Dominasi media sosial dalam kehidupan sehari-hari semakin nyata dirasakan oleh masyarakat Indonesia, terutama sejak pandemi COVID-19 yang memaksa interaksi beralih ke ruang digital.
Kini, meski situasi sudah kembali normal, ketergantungan terhadap media sosial justru semakin kuat. Fenomena ini melahirkan realitas baru di mana interaksi tatap muka mulai tergantikan oleh percakapan virtual yang seringkali minim empati dan makna.
Media sosial seperti Instagram, TikTok, dan WhatsApp telah menjadi platform utama untuk berkomunikasi, tetapi di sisi lain, keakraban dan kedekatan emosional dalam hubungan antarmanusia mulai terkikis.
Koneksi atau Keterasingan?
Dominasi media sosial ini telah memunculkan dua sudut pandang berbeda. Di satu sisi, media sosial dipandang sebagai sarana yang memperluas koneksi sosial tanpa batas ruang dan waktu.
Namun, di sisi lain, media sosial juga menjadi penyebab lemahnya kualitas interaksi sosial secara langsung.
Banyak orang kini lebih nyaman mengetik pesan ketimbang berbicara langsung. Mereka lebih sibuk memoles citra diri di dunia maya daripada membangun kedekatan nyata di dunia nyata.
Terutama di kalangan Generasi Z dan milenial muda, fenomena ini sangat terasa, di mana aktivitas nongkrong bersama seringkali berakhir dengan semua orang tenggelam dalam layar ponselnya masing-masing. Ironisnya, meski secara digital tampak “terhubung”, mereka justru merasa semakin kesepian.
Baca juga: Dampak Penggunaan Media Sosial terhadap Kesehatan Mental Generasi-Z
Pentingnya Pendidikan dalam Menumbuhkan Kesadaran Sosial
Fenomena melemahnya interaksi sosial ini menegaskan pentingnya membangun kesadaran akan keseimbangan antara kehidupan dunia maya dan kehidupan nyata.
Pendidikan memiliki peran sentral dalam membentuk literasi digital yang sehat. Pendidikan tidak hanya harus mengajarkan cara menggunakan teknologi, tetapi juga mendidik anak muda tentang pentingnya empati, komunikasi tatap muka, dan kepekaan sosial.
Melalui pendidikan karakter dan pembelajaran kontekstual di sekolah, generasi muda harus dibekali dengan keterampilan sosial yang tak tergantikan oleh teknologi.
Tanpa itu, masyarakat berisiko kehilangan nilai-nilai kebersamaan dan solidaritas yang menjadi fondasi hubungan sosial.
Dampak Nyata bagi Individu dan Keluarga
Interaksi sosial yang lemah berimplikasi pada berbagai aspek kehidupan.
Banyak anak muda yang mengalami kesulitan membangun hubungan sosial yang sehat, rentan terhadap gangguan kesehatan mental, dan merasa kesepian meski memiliki ribuan “teman” di media sosial.
Selain itu, dominasi media sosial juga mempengaruhi dinamika keluarga. Dalam banyak kasus, interaksi antar anggota keluarga menjadi renggang karena masing-masing terlalu sibuk dengan gawai mereka sendiri.
Tidak sedikit pula konflik yang muncul akibat salah paham yang bermula dari percakapan daring yang kurang bernuansa.
Maka dari itu, penting bagi setiap individu untuk menyadari bahwa media sosial adalah alat bantu, bukan pengganti interaksi sosial yang sesungguhnya.
Budaya Pencitraan dan Ekspektasi yang Tidak Realistis
Media sosial juga menciptakan budaya baru yang cenderung menilai seseorang dari seberapa aktif dan populer ia di platform digital.
Akibatnya, tekanan sosial untuk selalu tampil sempurna di dunia maya menyebabkan banyak orang lebih fokus pada pencitraan daripada pada hubungan yang autentik.
Bahkan, dalam konteks pertemanan, interaksi daring sering kali melahirkan ekspektasi yang tidak realistis. Banyak orang mengaku lebih canggung dan kesulitan berkomunikasi langsung, karena selama ini terbiasa menyembunyikan emosi di balik layar.
Situasi ini menunjukkan bahwa meski teknologi membawa kemudahan, ia juga membawa tantangan besar dalam menjaga kualitas hubungan manusia.
Baca juga: Algoritma Media Sosial: Membantu atau Mempengaruhi Opini?
Upaya Kolektif untuk Menjaga Interaksi Sosial yang Sehat
Upaya mengatasi melemahnya interaksi sosial akibat dominasi media sosial memerlukan pendekatan komprehensif.
Pertama, penting untuk memperkuat pendidikan karakter dan literasi digital di semua jenjang pendidikan. Kedua, keluarga perlu menjadi tempat pertama yang menumbuhkan kebiasaan komunikasi langsung yang sehat dan terbuka.
Ketiga, pemerintah dan komunitas masyarakat dapat mendorong gerakan sosial seperti kampanye “offline day” atau “digital detox” sebagai upaya membangun kesadaran kolektif akan pentingnya hubungan sosial yang nyata.
Terakhir, perusahaan teknologi juga memiliki tanggung jawab moral untuk menciptakan fitur-fitur yang mendorong pengguna untuk lebih hadir di dunia nyata, bukan sekadar aktif di dunia maya.
Kembali pada Inti Kemanusiaan
Melemahnya interaksi sosial akibat dominasi media sosial adalah fenomena yang tidak bisa dihindari, tetapi bisa dikelola.
Media sosial pada dasarnya adalah alat, dan manusia sebagai pengguna harus bijak mengatur intensitas dan kualitas penggunaannya.
Interaksi sosial yang sehat tetap menjadi kebutuhan mendasar manusia yang tak tergantikan oleh teknologi secanggih apa pun.
Maka dari itu, mari kita kembali menghidupkan sapaan, obrolan, dan tatapan mata yang penuh makna, agar kita tidak kehilangan rasa sebagai manusia yang sejatinya saling terhubung bukan hanya lewat layar, tetapi juga lewat hati dan jiwa.
Baca juga: Pengaruh Media Sosial Seorang Influencer dalam Meningkatkan Penjualan melalui E-Commerce
Penulis: Putri Nadila Damayanti
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Makassar
Editor: Anita Said
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru di Google News