Kesehatan tidak selalu dapat dilihat dari segi medis, namun juga dapat dilihat dari segi sosial. Rasisme, gender dan disabilitas, juga menjadi latar belakang dari kesehatan masyarakat.
Pada gender, dapat dijumpai pada perempuan, yang mana menstruasi dan menopause terjadi pada perempuan. Sehingga kesehatan perempuan termarginalkan oleh kesehatan laki-laki yang tidak dapat terjadi kedua fase tersebut.
Kemudian untuk disabilitas, terjadi pada orang yang membutuhkan kebutuhan khusus. Yang mana dari mereka yang difabel sering mengalami rasa minder dan kurang mampu dengan orang yang normal. Untuk rasisme sendiri dapat dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Yang mana ejekan maupun gunjingan masyarakat yang bersangkut-pautan dengan ras, dapat mengganggu kesehatan yang tertimpanya.
Orang Mesir pada saat itu, menemukan teori mengenai 46 aliran darah yang mana bersumber di jantung. The Ebers menciptakan pembersih bakteri, yang mana pada saat itu kebersihan juga diperhatikan.
Di Mesir juga ditemukan dukun atau ahli doa, yang mana mereka berargumen, kesehatan tidak hanya dari faktor eksternal individu, akan tetapi juga dipengaruhi oleh internal tubuh, yakni gangguan dari benda-benda gaib. Lepas dari itu bidang kedokteran juga berkembang di Yunani, tradisi pengobatan diteruskan oleh Phytagoras dengan ditemukannya berbagai sumber penyakit.
Hippocrate juga menemukan sebuah etika kedokteran, yang menjadi pedoman oleh ahli kedokteran pada saat ini. Di Roma, praktik kedokteran berkembang dengan maju, yang mana ditandai dari produksi alat-alat kedokteran dengan masif.
Baca Juga: Sila Kelima Pancasila dan Pemerataan Pelayanan Kesehatan: Sudah Sinkron, Kah?
Kemajuan bidang kedokteran di Timur Tengah pada saat masa dark age di eropa. Dokter yang terkenal dalam Islam yaitu Al Razi dan Ibnu Shina, yang mana Ibnu Sina mampu menulis lengkap buku pencegahan pandemi.
Yang mana isis tersebut ada praktik kesehatan dan pencegahan penularan penyakit yang menjadi pandemi saat itu. Dalam sebuah film di Persia, Ibnu Sina dikenal sebagai orang pertama yang menemukan teknologi dan cara bedah pada manusia.
Yang mana ilmu bedah itu mengilhami para ilmuwan kedokteran barat. Cantuk dan bekam menjadi salah satu warisan ilmu kesehatan dari tradisi pengobatan kuno islam.Â
Perkembangan kesehatan di Indonesia dimulai sejak zaman kolonial. Yang aman pada abad ke-16, masyarakat ditimpa oleh penyakit cacar dan kolera, saat itu juga pemberantasan terhadap penyakit tersebut dilakukan.
Upaya-upaya pemerintah hindia belanda dilakukan untuk menanggulangi penyebaran penyakit kolera yang mewabah di Indonesia pada tahun 1937, kemudian dilanjut dengan munculnya penyakit cacar.
Yang mana penyakit tersebut disinyalir dari negara Singapura. Sebelum penyakit kolera dan cacar menjadi wabah, Daendels sebagai gubernur, membuat sebuah praktek kesmas dengan langkah penurunan kematian bayi. Praktek tersebut diisi oleh dukun bayi untuk mempermudah proses perawatan dan persalinan.Â
Di sisi lain dr.Bosch mendirikan pelatihan khusus di sekolahnya, yang bernama School Tot Opleiding Van Indiche Arsten (STOVIA). Dan pada saat itu juga di Bandung didirikan Laboratorium kedokteran Nederland Indische Arsten School (NIAS) yang merupakan bagian dari STOVIA.
STOVIA menjadi sebuah sekolah kedokteran, yang mana pada saat berdirinya Universitas Indonesia, STOVIA menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Ketika di pulau Jawa tersebar wabah pes, kedua lembaga tersebut memberikan layanan, yang berupa pemberian vaksin untuk 15 juta penduduk dan penyemprotan DTT di permukiman-permukiman warga. Yang mana hal ini menjadi bentuk andil besar dengan adanya STOVIA dan NIAS.
Baca Juga: Manfaat Melakukan Olahraga untuk Kesehatan Mental
Kesehatan tidak selalu dapat disangkut-pautkan dengan medis, akan tetapi kesehatan dapat dilihat dari faktor-faktor sosial. Yang mana perbedaan kelas atau perbedaan tingkatan ekonomi masyarakat juga mampu memberikan dampak terhadap kesehatan masyarakat.
Kebudayaan juga menjadi salah satu faktor kesehatan masyarakat, karena persepsi kesehatan antara masyarakat yang satu dengan yang lain berbeda.
Contohnya, orang Jawa dengan orang Amerika dalam merespon kesehatan mestinya berbeda, begitu pula cara menyikapi terhadap kesehatan itu sendiri. Pandemi Covid-19 menjadi salah satu contoh sikap berbagai Negara yang berbeda-beda dalam menyikapi dan pencegahannya.Â
Dalam sebuah jurnal dijelaskan akan pentingnya sosiologi dalam melihat sebuah kesehatan yang ada. Maka dari itu perlu sosiologi memulai dan menetapkan ruang lingkup kewenangan sebagai mata pelajaran dan metode penjelas terhadap kesehatan.
Maka dari itu sosiologi berkaitan dengan studi tentang masyarakat dan secara khusus dengan sebuah permasalah sosial seperti ketidaksetaraan dan kesempatan hidup, begitu juga di bidang kesehatan. Yang mana kesehatan juga mampu dilihat dari perspektif sosiologi, dengan menjelaskan sebuah faktor sosial yang menjadi akar terciptanya sebuah kesehatan di masyarakat.
Sosiologi juga menawarkan metode ilmiah dalam memecahkan sebuah permasalahan, dalam kesehatan masyarakat dapat diketahui faktor biologisnya akan tetapi disamping itu terdapat faktor sosial yang mempengaruhinya. Disinilah sosiologi menjadi suatu pokok pembahasan yang mampu terjun ke dunia kesehatan.Â
Baca Juga: Problematika Karantina Kesehatan dan Bagaimana Pengaturannya
Sosiologi juga menuntut pemikiran seorang sosiolog dengan menggunakan imajinasi sosiologi, yang mana mampu menunjukan sebuah karakter sosiologi.
Sebagai contohnya dalam sebuah penyakit yang diderita seseorang mampu terdeteksi oleh dokter, akan tetapi di sisi sosial perlu sosiologi untuk menjelaskannya dengan imajinasi sosiologi.
Lepas dari itu sosiologi dapat dibedakan dari teori sehari-hari olehnya. Yang mana dengan syarat menggunakan penjelasan yang beralasan, terbukti, dan koheren.
Muhammad Ikhsan Pratama
Mahasiswa Universitas Brawijaya
Editor: Diana Pratiwi