Ilmu Jarh wa Ta’dil dalam Menentukan Kualitas Suatu Hadis

Jarh wa Ta'dil

Penulis: Devi Shohihatul Muzawwadah
Mahasiswa Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

A. Pendahuluan

Penyebaran berita hoax pada periode akhir-akhir ini membuat para pengguna internet sangatlah khawatir. Hal tersebut tentunya tidak baik, mengingat dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh berita hoax.

Tidak semua hadis itu bersifat terpuji perawinya dan tidak semua hadis-hadis itu bersifat dha’if perawinya. Oleh karena itu, para periwayat mulai dari generasi sahabat sampai dengan generasi mukharrijul hadis tidak bisa kita jumpai secara fisik karena mereka telah meninggal dunia. Untuk mengenali keadaan mereka, baik kelebihan maupun kekurangan mereka dalam periwayatan, maka diperlukanlah informasi dari berbagai kitab yang ditulis oleh ulama ahli kritik para periwayat hadis.

Bacaan Lainnya
DONASI

Pada kajian hadis terdapat ilmu yang disebut dengan Jarh wa ta’dil, yaitu ilmu yang mempelajari tentang cacat dan tidaknya seseorang yang menyampaikan hadis atau informasi dari Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam. Sehingga dengan ilmu tersebut, dapat diketahui shahih dan tidaknya hadis atau informasi tersebut.

Dalam studi hadis, persoalan sanad dan matan merupakan dua unsur penting yang menentukan keberadaan dan kualitas suatu hadis sebagai sumber otoritas ajaran Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.

Berbicara tentang sanad, maka ilmu Jarh wa Ta’dil merupakan ilmu yang penting dalam menilai apakah Rijal dalam sanad tersebut mengandung kecacatan atau tidak, berikut akan dipaparkan tentang Jarh wa Ta’dil.

Baca juga: Analisis Penerjemahan Surat An Nur Ayat 4: Hadist Tentang Menyambung Silaturahmi dan Berbuat Baik Kepada Sesama

B. Pembahasan

Secara istilah ilmu hadis, kata al-jarh berarti tampak jelasnya sifat pribadi atau keadaan seorang rawi yang tidak adil dan menyebabkan gugurnya atau lemahnya riwayat yang disampaikan. Kata al-tajrih menurut istilah berarti pengungkapan keadaan periwayat tentang sifat-sifatnya yang tercela yang menyebabkan lemahnya atau tertolaknya riwayat oleh periayat tersebut.

Adapun kata ta’dil berasal dari kata ‘addala, yang berarti mengungkapkan sifat-sifat adil yang dimiliki seseorang. Menurut istilah ilmu hadis, kata ta’dil berarti mengungkap sifat-sifat bersih yang ada pada diri perawinya, sehingga dengan demikian tampak jelas keadilan pribadi periwayat tersebut dan riwayatnya dapat diterima.

Dengan demikian, bahwa yang dimaksud dengan Ilmu al- Jarh wa Ta’dil adalah ilmu yang mempelajari keadaan perawi baik dengan dengan mengungkap sifat-sifat yang menunjukkan keadilannnya maupun sifat-sifat kecacatannya dari segi diterima atau ditolak periwayatannya.

Tujuan mempelajari ilmu Jarh wa ta’dil adalah untuk mengetahui keadaan seorang perawi baik itu mengenai sifat-sifat baiknya maupun sifat-sifat buruknya yang dimiliki oleh seorang perawi untuk menentukan apakah periwayatan dari seorang perawi tersebut bisa diterima atau bahkan ditolak periwayatannya.

Pada dasarnya kita bisa menemukan dalam ayat al-qur’an maupun hadis adanya pelajaran terhadap orang tertentu dan kelompok tertentu. Demikian pula adanya celaan terhadap orang dan kelompok tertentu. Hal ini berarti penerapan dari al-jarh wa ta’dil itu sudah ada sejak masa awal Islam sejak Nabi saw masih hidup. Tetapi kemudian seiring berjalannya waktu kita bisa menemukan kenyataan bahwa banyak sekali karya-karya tulis berkenaan dengan al-Jarh wa Ta’dil.

Pada masa sahabat Nabi saw, terutama pasca wafatnya khalifah Usman bin Affan penerapan dari Jarh wa Ta’dil atau kritik hadis itu sendiri semakin digalahkan. Apalagi sejarah juga membuktikan adanya kelompok-kelompok tertentu ada sosok-sosok tertentu yang bahkan berani memalsukan hadis karena tujuan-tujuan tertentu.

Secara embrio, al-Jarh wa Ta’dil sudah ada sejak masa Nabi saw yang terus berkembang, semakin berkembang dan terus semakin digalakkan dari generasi ke generasi berikutnya. Hanya saja kita tidak bisa menemukan secara pasti kapan keilmuan ini mulai dicatat dan dibukukan dengan baik.

Di samping itu ada pertanyaan yang muncul di masa lalu, yaitu bukankah kita dilarang untuk mengorek-ngorek keburukan sesame kita, dalam hal ini bukankah kita dilarang untuk mengghibah sessama muslim.

Maka para ulama mencoba untuk memberikan penjelasan-penjelasan bahwa penilaian negative pada perawi hadis itu berbeda dengan ghibah yang memang dilarang. Orientasi dari ghibah jelas berebeda dengan al-jarh.

Ghibah itu mencari kesalahan orang dan sama sekali tidak ada unsur kebaikan apalagi yang bersifat agama. Hal ini berbeda dengan al-jarh atau aplikasi dari tarjih. Kalau dalam al-jarh jelas kita bisa menemukan. Justru al-jarh penilaian negatif, kejujuran seseorang bahwa perawi tertentu memiliki sisi negatif yang dapat mengurangi kredibilitasnya dalam kriteria hadis, maka wajib dilakukan. Karena kalau tidak imbasnya justru besar, karena ini menyangkut agama.

Belum ada kepastian siapa yang pertama kali memulai penulisan dari al-Jarh wa Ta’dil, tetapi seperti yang sudah dilakukan oleh Nabi saw, sahabat, para tabi’in dan generasi setelah mereka. Ada seseorang yang bernama Syu’bah bin Hajjaj, Sufyan al-Tsauri, Malik bin Anas dan generasi setelah mereka seperti Yahya al-Qaththan, Abdurrahman bin Mahdi, dan lain-lain.

Penerapan ¬al-jarah wa ta’dil sudah ada pada zaman Nabi saw, tetapi pada kenyataannya karya-karya yang spesifik mengumpulkan nama-nama perawi hadis dilihat dari aspek al-jarh wa ta’dil-nya baru muncul pada abad ke-2 H.

Dari nama-nama tersebut yakni ada: Al-Laif bin Sa’ad, Abdullah bin Mubarok, Walid bin Musim, dan ulama-ulama lainnya. Merekalah yang kemudian melakukan modifikasi terhadap nama-nama peraawi hadis.

Hanya saja karya at-Thobaqatul Kubro yang ditulis oleh Muhammad bin Saad pada tahun ke- 2/3 H dianggap sebagai karya yang pertama sampai pada generasi kita, yang isinya adalah biografi para perawi hadis Nabi saw termasuk di dalamnya juga ada pemaparan dan penilaian para perawi hadis.

Beberapa nama besar yang terkenal dalam sejarah yakni: Yahya bin Ma’in (158-233 H), Ahmad bin Hanbal (194-248 H), Muhammad bin Isma’il al-Bukhari (194-258 H), beliau juga memiliki karya besar dalam dunia hadis, yakni kitab Shahih al-Bukhari, Muhammad al-Uqaili, Ar-Razi, Muhammad Ibn Hibban al-Busti, Al-Jurjani (468 H), Khatib al-Baghdadi di abad ke 5, Abdul Ghani al-Maqdisi di abad ke 7, Al-Mizzi dan Adz-Dzahabi di abad ke 8, Ahmad bin Ali bin Hajar (Ibnu Hajar al-Adsqalani) di abad ke 9 dan para ualama lainnya.

Melalui sanad, kita mengetahui apakah hadis yang diriwayatkan bersambung atau tidak dari orang pertama hingga orang yang paling terakhir menerima. Dari sanad ini pula kita bisa melihat apakah orang-orang yang ada di dalam sanad tersebut atau rawi-rawi yang ada dalam sanad tersebut bisa diterima periwayatannya atau tidak.

Dalam hal ini mayoritas ulama hadis maupun fiqih menyepakati bahwa seorang perawi hadis periwayatannya bisa diterima apabila perawi itu memiliki 2 syarat utama, yaitu:

  1. Al-‘Adalah (adil): Perawi itu harus muslim, dewasa atau baligh, berakal, tidak melakukan perbuatan yang menyebabkan dia menjadi pribadi yang fasik dan juga dia menjaga muru’ahnya dengan baik.
  2. Adh-Dhabth (dhabith): Perawi dalam sistem periwayatan hadisnya tidak bertentangan dengan menyalahi orang yang jelas-jelas terpercaya. Tidak boleh memiliki hafalan yang buruk, tidak melakukan kekeliruan yang fatal, bukan pelupa, juga hadis-hadisnya atau periwayatannya tidak menimbulkan hal-hal yang justru mencidrai.

Apabila seorang perawi hadis memenuhi setidaknya 2 kriteria di atas, berarti periwayatannya dapat diterima.

Indikator yang bisa dijadikan tolok ukur bahwa seorang perawi memilki sifat adil adalah harus ada penegasan dari ulama yang memenag kompeten dalam bidang itu, bahwa si A, si B dan si C memang seorang perawi yang adil. Ulamanya bisa 2 atau bahkan boleh seorang diri. Kemudian orang tersebut harus memang sudah terkenal dalam sejarahnya bahwa dia seorang yang adil. Dua indikator tersebut semua ulama menyepakati.

Penerapan dalam kehidupan nyata, di zaman sekarang banyaknya berita hoax dan banyak orang yang menyalahgunakan hadis untuk kepentingan tertentu tanpa mengetahui status hadis atau isi dari hadis tersebut. Dengan adanya ilmu ini (ilmu jarh wa ta’dil), kita bisa mengetahui orang yang meriwayatkan hadis tersebut apakah hadis yang diriwayatkan itu memang benar-benar shahih ataukah malah sebaliknya dha’if atau bahkan maudhu’.

Kita juga bisa mengetahui apakah dia memang benar-benar perawi yang adil dan dhobith atau tidak. Pelajaran yang dapat kita ambil dari materi ini adalah kita jangan terlalu percaya atau jangan mudah percaya terhadap hadis-hadis yang disebarkan oleh oknum-oknum atau orang-orang yang tidak bertanggungjawab, bisa jadi hadis yang mereka sebarkan itu hanya akan menyesatkan kita.

Penulis juga akan membahas sebuah hadis mengenai Bacaan Orang yang Masuk WC hadis riwayat Ibnu Majah dari Anas bin Malik no. 294:
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ رَافِعٍ قَالَ: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيْلُ ابْنُ عُلَيَّةَ, عَنْ عَبْدِ الْعَزِيْزِبْنُ صُهَيْبٍ, عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ, قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ الّلهِ صَلّى الّلهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْخَلَاءَ, قَالَ: (أَعُوْذُ بِالَّلهِ مِنَ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ)
Telah menceritakan kepada kami Amru bin Rafi’ berkata, telah menceritakan kepada kami Isma’il bin ‘Ulayyah dari Abdul Aziz bin Shuhaib dari Anas bin Malik ia berkata: Jika Rasulullah saw masuk WC, beliau mengucapkan, “A’udzu billahi minal hubutsi wal khaba’its (Aku berlindung kepada Allah swt dari kejahatan setan laki-laki dan setan perempuan).

Baca juga: Analisis Terjemahan Q.S An-Nahl [16]: 44, Hadits Imam Bukhari: 6602, dan Perkataan Sayyidina Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah

Para Perawi Hadis

Untuk mengetahui kualitas perawi hadis, kita harus mengetahui biografi dari para perawi tersebut:

1. Anas bin Malik

Bernama lengkap Anas bin Malik bin an-Nadhr bin Dhamdam bin Zaid bin Haram bin Jundab bin ‘Amir bin Ghanm bin ‘Adi bin Malik bin Taimullah bin Tsa’labah bin ‘Amr bin al-Khazraj. Beliau lahir pada tahun 10 H (612 M) di Madinah, Arab Saudi. Beliau wafat pada tahun 93 H (712 M) di Basrah pada usia 103 tahun. Anas bin Malik adalah sahabat yang terakhir meninggal di Basrah. Anas bin Malik berkhidmat dengan Nabi selama 10 tahun. Nabi juga selalu mendampingi Anas bin Malik untuk memberi petunjuk ajar pada Anas.

Guru-guru Anas bin Malik antara lain yaitu, beliau berguru langsung kepada Nabi saw, Fatimah binti Rasulullah saw, Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ibnu Abbas dan lain-lain.sedangkan yang menjadi muridnya antara lain, Ja’far bin Abdullah, Muhammad bin Sirrin, Ibnu Syihab, Amru bin Abi ‘Amru Misarah dan lain-lain. Imam al-Mizzi menyebutkan bahwa beliau termasuk orang yang sangat hati-hati dalam meriwayatkan hadis yang bersumber dari Rasulullah saw, dengan menyatkan di akhir riwayatnya dengan perkataan: “atau sebgaimana yang disabdakan oleh Rasulullah saw”. Beliau juga didoakan langsung oleh Rasululah saw.

Beliau adalah orang yang paling baik sifat shalatnya baik dalam kondisi mukim maupun safar, beliau juga terbiasa berdiri dalam shalatnya dalam aktu yang lama hingga telapak kaki beliau pecah-pecah. Abu Hurairah pernah berkata: “Aku tidak pernah melihat sosok sifat shalatnya paling mirip dengan Nabi melebihi Ibnu Ummi Sulaim (yakni Anas)”.

2. Abdul ‘Aziz bin Shuhaib

Beliau adalah ‘Abdul ‘Aziz bin Shuhaib al-Banany. Belum ditemukan kejelasan mengenai tahun lahirnya. Beliau merupakan tabi’in kalangan biasa dan semasa hidup ia tinggal di Bashrah. Guru beliau adalah (beliau meriayatkan hadis dari) Anas bin Malik, Syahr bin Hausyab, ‘Abdul Wahid al-Banany, Knanah bin Naim al-‘Aduy, Muhammad bin Ziyad al-Jamahy, Ayyub bin Kisan, Hasan bin Yasar, Tsabit bin Aslam, ‘Abdullah bin ‘Abbas bin ‘Abdul Mutholib bin Hasyim, Qatadah bin Da’amah bin Qatadah bin ‘Aziz bin ‘Amru. Sedangkan yang meriwayatkan hadisnya atau murid beliau adalah Ibrahim bin Tohman, Utsman bin Ulayyah, Hakim bin Utbah, Said bin Yahya, Syu’bah bin Hajjaj, ‘Abdul warits bin Said, Hammam bin Yahya bin Dinar, Isma’il bin Ibrahim bin Muqsim, Isma’il bin Umayyah bin ‘Amru bin Sa’id bin al-‘Ash, dan lainnya.

Dari Ahmad: “Ia tsiqoh”, Yahya bin Ma’in berkata: “Ia tsiqoh”, Ibnu Sa’d. Al-‘Ajli, an-Nasa’i, dan Ibnu Hajar al-‘Asqalani berpendapat bahwa beliau adalah tsiqoh. Abu Hatim berpendapat bahwa ia shalih.sedangkan Abu Dzahabi berpendapat bahwa ia hujjah. Ibnu Nafi’ berkata : “Ia meninggal pada tahun 130 H.

3. Isma’il Ibnu ‘Ulayyah

Nama lengkapnya adalah Ismail bin Ibrahim bin Sahimbin Muqsim al-Bishry. Beliau berasal dari Kuffah, ia lebih dikenal sebagai Ibnu Ulayyah, itu dinisbatkan kepada Ibunya. Beliau juga hidup di Bashrah dan Baghdad. Beliau lahir pada tahun 110 H dan wafat pada tahun 193 H. Ia merupakan tabi’ut tabi’in kalangan pertengahan. Beliau berguru kepada Ishaq bin Suaid al-‘Adwi, Habib bin Syahid, Ayyub bin Kisan, Ja’far bin Hayyan, Hajjaj bin Maisarah, ‘Abdul ‘Aziz bin Shuhaib, Hajjaj bin Abi ‘Utsman al-Shawwaf, Sufyan al-Tsauri dan Malik bin Anas. Sedangkan tokoh hadis yang tercatat sebagai muridnya, antara lain: Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Ishak bin Rahuyah, Syu’bah bin al-Hajjaj, Abd al-Rahman al-Mahdi, Ali bin al-Madani, Utsman bin Muhammad bin Abi Syaibah dan Yahya bin Ma’in serta anaknya Hammad bin Ismail bin Ibrahim bin Ulayyah, Amru bin Rafi’.

Mengenai kredibilitas, beliau mendapat pujian dari para ulama. Antara lain, Yunus bin Bukair dari Syu’bah, ia berkata: Ibnu Ulayyah adalah tuannya para muhaddits. Abu Dawud berkata: Semua ahli hadits pernah salah dan keliru kecuali Ibnu Ulayyah. Al-Nasa’i berkata: Dia tsiqah lagi tsabit. Ibnu Hajar berkata: Dia tsiqah lagi seorang hafiz.

4. Amru bin Rafi’

Bernama lengkap Amru bin Rafi’ bin Al-Furrat bin Rafi’. Beliau dari kalangan tabi’ul Atba’ kalangan tua. Semasa hidup, beliau tinggal di Qarqisiya dan wafat pada tahun 237 H. Untuk tahun kelahirannya belum diketahui pasti. Dalam bidang hadis beliau berguru pada banyak ahli hadis kenamaan, antara lain: Isma’il bin Ibrahim bin Muqsim, Fadhal bin Musa, Qasim bin Malik, Jarir bin ‘Abdul Hamid bin Jarir bin Qarth, ‘Abdullah bin al-Mubarak bin Wadhih, ‘Ali bin Tsabit, Muhammad bin ‘Ubaid bin ‘Abdurrahman, Marwan bin Mu’awwiyah bin Harits bin Asma‘, Hasyim bin Basyir al-Qasim bin Dinar, dan Yahya bin Zakaria bin Khalid bin Maimun bin Fairuz.

Sementara yang menjadi muridnya dalam bidang hadis, antara lain: ‘Abdullah bin ‘Abdul Karimbin Yazid bin Farukh, Muhammad bin Idris bin al-Mandzar bin Daud bin Mahran, Ibrahim bin Yusuf bin Khalid bin Suwaid, ‘Ali bin Sa’id bin Basyir bin Mahran, Muhammad bin Ayyub bin Sinan bin Yahya, Muhammad bin Mas’ud bin al-Harits. Beliau mendapatkan penilaian dari para ulama. Antara lain: Ibnu Hibban berpendapat baha ia disebutkan dalam ‘ats tsiqat. Ibnu Hajar al-Asqalani berpendapat bahwa beliau adalah tsiqat tsabat. Dan Adz Dzahabi berpendapat bahwa beliau adalah hafizh.

5. Ibnu Majah

Bernama lengkap Muhammad bin Yazid bin Majah al-Qazwini. Beliau lahir pada tahun 209 H dan wafat pada tahun 273 H. Masa pertumbuhan beliau berada di Qazwin. Ibnu Majah sama dengan ulama-ulama pengumpul hadis lainnya, beliau mempunyai guru yang sangat banyak sekali. Diantara guru beliau adalah: ‘Ali bin Muhammad ath Thanafusi, Jabbarah bin al Mughallas, Mush’ab bin ‘Abdullah az Zubair, Suwaid bin Sa’id, Abdullah bin Muawwiyah al Jumahi, Muhammad bin Ramh, Ibrahim bin Mundzir al Hizami, Muhammad bin Abdullah bin Numair, Abu Bakr bin Abi Syaibah, Hisyam bin ‘Ammar, dan Abu Sa’id al Asyaj.

Ibnu Majah meniti jalan ahli ilmu pada zaman tersebut, yaitu mengadakan rihlah dalam rangka menuntut ilmu. Maka beliau keluar meninggalkan negerinya untuk mendengar hadis dan menghafal ilmu. Berkeliling mengitari negeri-negeri Islam yang menyimpan mutiara hadis. Bakat dan minatnya di bidang hadis makin besar. Hal inilah yang membuat Ibnu Majah berkelana ke beberapa daerah dan negeri guna mencari, mengumpulkan, dan menulis hadis. Puluhan negeri telah ia kunjuungi, antara lain: Khurasan, Naisabur, Mesir, Syam: Damaskus dan Himsh, Ar-Ray, Iraq: Baghdad, Kufah, Wasith dan Bashrah.

Keluasan ilmu Ibnu Majah membuat para penuntut ilmu yang haus akan ilmu berkeliling dalam majlis yang beliau dirikan. Maka sangat banyak sekali murid yang mengambil ilmu darinya, diantara mereka adalah: Muhammad bin ‘Isa al Abhari, Abu Thayyib Ahmad al Baghdadi, Sulaiman bin Yazid al Fami, ‘Ali bin Ibrahim al Qaththan, Ishaq bin Muhammad, Muhammad bin ‘Isa ash Shiffar, ‘Ali bin Sa’id al ‘Aksari, Ibnu Sibuyah, dan Wajdi’ Ahmad bin Ibrahim.

Mengenai penilaian ulama tentang dirinya, Al-Hafizh al Khalili menuturkan: “Ibnu Majah adalah seorang yang tsiqah, muttafaq ‘alaih, dapat dijadikan sebagai hujjah, memilki pengetahuan yang mendalam dalam masalah hadis dan hafalan”. Al-Hafizh adz Dzahabi menuturkan: “Ibnu Majah adalah seorang hafizh yang agung, hujjah dan ahli tafsir”. Al-Mizzi menuturkan: “Ibnu Majah adalah seorang hafizh, pemilik kitab as sunan dan beberapa hasil karya yang bermanfaat”. Ibnu Katsir menuturkan: “Ibnu Majah adalah pemilik kitab as sunan yang masyhur. Ini menunjukkan amalnya, ilmunya, keluasan pengetahuannya dan kedalamannya dalam hadis serta ittiba’nya terhadap suunnah dalam hal perkara-perkara dasar maupun cabang.

Suatu hadis dapat dinilai shahih apabila telah memenuhi lima syarat, yaitu rawinya bersifat adil, sempurna ingatan, sanadnya tidak putus, hadis itu tidak berillat dan tidak janggal. Ada dua aspek yang diteliti untuk menentukan ketersambungan sanad. Pertama, lambang-lambang periwayatan yang digunakan, kedua, hubungan periwayat dengan metode periwayatan.

Sebagaimana poin sebelumnya yang memulai kajian sanad atau periwayat dari tingkat sahabat, maka dalam hal ini penulis juga akan melakukan hal yang sama, yakni Anas bin Malik. Pada redaksi hadis di atas, jelas bahwa Anas bin Malik menjadi salah satu actor dalam periwayatan di atas. dia pula yang menceritakan pengalamannya pada generasi berikutnya. Dengan kata lain, ketersambungan periwayatannya kepada Rasulullah saw sama sekali tidak bisa diragukan.

Selanjutnya hubungan Anas bin Malik dengan perawi berikutnya, Abdul ‘Aziz bin Shuhaib, metode periwayatan yang digunakan yakni ‘an, di satu sisi antara keduanya ada hubungan guru-murid, wilayah domisili (sama-sama Bashrah) dan masih memungkinkan antara keduanya terdapat ketersambungan.
Berikutnya, hubungan antara Abdul ‘Aziz bin Shuhaib dengan periwayat sesudahnya, Isma’il Ibnu ‘Ulayyah. Meski menggunkan metode periwayatan ‘an, tapi dalam konteks ini sama sekali tidak ada persoalan, mengingat sama-sama menyandang status tsiqah, kesamaan wilayah domisili (Bashrah), dan pautan umur yang tidak jauh (Isma’il Ibnu ‘Ulayyah afat pada tahun 193 H) serta dikuatkan dengan keberadaan data mengeai adanya relasi guru-murid.

Sementara mengenai relasi antara Isma’il Ibnu ‘Ulayyah dengan Amru bin Rafi’, dari metode periwayatan yang digunakan, jelas sama sekali tidak ada persoalan, Amru bin Rafi’ memilki kredibilitas yang sangat tinggi, dan dalam periwayatan hadis di atas dia menggunakan metode حدثنا yang dalam kajian hadis merupakan penegasan bahwa ia memang mendengar dari Isma’il Ibnu ‘Ulayyah. Dikuatkan lagi dengan keberadaan data mengenai adanya relasi guru-murid, mengingat keduanya sama-sama menyandang status tsiqah dan masih memungkinkan antara keduanya terdapat ketersambungan serta pautan umur yang tidak jauh (Amru bin Rafi’ afat pada tahun 237 H).

Dan yang terakhir Ibnu Majah, belum ada yang meragukan kredibilitasnya yang tinggi. Bahkan karya Sunan yang dia tulis, dinilai sebagai salah satu kitab induk yang enam atau yang sembilan (Kutub Sittah, atau Kutub Tis’ah). Mengenai periwayatan yang dia terima dari Amru bin Rafi’, bahwa memang tidak ada persoalan. Antara Ibnu Majah dan Amru bin Rafi’ pautan umur yang masih memungkinkan adanya interaksi (Ibnu Majah lahir pada tahun 209 H dan wafat pada tahun 273 H).

Hadis di atas juga dinyatakan dalam hadis lain dalam kitab Shahih al-Bukhari, HR. Bukhari no. 139:
حَدَّثَنَا آدَمُ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ صُهَيْبٍ قَالَ سَمِعْتُ أَنَسًا يَقُولُ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْخَلَاءَ قَالَ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ تَابَعَهُ ابْنُ عَرْعَرَةَ عَنْ شُعْبَةَ وَقَالَ غُنْدَرٌ عَنْ شُعْبَةَ إِذَا أَتَى الْخَلَاءَ وَقَالَ مُوسَى عَنْ حَمَّادٍ إِذَا دَخَلَ وَقَالَ سَعِيدُ بْنُ زَيْدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَدْخُلَ

Kualitas sanad hadis ini adalah shahih, mengingat ia diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahih-nya. Dan seluruh perawinya merupakan sosok-sosok yang tsiqoh. Dalam kitab Shahih Muslim, Imam Muslim menampilkan hasil kritikan terhadap hadis di atas dalam HR. Muslim no. 563:

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى أَخْبَرَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ وَقَالَ يَحْيَى أَيْضًا أَخْبَرَنَا هُشَيْمٌ كِلَاهُمَا عَنْ عَبْدِالْعَزِيزِ بْنِ صُهَيْبٍ عَنْ أَنَسٍ فِي حَدِيثِ حَمَّادٍ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْخَلَاءَ وَفِي حَدِيثِ هُشَيْمٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا دَخَلَ الْكَنِيفَ قَالَ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْخُبْثِ وَالْخَبَائِثِ و حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ قَالَا حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ وَهُوَ ابْنُ عُلَيَّةَ عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بِهَذَا الْإِسْنَادِ وَقَالَ أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ الْخُبْثِ وَالْخَبَائِثِ

Kualitas sanad hadis ini adalah shahih, mengingat ia diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya. Dan perawinya merupakan sosok-sosok yang tsiqah.

Dengan memperhatikan sanad di atas, membandingkan satu sama lain, termasuk dari aspek matan, dapat kita simpulkan bahwa satu sama lain tidak ada pertentanagan juga yang ada justru seb aliknya, yakni saling menguatkan. Dengan demikian, kesimpulannya hadis di atas terhindar dari syadz dan ‘illat. Dengan demikian, hadis di atas termasuk hadis shahih, yang sanadnya sambung, diriwayatkan oleh orang yang adil, dhabith, dan juga tidak terdapat syadz maupun ‘illat. Dan hadis tersebut tidak bertentagan dengan akal sehat, indera, al-Qur’an dan fakta sejarah.

Baca juga: Analisa Terjemahan Q.S Al-Furqan[25]: 33, Hadits Imam Bukhori 6015, dan Pendapat Ulama Imam Khatib Asy-Syirbini dalam ‘Mughni Al-Muhtaj’

C. Simpulan

Ilmu al- Jarh wa Ta’dil adalah ilmu yang mempelajari keadaan seorang perawi baik itu mengenai sifat-sifat baiknya maupun sifat-sifat buruknya (cacatnya) dari segi diterima atau ditolak periwayatannya.

Tujuan mempelajari ilmu Jarh wa Ta’dil adalah untuk mengetahui keadaan seorang perawi baik itu mengenai sifat-sifat baiknya maupun sifat-sifat buruknya yang dimiliki oleh seorang perawi untuk menentukan apakah periwayatan dari seorang perawi tersebut bisa diterima atau bahkan ditolak periwayatannya.

Secara embrio, al-Jarh wa Ta’dil sudah ada sejak masa Nabi saw yang terus berkembang, semakin berkembang dan terus semakin digalakkan dari generasi ke generasi berikutnya. Hanya saja kita tidak bisa menemukan secara pasti kapan keilmuan ini mulai dicatat dan dibukukan dengan baik.

Penerapan ¬al-Jarah wa Ta’dil sudah ada pada zaman Nabi saw, tetapi pada kenyataannya karya-karya yang spesifik mengumpulkan nama-nama perawi hadis dilihat dari aspek al-Jarh wa Ta’dil-nya baru muncul pada abad ke-2 H.

Mayoritas ulama hadis maupun fiqih menyepakati bahwa seorang perawi hadis periwayatannya bisa diterima apabila perawi itu memiliki 2 syarat utama, yaitu:

  1. Al-‘Adalah (adil): Perawi itu harus muslim, dewasa atau baligh, berakal, tidak melakukan perbuatan yang menyebabkan dia menjadi pribadi yang fasik dan juga dia menjaga muru’ahnya dengan baik.
  2. Adh-Dhabth (dhabith): Perawi dalam sistem periwayatan hadisnya tidak bertentangan dengan menyalahi orang yang jelas-jelas terpercaya. Tidak boleh memiliki hafalan yang buruk, tidak melakukan kekeliruan yang fatal, bukan pelupa, juga hadis-hadisnya atau periwayatannya tidak menimbulkan hal-hal yang justru mencidrai.

Referensi

Kementrian Agama RI. Hadis-Ilmu Hadis. Jakarta: Kementrian Agama, 2015.

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI