Sampah Makanan dan Ketahanan Pangan: Peran Ilmuwan Pangan

Opini
Ilustrasi: istockphoto

Berdasarkan data Bappenas tahun 2000-2019, Indonesia menghasilkan 23-48 juta ton sampah makanan per tahun. Angka ini merupakan akumulasi dari tahap produksi hingga konsumsi. Sedangkan, sepertiga produksi pangan dunia hilang atau menjadi sampah dan diperkirakan mencapai 1,6 miliar ton per tahun.

Jumlah ini sangat besar, namun topik terkait sampah makanan jarang dibahas ketika membicarakan ketahanan pangan.

Thomas Robert Malthus adalah orang pertama yang berteori bahwa pertumbuhan penduduk bertambah menurut deret ukur (2, 4, 16, 32, …), sedangkan bahan pangan bertambah mengikuti deret hitung (2, 3, 4, 5, 6, …).

Bacaan Lainnya

Ketersediaan pangan harus ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan penduduk dunia yang diprediksi akan mencapai 10 miliar pada tahun 2050. Bencana kelaparan akibat krisis pangan akan terjadi jika ketahanan pangan tidak diperkuat.

Sehingga berbagai langkah diambil untuk mempersiapkan ketahanan pangan nasional, namun mindset membangun ketahanan pangan ini masih bertumpu pada pemegang kebijakan.

Fokus dalam membangun ketahanan pangan melalui penyediaan pangan pun masih berpusat di bagian hulu, seperti peningkatan produksi, perluasan area tanam, dan penggunaan teknologi pertanian. Sebaliknya permasalahan di bagian hilir seperti sampah makanan ataupun hasil samping produksi pangan belum banyak tersentuh.

Padahal, sampah makanan yang dianggap mencemari bisa jadi memiliki nilai yang lebih atau bahkan menyelamatkan kita dari krisis pangan jika kita mengetahui cara pengolahannya.

Ribuan tahun lalu di awal pembuatan keju, cairan yang terpisah dari proses penggumpalan keju atau dikenal sebagai whey dianggap sebagai sampah. Whey bahkan dikatakan sebagai sampah industri susu yang paling mencemari dan seringkali berakhir dibuang atau dijadikan pakan.

Anggapan whey sebagai sampah berubah sejak diperkenalkannya whey untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh, pengobatan gangguan pencernaan, dan penyakit kulit pada awal 460 BC oleh Hippocrates.

Saat ini, whey yang ternyata mengandung banyak manfaat telah dipasarkan sebagai produk sumber protein baik dalam bentuk bubuk ataupun kapsul untuk meningkatkan kesehatan. Seperti halnya whey yang berubah dari sampah menjadi emas, sampah pangan lainnya juga memiliki potensi.

Produk lain yang menarik saat ini adalah produk dari pengolahan bekatul. Bekatul merupakan limbah hasil samping proses penyosohan beras yang seringkali dijadikan pakan hewan ternak.

Beberapa tahun terakhir, bekatul yang memiliki sejumlah senyawa bioaktif, mineral, vitamin, serat pangan, protein, dan lipid banyak diteliti terkait manfaatnya menurunkan kolesterol darah, gula darah, dan efek imunomodulatori.

Produk komersial yang telah dihasilkan dari pengolahan bekatul antara lain minyak, hidrolisat protein, dan penambah serat pangan pada biskuit. Pemanfaatan bekatul menjadi berbagai produk bernilai tinggi merupakan bukti peranan ilmuwan pangan dalam mengurangi sampah makanan dan memenuhi kebutuhan pangan yang sehat.

Cerita tentang pemanfaatan sampah makanan lainnya adalah tempe gembus. Tempe gembus terbuat dari ampas tahu yang difermentasi seperti tempe kedelai. Konon tempe gembus pernah menjadi penyelamat saat masyarakat mengalami krisis bahan pangan di tahun 1943 sebelum Indonesia merdeka.

Gambar tempe gembus (dokumentasi pribadi).

Namun berbeda dengan whey yang telah diproduksi massal di seluruh dunia, tempe gembus masih menjadi makanan yang dikaitkan dengan kemiskinan. Sedangkan komponen gizi tempe gembus kalah jauh dibandingkan dengan tempe kedelai.

Menurut berbagai penelitian, tempe gembus diketahui mengandung berbagai komponen yang bermanfaat untuk kesehatan seperti serat, asam lemak tak jenuh ganda, dan isoflavonoid yang mempunyai pengaruh dalam menurunkan kadar lipid darah (kolesterol). Sampah makanan lain yang belum banyak dimanfaatkan adalah sampah sayuran dan buah-buahan.

Keduanya diketahui menjadi jenis makanan yang paling tidak efisien karena lebih dari 45% dari total suplainya berakhir menjadi sampah. Padahal sayuran dan buah-buahan banyak mendandung serat seperti pektin yang masih dapat digunakan untuk keperluan industri.

Di sinilah peran ilmuwan pangan dalam mencari tahu lebih lanjut potensi pangan lokal sekaligus mencari solusi untuk mendukung kegiatan konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab khususnya di bidang pangan.

Kemajuan teknologi telah memudahkan identifikasi senyawa-senyawa bioaktif dari banyak jenis bahan yang sebelumnya tidak diketahui. Adanya database berbagai macam senyawa juga telah mendorong berbagai penelitian terkait manfaat fisiologis dan potensi bahan-bahan tertentu sebagai pangan fungsional.

Meningkatnya perhatian masyarakat terhadap potensi hasil samping produksi pangan melalui berbagai penelitian yang dihasilkan ilmuwan pangan diharapkan dapat menurunkan jumlah sampah makanan sekaligus meningkatkan ketersediaan pangan yang menyehatkan di masa depan.

Penulis: Shindy Ambarwati
Mahasiswa Magister Ilmu Pangan IPB University

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0811-2564-888
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.