Penyimpangan Hukum yang Terjadi pada Masyarakat Adat di Papua

Masyarakat adat adalah sekelompok orang yang memiliki jejak sejarah dengan masyarakat sebelum masa invasi dan penjajahan, yang berkembang di daerah mereka, menganggap diri mereka beda dengan komunitas lain yang sekarang berada di daerah mereka atau bukan bagian dari komunitas tersebut.

Mereka bukan merupakan bagian yang dominan dari masyarakat dan bertekad untuk memelihara, mengembangkan, dan mewariskan daerah leluhur dan identitas etnik mereka kepada generasi selanjutnya.

Sebagai dasar bagi kelangsungan keberadaan mereka sebagai suatu suku bangsa, sesuai dengan pola budaya, lembaga sosial dan sistem hukum mereka.” (Munir Salim, 2017)

Sejatinya pemerintah Indonesia telah menjamin dan memberikan perlindungan hukum pada Masyarakat Adat melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan telah memberikan perlindungan hukum bagi hak-hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alam, Namun sangat di sayangkan implementasinya di lapangan kerap kali jauh dari harapan.

Bacaan Lainnya

Hukum adalah peraturan atau ketentuan yang mengikat dan mengatur kehidupan masyarakat. Hukum berfungsi untuk melindungi kepentingan manusia.

Maka, Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan jika kepentingan manusia ingin dilindungi. (Sudikno Mertokusumo, 1996)

Dalam kasus yang terjadi di Provinsi Papua Selatan tepatnya kabupaten Mappi dan Boven Digoel beberapa minggu lalu.

Jelas terlihat banyaknya penyimpangan hukum yang terjadi mulai dari rencana pembangunan jalan tol yang akan melintasi wilayah adat suku Awyu dan Rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga air di wilayah adat suku Moi yang dilakukan tanpa melalui proses konsultasi dan persetujuan dari Masyarakat, Hal ini melanggar Pasal 3 UU No. 5/1960 tentang hak ulayat masyarakat adat.

Selanjutnya Proses pembebasan lahan yang tidak transparan dan cenderung memaksa, tanpa memberikan kompensasi yang memadai bagi masyarakat Awyu juga melanggar Pasal 18 UU No. 5/1960 tentang ganti rugi.

Selain itu, Dalam proses perizinan dan perencanaan Pembangunan tak ada konsultasi yang dilakukan pemerintah dan pelibatan masyarkat dalam proses tersebut.

Padahal dalam Pasal 69 UU No. 41/1999 tertera jelas bahwa pemerintah wajib melibatkan partisipasi masyarakat adat dalam proses pemeliharaan dan pengelolaan Hutan.

Upaya hukum pun sedang ditempuh Masyarakat adat papua selaku pihak yang terdampak dalam kasus ini untuk memperjuangkan keselamatan hutan adat dan masa depan anak cucu mereka kelak.

Tepat pada tanggal 27 Mei 2024 di depan Gedung Mahkamah Agung Jakarta Pusat, Pejuang Lingkungan Hidup dari Suku Awyu dan Suku Moi diiringi oleh solidaritas Mahasiswa papua dan sejumlah Organisasi Masyarakat Sipil menggelar Aksi Damai disertai doa dan ritual adat di depan Kantor Lembaga Peradilan tertinggi tersebut.

Aksi ini dilakukan sebagai upaya tindak lanjut atas gugatan yang sudah di ajukan sebelumnya dan sebagai bentuk ketidakpuasan atas hasil putusan yang tidak mengedepankan aspek keadilan lingkungan dan hak atas Masyarakat adat.

Birokrasi yang berbelit, penegakan hukum yang lemah, serta intervensi dari kepentingan politik dan ekonomi menjadi kendala utama pada penegakkan hukum dalam kasus ini.

Kearifan lokal yang menjadi landasan spiritualitas dan identitas masyarakat adat seringkali diabaikan dan dianggap tidak relevan. Akibatnya, konflik antara masyarakat adat dan pemerintah/pengusaha semakin meruncing.

Kerusakan lingkungan, hilangnya mata pencaharian, dan tercerabutnya ikatan sosial budaya menjadi harga yang harus dibayar oleh masyarakat adat.

Padahal, jika perlindungan hukum dan pengakuan terhadap kearifan lokal masyarakat adat dapat ditegakkan secara konsisten, pembangunan yang berkelanjutan dan berkeadilan sosial di Papua dapat terwujud.

Penulis: Much. Harim Apriana

Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik, Universitas Brawijaya

Editor: Anita Said

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Referensi

Salim, Munir. (2017). Pengakuan Hukum terhadap Masyarakat Adat di Indonesia. Jurnal  Konstitusi,  14(1), 87-101.

Mertokusumo, Sudikno. (1996). Mengenal Hukum: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Ikuti berita terbaru di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses