Ekspor Pasir Laut Dilihat dari Kacamata Ekosentris

Pasir Laut
Ilustrasi Pasir Laut (Sumber: Media Sosial dari freepik.com)

Keran ekspor pasir resmi dibuka. Landasannya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut yang terbit pada Senin (29/5).

Namun sayangnya keputusan ini menuai kritik, karena memberikan izin kepada sejumlah pihak untuk mengeruk pasir laut dan mengendalikan hasil sedimentasi di laut.

Jauh sebelum peraturan baru diterbitkan, kegiatan ekspor pasir pernah dihentikan sementara. Konon, dalam rangka mencegah tenggelamnya pulau-pulau kecil, khususnya di sekitar daerah terluar dari batas wilayah Indonesia di Kepulauan Riau. Selain itu juga belum diselesaikannya batas wilayah laut antara Indonesia dengan Singapura.

Bacaan Lainnya
DONASI

Mengapa sekarang dibuka lagi? Apakah Pemerintah sengaja “membuka ruang” bagi perusahaan untuk mengekspor pasir laut ke luar negeri?

Faktanya, tak semua pihak menyambut baik angin segar ini. Terutama penggiat lingkungan. Benarkah pemanfaatan ekonomi maritim lebih besar mudaratnya daripada manfaatnya?

Moralitas Teori Ekosentris

Sejauh ini krisis mengenai lingkungan hidup disebabkan adanya pandangan antroposentris manusia kepada alam. Yaitu pandangan yang melihat alam hanya sebagai objek eksploitasi dan pemuas kepentingan hidupnya.

Selain itu, adanya anggapan yang bahwa pemanfaatan alam bagi manusia adalah hal yang wajar. Akibat dari pandangan tersebut, seorang antroposentrisme merasa tidak memiliki kewenangan atas kelangsungan masa depan lingkungan hidup.

Berbeda dengan kacamata seorang ekosentris. Mereka meyakini bahwa manusia mempunyai kewajiban moral untuk menghargai alam semesta dengan segala isinya.

Hal itu karena manusia merupakan bagian dari alam yang mempunyai nilai moral di dalam dirinya. Sehingga seorang ekosentris merasa sadar bahwa manusia dan seluruh unsur yang ada di alam memiliki ketergantungan satu sama lain. 

Kewajiban moralitas tentu tidak hanya dibatasi pada makhluk hidup saja. Moral lingkungan hidup menegaskan tentang perlunya manusia untuk bersikap dan bersahabat baik terhadap alam.

Moral inilah dapat diwujudkan melalui berbagai hal sebagai harapan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan memiliki akal budi agar dapat semakin mencintai lingkungan hidup.

Manusia berkewajiban menghargai hak semua makhluk hidup untuk berada, hidup, tumbuh dan berkembang secara alamiah sesuai dengan tujuan penciptaanya.

Tenggelamnya Pulau Nipa sebagai Pembelajaran

Dalam hal penambangan pasir Indonesia pernah mengalami tenggelamnya pulau yang dimiliki. Pulau Nipa tercatat sebagai salah satu pulau terluar yang dimiliki oleh Indonesia yang berbatasan langsung dengan negara Singapura dan Malaysia.

Pada 25 Mei 1973 terdapat perjanjian batas wilayah laut Indonesia-Singapura di bagian tengah selat Singapura dan Pulau Nipa telah dijadikan median line dalam kesepakatan tersebut.

Salah satu penyebab yang dapat membuat Pulau Nipa dapat tenggelam dikarenakan pulau tersebut dijadikan tempat penambangan pasir.

Akibatnya pasir yang terus dikeruk membuat daratan Pulau Nipa semakin tenggelam, utamanya ketika air laut sedang pasang. Ketika terjadi abrasi, Pulau Nipa juga dapat terancam tenggelam. 

Apabila Pulau Nipa tenggelam dan hilang, maka dapat mengancam berakhirnya perjanjian yang dapat mengakibatkan berkurangnya wilayah teritorial Indonesia.

Dalam perjanjian tahun 1973 tersebut masih belum disepakati batas wilayah laut, maka konsekuensinya apabila Pulau Nipa benar-benar tenggelam dan hilang, dikhawatirkan akan mempersulit perundingan penetapan dua batas wilayah laut berikutnya yang belum terselesaikan.

Indonesia Negara “Karbon Biru”

Kekayaan keanekaragaman hayati di perairan Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi di dunia. Menurut Global Biodiversity Index 2022, Indonesia menduduki peringkat kedua dalam hal kekayaan biodiversitas global.

Jika keanekaragaman hayati di perairan Indonesia digabungkan, maka Indonesia menjadi negara dengan tingkat keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Hal ini disebabkan oleh adanya ekosistem laut seperti terumbu karang, padang lamun, dan hutan mangrove yang sangat beragam.

Oleh karena itu, Indonesia sering disebut sebagai “negara karbon biru” karena memiliki potensi mitigasi perubahan iklim melalui vegetasi bawah laut yang mampu menyerap karbon.

Namun, penting untuk dicatat bahwa kampanye penanaman mangrove saja tidak cukup untuk meminimalisir dampak abrasi dan perubahan iklim yang disebabkan oleh ekspor pasir.

Dengan pengelolaan dan penataan yang baik, ekosistem karbon biru di Indonesia diyakini dapat berkontribusi lebih banyak dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca. Kondisi ini menunjukkan ekosistem karbon biru perlu mendapatkan perhatian.

Ekosistem karbon biru juga didorong agar menjadi prioritas dalam perencanaan tata kelola ruang dan konservasi pesisir di Indonesia.

Menuju Ekosistem Laut Berkelanjutan

Dalam rangka memelihara karbon biru, penting melibatkan para pemangku kepentingan dan kementerian terkait.

Kolaborasi dapat dimulai dengan mendukung program nasional dalam penurunan emisi dan mitigasi, ketahanan pangan, serta integrasi pembangunan wilayah pesisir dan pemeliharaan ekosistem untuk mengurangi emisi karbon di sepanjang pesisir.

Upaya ini harus dimulai dengan perencanaan yang matang dan terintegrasi antara sektor-sektor terkait, seperti perikanan, kelautan, lingkungan hidup, dan perencanaan wilayah.

Langkah-langkah konkret dapat meliputi pemetaan wilayah pesisir yang rentan terhadap perubahan iklim, mengidentifikasi daerah-daerah penting yang memiliki potensi karbon biru yang tinggi, serta pengembangan kebijakan dan regulasi yang mempromosikan pemeliharaan.

Pendekatan ekosentris menganggap bahwa ekosistem laut adalah suatu kesatuan yang kompleks, di mana setiap spesies dan komponen ekosistem saling terkait dan berkontribusi terhadap keberlanjutan keseluruhan.

Dengan menerapkan pendekatan ekosentris, pemanfaatan sumber daya laut dapat dilakukan dengan mempertimbangkan dampaknya pada keberlanjutan ekosistem.

Apakah negara berkembang tidak berhak menikmati kekayaan alamnya? Tentu berhak. Kekayaan alam tentu dapat dimanfaatkan oleh negara sepanjang tidak merusak sumber daya alam yang dimiliki.

Konsep pembangunan berkelanjutan memikat banyak negara berkembang karena konsep tersebut memadukan pertumbuhan ekonomi dengan perlindungan lingkungan hidup serta keadilan sosial.

Ketika bumi tidak mampu memenuhi seluruh kebutuhan manusia, konsep pembangunan berkelanjutan hanya akan menjadi retorika abadi.

 

Penulis:

  1. Petra Callista
  2. Christopher William

Mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Kristen Indonesia

 

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI