Jakarta – Setelah 100 hari kinerja kepemimpinan, Bapak Presiden ke-8 Prabowo Subianto membuat kebijakan terkait pemotongan anggaran yang bertujuan untuk mengelola keuangan anggaran sesuai dengan InPres (Instruksi Presiden) No. 1 Tahun 2025 diterbitkan (22/01/2025).
Seluruh anggaran nantinya akan dialokasikan ke Daya Anagata Nusantara (Danantara) sejak 24 Februari 2025.
Dikutip dari video singkatnya, ia mengatakan bahwa dalam 100 hari kinerjanya telah mengamankan Rp300 triliun lebih atau sekitar 20 miliar dolar AS.
“Demi mencegah inefisiensi bela korupsi, dan nantinya akan digunakan sebagai industrialisasi kita, dan hilirisasi proyek kita, yang berdampak tinggi menciptakan manfaat yang nyata, seperti lapangan pekerjaan, dan kemakmuran yang berkepanjangan,” ujar Presiden ke-8.
Perlu digarisbawahi dalam hal ini, apakah Danantara akan digunakan dengan baik sebagaimana mestinya?
Propaganda muncul pada masyarakat terhadap pemerintahan, rasa skeptis adalah hal yang wajar untuk kepentingan bersama dan mencegah hal yang tidak diinginkan terjadi.
Baca Juga: Efisiensi Anggaran Pendidikan Menuju Indonesia Cemas
Pastinya hal ini akan berdampak pada dinamika politik dan ekonomi. Dasar yang menjadi kritikan masyarakat terhadap kebijakan saat ini adalah pemotongan anggaran terhadap lembaga, di mana efeknya langsung dirasakan oleh masyarakat.
Yang paling mencengangkan, ditunjuknya Tim Pakar dan Inisiator Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara), Burhanuddin Abdullah Harahap, yang langsung menjadi perbincangan masyarakat khususnya di ruang publik.
Bagaimana tidak, ketua tim pakar Danantara tersebut pernah tersandung kasus korupsi sebelumnya.
Burhanuddin Abdullah Harahap adalah mantan gubernur Bank Indonesia (BI) yang terungkap kasus penarikan dana Rp100 miliar dari Yayasan Pengembangan perbankan Indonesia (YPPI) dengan vonis 5 tahun penjara.
Dikutip dari kompas.tv, Kepala Badan Pelaksana atau Chief Executive Officer (CEO) Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara), Rosan Perkasa Roeslani, dalam keterangan persnya mengungkapkan bahwa Danantara dijalankan dengan prinsip good governance, transparansi, dan dijalankan dengan hati-hati.
Di pemerintahan sekarang tidak ada yang kebal hukum, dan lembaga-lembaga berwenang, seperti komisi pemberantasan Korupsi (KPK) dapat memeriksa Danantara,” ujarnya.
“Jadi, KPK bisa, bisa, apalagi kalau ada tindakan yang tidak patut atau kriminal, sangat-sangat bisa. BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), kan ada program PSO (public service obligation atau audit terhadap dana subsidi) juga bisa diaudit. Jadi, berita-berita ini harus diluruskan,” tambah Rosan.
Tidak bisa dipungkiri, walaupun pemerintah melakukan upaya untuk meningkatkan ekonomi berkelanjutan, rasa kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan masih berkurang.
Hal ini dibuktikan dengan maraknya pencabutan tabungan dari BUMN. Mengapa? Ya karena khawatir program Danantara akan gagal.
Apabila dugaan benar, maka masyarakat yang berinvestasi bisa kehilangan sebagian atau seluruh dana.
Dampaknya? Ketidakpercayaan masyarakat akan semakin berkurang, negara juga akan mengalami ketidakstabilan makro (inflasi, nilai tukar rupiah, dan suku bunga).
Negara sudah dipastikan mengalami kerugian ekonomi yang signifikan serta menghambat pertumbuhan ekonomi nasional.
Baca Juga: Skandal Korupsi Pertamina: Antara Kepercayaan atau Pengkhianatan
Namun, pernyataan ini hanya rasa dari sikap kritis dan skeptis, mengingat kasus korupsi yang sudah merajalela memungkinkan Danantara menjadi ladang baru koruptor.
Penulis: Hoerur Rozikin
Mahasiswa Prodi Ilmu Hukum, Universitas Sultan Ageng Tirtaysa
Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News