Pentingnya Perceived Social Support pada Gen Z dalam Menghadapi Fenomena Mental Health dan Tindakan Bunuh Diri

Mental Health
Ilustrasi: istockphoto.

Pendahuluan

Mental Health merupakan fenomena yang akhir-akhir ini sedang ramai dibicarakan terutama di kalangan Gen Z. Generasi Z atau yang biasa disebut Gen Z terdiri dari individu yang berusia antara 10 hingga 25 tahun yang dilahirkan antara tahun 1997 dan 2012. Beberapa riset menunjukkan bahwa Gen Z memiliki tingkat kecemasan tertinggi yang pernah tercatat. Gen Z menjadi cemas bukan hanya karena adanya pandemi yang terjadi pada beberapa tahun lalu, melainkan juga karena perubahan iklim yang mengkhawatirkan, dampak teknologi yang tak terelakkan, serta berbagai faktor stres lainnya.

Di Indonesia, persoalan kesehatan mental dan gangguan mental masih dianggap sebagai sesuatu yang negatif dan masih terdapat stigma di sekitarnya. Dapat dikatakan bahwa stigma dan pandangan negatif terhadap kesehatan mental ini muncul akibat situasi sosial dan budaya yang ada dalam masyarakat sejak zaman dahulu. Gen Z merupakan generasi yang secara perlahan mulai menantang pandangan umum tentang mereka sebagai generasi yang hanya terpaku pada teknologi digital. Peningkatan akses mudah dan terjangkau ke internet memberikan kontribusi positif bagi Gen Z dalam memperoleh pengetahuan mengenai pentingnya menjaga kesehatan mental dan memahami konsep kesehatan mental yang sebenarnya. Kemudian, hal ini menjadi nilai yang meresap ke dalam diri mereka.

Meskipun Generasi Z terhubung secara digital, banyak dari mereka mengalami kurangnya keterlibatan sosial dan dukungan emosional yang diperlukan untuk mengatasi stres dan kecemasan. Ketergantungan pada teknologi seringkali mengurangi interaksi sosial langsung, sementara tingkat kesibukan yang tinggi dapat menghambat waktu yang diperlukan untuk menjalin hubungan yang mendukung secara emosional.

Bacaan Lainnya
DONASI

Permasalahan yang Dihadapi Gen Z

Gen Z dinilai rentan mengalami depresi hingga bunuh diri, gangguan mental emosional kerap terjadi pada usia remaja, dimana secara hormonal usia 12-21 tahun terjadinya fase perpindahan dari anak-anak menuju dewasa. Dari sisi psikologi, remaja itu berada di fase mencari identitas diri dan peran ke depannya. Kalau dari sisi sosial tuntutan dari masyarakat juga semakin banyak, hal tersebut yang menjadi tekanan pada remaja. Kemudian, pemicu lainnya generasi muda saat ini banyak yang mengalami kendala dalam hubungannya interpersonal, sehingga membuat seseorang mudah tertekan dan lebih jauh dapat mengakibatkan bunuh diri.

Menurut sebuah studi yang dilakukan oleh American Psychological Association (APA), Generasi Z memiliki tingkat stres yang lebih tinggi daripada generasi lainnya. Dikatakan hanya ada 45% Generasi Z yang memiliki kesehatan mental baik atau sangat baik. Selain itu, Generasi Z juga lebih rentan mengalami gangguan kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, bipolar, dan ADHD.

Salah satu alasan utama mengapa Gen Z mengalami kecemasan adalah tekanan dan pengharapan akademik yang tinggi serta persaingan yang semakin ketat dalam mencapai kesuksesan. Dari usia dini, mereka didorong untuk mencapai prestasi akademik yang tinggi dan bersaing dengan rekan-rekan mereka untuk mendapatkan tempat di universitas atau pekerjaan yang diinginkan. Standar yang tinggi ini seringkali menimbulkan rasa takut akan kegagalan dan perasaan tidak mampu, yang dapat menyebabkan kecemasan yang berkepanjangan.

