342-353. http://dx.doi.org/10.1080/09614520600694976

UN Women. (2024). Gender alert: Scarcity and fear: A gender analysis of the impact of the war in Gaza on vital services essential to women’s and girls’ health, safety, and dignity – Water, sanitation, and hygiene (WASH). https://www.unwomen.org/en/digital-library/publications/2024/04/gender-alert-gender-analysis-of-the-impact-of-the-war-in-gaza-on-vital-services-essential-to-womens-and-girls-health-safety-and-dignity

UN Women. (2024, April 16). Six months into the war on Gaza, over 10000 women have been killed, among them an estimated 6000 mothers, leaving 19000 children orphaned. UN Women. https://www.unwomen.org/en/news-stories/press-release/2024/04/six-months-into-the-war-on-gaza-over-10000-women-have-been-killed

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI