Gen Z, Generasi Paling “Mental Health”?

Gen Z, Generasi Paling “Mental Health”?
Sumber: Pixabay

Generasi Z atau Zoomer adalah generasi kelahiran dari pertengahan tahun 1990an sampai tahun 2010. Badan Pusat Statistik memberi rentang lainnya, yaitu antara rentang tahun 1997 sampai 2012. Gen Z merupakan generasi yang sudah melek terhadap perkembangan digital sejak muda.

Karena perkembangan teknologi berkembang pesat di saat awal Gen Z tumbuh dan teknologi terus berkembang bersamaan dengan tumbuh kembangnya Gen Z. Dengan perkembangan teknologi yang membersamai kehidupan Gen Z sedari kecil, Gen Z mahir mengoperasikan berbagai macam platform dan web seperti Facebook, Instagram, TiktTok, dan lain-lain.

Gen Z juga digadang-gadang akan menjadi generasi emas Indonesia tahun 1945. Namun, perkembangan teknologi ini tanpa disadari juga menimbulkan masalah khusus bagi kalangan Gen Z, yaitu isu “Mental Health”.

Bacaan Lainnya
DONASI

Apa itu isu “Mental Health”? Menurut WHO, mental health adalah keadaan individu sejahtera di mana individu sadar akan potensi yang dimiliki, mampu mengatasi tekanan hidup, belajar dan bekerja dengan baik, dan mampu memberi kontribusi kepada lingkungan di sekitarnya.

Isu kesehatan mental menjadi perhatian khusus bagi WHO saat ini dikarenakan banyaknya angka gangguan mental di seluruh dunia, dan angka ini didominasi oleh kalangan Gen Z. Benarkah bisa seperti itu? Dan apa yang membuat Gen Z banyak mengeluh tentang kesehatan mental?

Melansir dari CNBC Indonesia, penyebab utama tingginya tingkat depresi pada Gen Z adalah pengaruh dari media sosial. Gen Z yang sudah terpapar media sosial sejak kecil menganggap media sosial sebagai sebuah kebutuhan dan merasa tidak keren jika tertinggal tren terbaru.

Melansir dari McKinsey Health Institute, pengguna media sosial yang menghabiskan waktunya bermain media sosial lebih dari dua jam memiliki kesehatan mental yang buruk. Menurut penelitian dari University College London, tingkat depresi Generasi Z dua pertiga lebih tinggi dibanding Generasi Millenial.

Penelitian yang sama juga dilakukan terhadap perempuan Gen Z, mereka mengaku mendapat dampak negatif dari media sosial seperti takut ketinggalan tren atau orang jaman sekarang mengatakan FOMO (Fear Of Missing Out), khawatir terhadap citra tubuh, dan takut kehilangan kepercayaan diri.

Globalisasi berperan penting dalam penyebarluasan tren-tren terbaru, tren yang muncul di sosial media dan dirasa oleh Gen Z sebagai kemajuan kemudian diikuti oleh banyak orang terutama kalangan Gen Z tanpa memikirkan akibat dari tren tersebut. Banyak tren yang muncul tanpa orientasi yang jelas, mungkin sekadar menghibur tetapi tetap saja ada dampak tersembunyi yang muncul.

Pengguna media sosial terutama Gen Z memiliki kenaikan pada masa pandemi Covid-19. Masa pandemi yang mewajibkan seluruh aktivitas dilakukan melalui daring, membuat banyak masyarakat menjadi ketergantungan dengan media sosial.

Tren yang muncul selama pandemi Covid-19 dan pengaruh game online berdampak terhadap psikis anak-anak maupun remaja terutama kalangan Gen Z. Alhasil ketika pandemi sudah berakhir dan semua aktivitas kembali normal, Gen Z yang menjadi kecanduan terhadap sosial media menjadi lebih tertutup terhadap pergaulan sosial atau jaman sekarang orang mengatakan Introvert.

Menurut penelitian lain, rokok juga menyebabkan tidak hanya masalah kesehatan paru-paru, namun juga masalah kesehatan mental. Para peneliti dari Universitas Aarhus di Denmark mengungkapkan merokok dapat menyebabkan risiko depresi dan gangguan bipolar. Penelitian masih menjadi perdebatan karena belum menemukan hubungan spesifik antara keduanya.

Sebuah survei dilakukan antara peneliti dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (FKKMK-UGM), University of Queensland, Australia, dan Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health. Survei ini bertujuan untuk mengetahui tingkat gangguan mental di kalangan Gen Z.

Hasil survei menunjukkan sebanyak 26,7 persen remaja mengalami gangguan kecemasan. Terdapat juga laporan beberapa remaja memiliki kecenderungan untuk bunuh diri dalam 12 bulan terakhir. Sekitar 1,4 persen dari keseluruhan sampel memiliki pemikiran untuk bunuh diri, 0,5 persen telah membuat rencana untuk bunuh diri, dan 0,2 persen mengaku sudah melakukan percobaan bunuh diri.

Tingginya angka gangguan mental juga disebabkan oleh keterbatasan layanan kesehatan yang disediakan. Remaja yang memiliki masalah pada mental, sedikit yang dapat mengakses layanan konseling dikarenakan layanan yang juga terbatas. Indonesia yang memiliki populasi 260 juta, hanya memiliki sekitar 773 psikiater dan 451 psikolog klinis.

Hal ini disampaikan oleh Susy K. Sebayang dan tim peneliti Kesehatan Masyarakat dari Universitas Airlangga dalam artikelnya berjudul The Conversation (2018). Selain persoalan keterbatasan penyediaan layanan kesehatan mental, pengaruh sosial budaya juga menghambat anak-anak untuk mendapat layanan kesehatan mental. Kebanyakan orang tua tidak menyadari adanya gangguan mental pada anak-anak mereka.

Solusi yang dapat dilakukan untuk menekan angka gangguan mental pada Gen Z dapat dimulai dari lingkungan keluarga terlebih dahulu, seperti memberi dukungan dan memberi masukan apabila mengalami masalah di sekolah maupun pergaulan dengan teman.

Orang tua juga harus memastikan penggunaan media sosial yang tidak berlebihan agar remaja kalangan Gen Z lebih peduli dengan dunia luar dan memiliki kepekaan sosial yang tinggi.

Penulis: M. Irawan Pandu Negara
Mahasiswa
Hubungan Internasional Universitas Brawijaya

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Ikuti berita terbaru di Google News

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI