Urgensi Asbabul Wurud Al Hadits

asbabul wurud al hadits

Hadits merupakan segala ucapan atau perkataan Nabi SAW dan segala perbuatan yang dilakukan Nabi Muhammad SAW.

Hadits juga merupakan sumber kedua dalam ajaran Islam setelah Al Quran, maka sangat penting bagi umat Islam untuk mempelajari hadits dan menggali lebih dalam hadits hadits Nabi SAW.

Karena inti ajaran Islam dibangun atas 2 pondasi yaitu Al Quran dan Sunnah yang di antara keduanya memiliki keterkaitan yang sangat kuat dalam ajaran Islam.

Banyak ayat-ayat Al Quran yang tidak bisa diartikan secara tekstual tetapi juga memerlukan pemahaman atau penjelasan khusus dengan menganalisis suatu hadits. Sesuai dengan perkataan Abu Hanifah:

Bacaan Lainnya

“Tanpa Sunnah tak seorangpun dari kita yang dapat memahami Al-Qur’an”.  

Jadi keduanya memiliki munasabah atau keterkaitan antara satu sama lain. Namun dalam mempelajari ilmu hadits kita tidak bisa hanya memahami hadits dengan cara tekstual saja, karena jika hanya mengacu kepada teks hadits.

Baca juga: Saring Berita Ala Pakar Hadis

Dikhawatirkan akan ada kesalahpahaman dalam memahami hadits tersebut sehingga kita juga harus bisa memahami hadits dengan cara kontekstual agar bisa memahami apa yang dimaksud dengan hadits tersebut.

Selain memahami hadits dengan cara kontekstual kita juga perlu menelusuri seluk beluk turunnya hadits yang biasanya disebut dengan Asbabul Wurud Al Hadits, hal ini dalam kajian tafsir sama halnya dengan Asbabun Nuzul (sebab-sebab turunnya Al Quran).

Asbabul Wurud Al Hadits ini merupakan hal yang paling penting atau yang paling utama dalam menganalisis suatu hadits dikarenakan untuk menghindari kesalahpahaman dalam menangkap maksud suatu hadits.

Meskipun demikian perlu menjadi catatan bahwa tidak semua hadits memiliki asbabul wurud. Sebagian hadits mempunyai asbabul wurud khusus, tegas dan jelas, namun sebagian yang lain tidak. Untuk kategori pertama, mengetahui asbabul wurud al hadits mutlak diperlukan, agar terhindar dari kesalahpahaman dalam menangkap maksud suatu hadits, sehingga bisa terperosok ke dalam pemahaman yang keliru.

Sedangkan hadits yang tidak mempunyai asbabul wurud khusus, sebagai alternatifnya, dapat menggunakan pendekatan historis, antropologis, sosiologis atau bahkan psikologis sebagai alat untuk menganalisis suatu hadits.

Sebelum membahas pada poin-poin yang mendalam mengani asbabul wurud al hadits, kita perlu mengetahui pengertian secara etimologi dan terminologi dari asbabul wurud al hadits.

Secara etimologi asbabul wurud al hadits terdiri dari 3 unsur kata yaitu asbab, wurud, dan al hadits. Asbab merupakan bentuk jama’ dari kata sabab yang berarti al hablu (tali), saluran yang artinya dijelaskan sebagai segala yang menghubungkan satu benda dengan benda yang lainnya.

Sedangkan menurut istilah asbabul wurud al hadits dapat diartikan sebagai sebab sebab yang melatar belakangi munculnya al Hadits.

Al Suyuthi mendefinisikan asbabul wurud al Hadits dengan “Sesuatu yang menjadi metode untuk menentukan maksud suatu hadits yang bersifat umum, khusus, mutlak, muqayyad, dan untuk menentukan ada dan tidaknya nasakh dan mansukh dalam suatu hadits dan lain sebagainya. Dari beberapa definisi diatas dapat di tarik kesimpulan bahwa asbabul wurud al hadits merupakan konteks historisitas, bisa berupa pertanyaan0pertanyaan atau peristiwa0peristiwa lainnya yang terjadi di saat Nabi menyampaikan hadits tersebut.

Baca juga: Mengenal Sejarah Ilmu Hadist

Sejarah munculnya ilmu Asbabul Wurud yaitu Hadits pada dasarnya mencakup sanad dan matan mereka. Sanad dan Matan (teks) ini adalah hubungan yang tidak dapat terputus bahkan jika itu terputus.

Masalah utama yang terjadi di hubungan tidak mungkin, sistem hubungan yang telah tumbuh pesat, tiba-tiba muncul tanpa waktu pengembangan sebelumnya, seperti yang kita lihat seperti sekarang ini tidak hanya mengalami perkembangan teknis saja namun juga perluasan materi.

Dengan kata lain, apa yang orang katakan tentang apa yang dikatakan atau apa yang dilakukan ketika Nabi masih hidup berbeda dengan ketika Nabi telah tiada (meninggal). Ketika Nabi masih hidup, apa yang dibicarakan hanyalah sekedar masalah dan obrolan sehari-hari, tetapi ketika Nabi  wafat, itu akan berbeda, obrolan sudah menjadi kegiatan formal yang dilakukan dengan kesadaran yang cukup. Bahkan format teks dikemas.

Perubahan dari transmisi praktis ke transmisi lisan (Riwayah). Buat isu baru agar hadits terlihat kaku karena dibekukan kebanyakan hadis dikemas tanpa  informasi tentang ekspresi atau intonasi ketika Nabi mengatakan sesuatu, dan tentu saja tidak mungkin untuk mengungkapkannya.

Meskipun elemen komunikasi lain seperti vokal dan visual memiliki dampak untuk bahasa linguistik dan non-verbal, Oleh karena itu, untuk menutupi kekurangan-kekurangan di atas.

Sahabat dan cendekiawan berusaha membentuk disiplin yang memungkinkan untuk dapat menjawab pertanyaan generasi Islam tentang latar belakang dan apa tujuan nabi menyampaikan hadits?

Pengetahuan ini  dikenal dalam ilmu Asbab Alwurud

Selanjutnya penulis juga memaparkan macam-macam asbabul wurud al hadits dikategorikan menjadi 3 macam yaitu:

1. Sebab yang berupa ayat Al-Qur’an,

Maksudnya yaitu dengan adanya ayat Al-Qur’an tersebut Nabi bisa mengeluarkan sabdanya (hadits), sebagai contoh penulis mengambil ayat Al Quran Surah Al An’am 6: Ayat 82 yang berunyi:

اَلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَلَمْ يَلْبِسُوْۤا اِيْمَا نَهُمْ بِظُلْمٍ اُولٰٓئِكَ لَهُمُ الْاَ مْنُ وَهُمْ مُّهْتَدُوْنَ

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan syirik, mereka itulah orang-orang yang mendapat rasa aman dan mereka mendapat petunjuk.”

(QS. Al-An’am 6: Ayat 82)

Pada waktu itu sahabat memahami kata ظُلْمٍ dengan makna menganiaya atau melanggar atura. Tetapi Nabi menjelaskan bahwa kata ظُلْمٍ itu berarti syirik sesuai dengan firman Allah QS. Luqman 31 :13 yang berbunyi:

وَاِ ذْ قَا لَ لُقْمٰنُ لِا بْنِهٖ وَهُوَ يَعِظُهٗ يٰبُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِا للّٰهِ ۗ اِنَّ الشِّرْكَ لَـظُلْمٌ عَظِيْمٌ

“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya, “Wahai anakku! Janganlah engkau menyekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar.”

(QS. Luqman 31: Ayat 13)

2. Sebab yang berupa hadits

Pada masa itu para sahabat mengalami kesulitan dalam memahami hadits Nabi SAW, kemudian muncul hadits lain yang memberikan penjelasan pemahaman dari hadits tersebut, adapun bunyi hadits tersebut yaitu:

“Sesungguhnya Allah mempunyai para malaikat di bumi, yang dapat berbicara melalui mulut manusia mengenai kebaikan dan keburukan seseorang.” (HR. Al-Hakim)

Para sahabat dalam memahami hadits di atas mengalami kesulitan sehingga mereka bertanya kepada Nabi SAW, mereka berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimana itu bisa terjadi?” kemudian Nabi SAW menjelaskan dengan sabdanya yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik. Pada waktu itu Nabi bertemu dengan rombongan orang yang sedang mengantarkan jenazah. Kemudian para sahabat ada yang memberikan pujian terhadap jenazah tersebut dengan berkata “Jenazah itu baik”, mendengar perkataan tersebut Nabi Saw menjawab: “ Wajabat” (pasti masuk surga) sebanyak tiga kali.

Kemudian dalam waktu yang sama Nabi SAW dan para sahabat juga bertemu dengan rombongan orang yang mengantarkan jenazah. Kemudia salah seorang sahabat berkata: “ Jenazah itu jahat”, mendengar perkataan tersebut Nabi SAW menjawab: “ Wajabat” (pasti masuk surga) selama tiga kali juga.

Mendengar perkataan Rasulullah tersebut para sahabat terheran heran dan bertanya kepada Rasulullah: “ Wahai Nabi Allah, mengapa terhadap kedua jenazah tadi engkau memberi komentar, kepada jenazah pertama engkau memberi pujian pula, tetapi terhadap jenazah kedua tuan ikut mencela, dan engkau berkata kepada jenazah tersebut “Wajabat” sebanyak 3 kali.

Rasulullah menjawab: “Iya benar.” Lalu Rasulullah berkata kepada Abu Bakar sesungguhnya Allah SWT memiliki para malaikat di bumi yang dapat berbicara melalui mulut manusia mengenai kebaikan dan keburukan seseorang.”

Baca juga: Pentingnya Asbabul Wurud dalam Ilmu Hadis

3. Sebab yang Berupa Perkara yang Berkaitan dengan Para Pendengar di Kalangan Sahabat

Seperti kasus yang pernah terjadi kepada Syuraid bin Suwaid al-Saqafi, bahwa dia pernah bertemu dengan Rasulullah SAW dan berkata: “Saya akan bernazar untuk sholat di Bait al-Maqdis” kemudian Rasulullah SAW menjawab: “Shalat disini saja (Masjidil Haram) lebih Afdhal (utama).

Kemudian Rasulullah SAW bersabda: “Demi Zat yang jiwaku berada dalam kekuasan-Nya, seandainya kamu shalat disini (Masjidil Haram), maka kamu sudah mencukupi nazarmu.” Dan sesungguhnya satu kali shalat di Masjidil Haram setara dengan 100.000 kali shalat di masjid – masjid lainnya.

Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pentingnya bagi kita umat muslim dalam mempelajari hadits juga harus diawali dengan menelaah asbabul wurud dari hadits yang kita pelajari, dengan tujuan tidak ada kesalahpahaman dalam menarik maksud hadits, juga agar kita mengetahui apa sejarah dari turunnya hadits tersebut, sehingga pengetahuan kita akan ilmu hadits tidak setengah – setengah dan ilmu yang kita dapat tetap utuh. Dengan demikian ada beberapa urgensi dalam mempelajari asbabul wurud al hadits, yaitu sebagai berikut:

Pertama, mempermudah dalam memahami hadits-hadits Nabi SAW, khususnya pada hadits yang bertentangan antara yang satu dengan yang lain. Kedua, membatasi pengertian hadits yang masih muthlaq. Ketiga, merinci hadits yang masih bersifat umum. Keempat, menentukan ada atau tidaknya nasakh dan mansukh dalam suatu hadits yang di kaji. Kelima, menjelaskan sebab- sebab ditetapkannya suatu hukum. Keenam, menjelaskan maksud hadits yang masih sulit dipahami. Ketujuh, mengetahui hikmah dari ditetapkannya suatu hukum.

Kemudian penulis juga akan menjelaskan bagaimana sih cara mengetahui assbabul wurud al hadits. Yang pertama kita dapat menaruh perhatian kita terhadap riwayat hadits Nabi dalam suatu hadits, baik diungkapkan secara tegas dalam hadits tersebut atau dalam hadits yang lain. Kemudian yang kedua biasa dengan melalui informasi para sahabat (Qaul Shahabah), kemudian yang terakhir bisa melalui ijtihad yang umumnya dilakukan dalam mentakhrij hadits.

Penulis: Deby Maulina
Jurusan Ilmu Al Qur’an dan tafsir UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Pos terkait