Selain itu, individu dengan tingkat stres menengah hingga tinggi kerap mengalami penurunan produktivitas dan memerlukan lebih banyak perawatan kesehatan. Hal ini berujung pada meningkatnya beban ekonomi sosial. Hilangnya produktivitas akibat masalah kesehatan mental berpotensi meniadakan perolehan produktivitas yang berasal dari populasi muda Indonesia. Faktanya bahwa hanya 9% dari penderita depresi di Indonesia memiliki akses terhadap perawatan yang dibutuhkan.

Baca Juga: Is it True that People with Mental Illness Having Problems Getting Mental Health Services?

Pembahasan

Dampak Gangguan Kesehatan Mental yang Dialami oleh Gen Z

Gangguan kesehatan mental merupakan suatu permasalahan yang menghantui generasi Z. Gangguan kesehatan mental adalah situasi di mana perilaku seseorang menempatkan mereka pada risiko menyakiti diri sendiri atau orang lain dan/atau menghalangi mereka untuk mampu merawat diri sendiri atau berfungsi secara efektif dalam kehidupan sehari-hari. Padahal, generasi yang lahir pada tahun 1997 hingga 2012 ini merupakan bakal pemimpin Indonesia Emas 2045.

Gen Z mengalami tekanan dan tuntutan yang datang dari kehidupan online dan sosial media ini bukan tidak mungkin dapat memengaruhi kesehatan mental mereka. Berikut ini beberapa dampak gangguan kesehatan mental yang sering muncul pada Gen Z, yaitu:

  1. Gangguan makan seperti anoreksia, bulimia, atau kebiasaan makan yang tidak sehat sering terjadi pada Generasi Z. Hal ini karena tak jarang dari mereka yang merasa mendapat tekanan untuk memiliki bentuk tubuh yang sempurna, sesuai dengan standar kecantikan yang sering ditampilkan di media sosial.
  2. Mood swing, gangguan kesehatan mental bisa menyebabkan seseorang mengalami perubahan suasana hati yang ekstrem dan tidak stabil. Hal ini bisa berdampak pada perilaku impulsif, agresif, atau menarik diri dari lingkungan sosial.
  3. Tekanan yang berlebihan, kurang tidur, dan kecanduan teknologi dapat menyebabkan penurunan fungsi otak. Generasi Z bisa saja menjadi kesulitan berkonsentrasi dan mengambil keputusan.

Mengatasi Stigma Fenomena Mental Health dan Tindakan Bunuh Diri pada Gen Z

Pertama, keluarga dan orang terdekat mengambil peran yang penting dalam mencegah upaya bunuh diri pada remaja. Selain itu, pada dasarnya anggota keluarga memiliki sumber penting mengenai informasi untuk menilai risiko dalam diri remaja dan dukungan relasional yang dibutuhkan remaja untuk mengurangi risiko tersebut. Selain itu, pada dasarnya anggota keluarga memiliki sumber penting mengenai informasi untuk menilai risiko dalam diri remaja dan dukungan relasional yang dibutuhkan remaja untuk mengurangi risiko tersebut.

Kedua, resesi ekonomi yang menyebabkan pemutusan hubungan kerja, penurunan pendapatan, dan lain-lain dapat memengaruhi kesehatan mental secara signifikan. Kondisi ekonomi tersebut dapat meningkatkan risiko gangguan kesehatan mental hingga perilaku bunuh diri. Pengaruh faktor sosial-ekonomi terhadap kesehatan mental masyarakat adalah sangat signifikan. Oleh karena itu, perlu adanya upaya yang lebih lanjut untuk meningkatkan kesehatan mental masyarakat, terutama melalui peningkatan status sosial ekonomi dan kualitas lingkungan.

Ketiga, penting untuk memahami bagaimana lingkungan sosial mempengaruhi kesehatan mental remaja. Lingkungan yang dihadapi oleh remaja dapat dilihat dari lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan sosial masyarakat. Lingkungan sosial merupakan lingkungan yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia, tanpa adanya dukungan dari lingkungan sekitar seseorang tidak dapat berkembang dengan baik.

Penting untuk menciptakan lingkungan sosial yang positif, inklusif, dan mendukung bagi Gen Z. Hal ini melibatkan membangun hubungan yang sehat, mempromosikan norma sosial yang positif, dan menangani perundungan dengan serius. Selain itu, penting juga untuk meningkatkan kesadaran tentang kesehatan mental, mengurangi stigma terhadap permasalahan kesehatan mental, dan memberikan sumber daya yang tepat bagi remaja yang membutuhkan bantuan.

Baca Juga: Peranan Mental Health bagi Remaja

Dukungan Sosial dalam Membangun Kesehatan Mental pada Gen Z

Dalam menghadapi krisis mental yang dapat memengaruhi kesehatan fisik, jiwa, sosial dan finansial, Gen Z membutuhkan bantuan dukungan sosial agar tetap memiliki pandangan positif terhadap diri mereka sendiri, sehingga mereka dapat mengurangi tingkat kecemasan, depresi, dan perasaan tidak berdaya. Terdapat dua jenis subkelompok dukungan sosial yaitu perceived social support dan received social support. Received social support adalah jumlah aktual dukungan yang diterima individu ketika menghadapi stres, sementara perceived social support adalah pemikiran individu bahwa dukungan tersebut tersedia jika diperlukan. Dari dua konstruksi dukungan sosial ini, hanya perceived social support yang dianggap secara konsisten terkait dengan kesehatan (Haber, Cohen, & Lucas, 2007).

Perceived social support memiliki tiga dimensi yang dirasakan menjadi sumber dukungan sosial, yaitu keluarga (family), teman (friends), dan orang penting (significant other). Sumber dukungan dapat berubah-ubah tergantung pada kebutuhan individu dan situasi yang dialami individu. Diketahui bahwa hasil yang berbeda pada perilaku individu tergantung pada sumber dukungan yang dirasakan.

Dengan perceived social support, akan meningkatkan psychological well-being dan menghindarkan gangguan kesehatan mental yang dapat mengakibatkan tindakan bunuh diri. Dalam konteks yang lebih luas, remaja Gen Z khususnya, perlu diberikan satu kondisi positif yang memungkinkan bagi mereka untuk berkembang dan memilih dirinya menuju kondisi mental yang positif. Hal ini menjadi sumber penting dalam menerapkan strategi yang tepat dalam meningkatkan kesehatan mental pada remaja.

Sebagaimana penelitian yang dikemukakan oleh Poudel et al., (2020) yang menyebutkan bahwa perceived social support berperan terhadap kondisi kesejahteraan psikologis pada remaja. Artinya, semakin baik perceived social support yang dirasakan remaja maka akan semakin baik pula kesejahteraan psikologisnya, begitu pula sebaliknya, apabila perceived social support yang dirasakan remaja rendah maka akan semakin rendah kesejahteraan psikologis remaja.

Solusi dalam Menghadapi Fenomena Mental Health dan Tindakan Bunuh Diri pada Gen Z

Selain perceived social support, solusi lainnya dalam menghadapi fenomena mental health dan tindakan bunuh diri pada Gen Z yaitu dukungan keluarga yang optimal terhadap peningkatan perilaku adaptif remaja. Salah satu perkembangan pada masa remaja adalah emosi yang masih labil. Hal ini akan menjadi tantangan bagi keluarga dalam menyikapi perubahan emosional remaja. Perhatian keluarga, khususnya dari orangtua dalam menghadapi perubahan psikologis remaja akan membantu remaja mencapai kematangan emosional. Selain itu dengan memberikan perhatian terhadap pergaulan remaja, maka dapat meminimalkan remaja terjerumus dalam pergaulan yang tidak baik.

Dukungan sosial yang diberikan bisa dalam bentuk informasi atau nasehat verbal maupun non verbal, bantuan nyata ataupun tindakan berperan efektif dalam mengatasi tekanan. psikologis yang dialami individu pada masa-masa sulit. Hal tersebut memungkinkan individu melakukan upaya pemecahan masalah yang dihadapinya menggunakan strategi koping berfokus masalah. Dengan demikian akan meminimalkan distress psikologis individu.

Dukungan instrumental keluarga berkaitan dengan faktor ekonomi juga diperlukan. Rendahnya dukungan material disebabkan karena rendahnya faktor ekonomi. Dan kondisi ekonomi keluarga yang rendah berhubungan dengan depresi dan kenakalan remaja. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Coley, et al., (2018) bahwa sebagian besar (80%) remaja yang mengalami distress psikologis dalam kategori sedang, berasal dari keluarga dengan penghasilan dibawah UMR.

Faktor penentu kesehatan mental juga seringkali berada di luar kewenangan sistem kesehatan, dan semua sektor masyarakat harus terlibat dalam peningkatan kesehatan mental. Meskipun krisis ekonomi saat ini mungkin berdampak besar pada kesehatan mental dan meningkatkan angka kematian akibat bunuh diri, namun krisis ini juga merupakan peluang untuk mereformasi layanan kesehatan mental dan mendorong gaya hidup sehat.

Baca Juga: Mental Health itu Penting? Ini Tipsnya untuk Menjaga Mental Health!

Kesimpulan

Gen Z mengalami tekanan dan tuntutan yang datang dari kehidupan online dan sosial media ini bukan tidak mungkin dapat memengaruhi kesehatan mental. Dalam menghadapi krisis mental yang dapat memengaruhi kesehatan fisik, jiwa, sosial dan finansial, Gen Z membutuhkan bantuan dukungan sosial yaitu perceived social support yang merupakan pemikiran individu bahwa dukungan tersebut tersedia jika diperlukan. Solusi dalam menghadapi fenomena mental health dan tindakan bunuh diri pada Gen Z yaitu dukungan sosial (perceived social support), dukungan keluarga yang optimal, dan dukungan instrumental keluarga yang berkaitan dengan faktor ekonomi.

Penulis:

Pratika Gunareksa (Nim:202310310311060)
Mahasiswa Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Ikuti berita terbaru di Google News

Daftar Pustaka

American Psychological Association. (2018). Stress in America™ Generation Z. https://www.apa.org/news/press/releases/stress/2018/stress-gen-z.pdf.

Coley, et al. (2018). Locating Economic Risk for Adolescent Mental & Behavioral Health: Poverty and Affluence in Family, Neighborhoods, and School Child Development, 18(1).

Fitria & Maulidia. (2018). Hubungan Antara Dukungan Sosial Keluarga Dengan Kesehatan Jiwa Remaja Di SMPM Kota Malang. Jurnal Kesehatan Hesti Wira Sakti, 2(6).

Fitriyani, P. (2018). Pendidikan karakter bagi generasi Z. Prosiding Konferensi Nasional ke-7.

Mirowsky, J., & Ross, C. E. (2003). Social Causes of Psychological Distress. New York: Aldine De Gruyer.

Poudel, A., Gurung, B., & Khanal, G. P. (2020). Perceived Social Support and Psychological Well-being Among Nepalese Adolescents: The Mediating Role of Self-esteem. BMC

Psychology, 8(1), 1–8. https://doi.org/10.1186/s40359-020-00409-1.

Riskesdas, K. (2018) ‘Hasil Utama Riset Kesehata Dasar (RISKESDAS)’, 44(8), pp. 1–200.

Van Droogenbroeck, et al. (2018). Gender Difference in Mental Health Problems Among Adolescent and Role of Social Support. BMC Psychiatry, 18(6).

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI