Memajukan Pendidikan Indonesia, Internasionalisasikah Jalannya?

Pada zaman sekarang ini, kebutuhan dasar itu bukan hanya tentang sandang, pangan, dan papan namun juga pendidikan. Pendidikan di Indonesia merupakan investasi mutlak karena pelaksanaan pemerintahan suatu negara datang dari sistem pendidikan yang ia ciptakan. Meski demikian, pendidikan di Indonesia bisa dibilang masih jauh dari kata ideal apalagi mencapai taraf maju dibandingkan dengan negara-negara lain.

Berdasarkan Laporan Pembangunan Manusia oleh UNDP pada tahun 2016, indeks pembangunan manusia kita (Indonesia) masih berada di urutan bawah yakni ranking 88 dari 118 negara. Dan ranking pelajar kita pun berada di barisan belakang, yang tidak lain adalah peringkat 65 dari 68 negara. Di sisi lain, pada tahun 2017 Indonesia berada di posisi 108 di dunia dengan skor 0,603.

Dilansir dari Okezone.com, disebutkan bahwa secara umum kualitas pendidikan di tanah air berada di bawah Palestina, Samoa dan Mongolia. Hanya sebanyak 44% penduduk menuntaskan pendidikan menengah. Sementara 11% murid gagal menuntaskan pendidikan alias keluar dari sekolah. Hal ini memprihatinkan mengingat dana APBN yang dikeluarkan pada tahun 2018 mencapai Rp. 444 Triliun, tentu bukan jumlah angka yang sedikit karena mencapai 20% dari anggaran negara.

Bacaan Lainnya

Jika kita mencari jawaban mengenai permasalahan ini tentunya akan panjang dan berliku, namun satu yang pasti adalah bahwa sektor pendidikan dalam hal ini perlu ditingkatkan dari segi kualitas, bukan hanya kuantitasnya. Jika kita amati, maka angka sekolah maupun anak yang bersekolah jumlahnya cenderung meningkat dari tahun ke tahun.

Lalu apakah itu cukup untuk mengatakan bahwa pendidikan di Indonesia sudah maju? Tentu tidak, karena banyak dari sekolah-sekolah tersebut yang masih belum memenuhi standar dan kemampuan guru yang masih jauh dari harapan, contohnya saja di desa saya dimana terdapat seorang guru dengan background pendidikan agama yang bercerita bahwa beliau pernah datang menemui ketua yayasan untuk dapat mengajar di sekolah X, namun ternyata mata pelajaran yang sesuai dengan kualifikasinya sedang tidak ada yang kosong, meski begitu beliau tetap bisa mengajar meski mata pelajaran yang diampunya tidak sesuai dengan kompetensinya. Inilah secuil bukti bahwa kualitas pendidikan di Indonesia belum sesuai harapan.

Senada dengan hal tersebut, adapun permasalahan pendidikan kita yang lain ialah terletak pada diri pelajar yang berimbas pada peringkat universitas di Indonesia di dunia internasional sebagaimana dikutip dari youthcorpsindonesia.org yang menyatakan:

“Pendidikan dasar dan menengah di Indonesia, berdasarkan riset PISA, belum mampu menyiapkan murid dengan kemampuan berpikir kritis dan analitis sebagaimana seorang ilmuwan perlukan serta belum mampu menginspirasi murid untuk bercita-cita menjadi peneliti dalam bidang apapun. Padahal, tanpa murid yang kemampuannya bagus, universitas di Indonesia tidak akan bisa memperluas dan memperkuat program riset mereka dan meningkatkan posisi mereka di dunia internasional.”

Di sini dapat dikatakan bahwa para pelajar yang belum mampu membangun pemikiran kritis adalah hal mendasar yang perlu ditangani dengan segera. Jika kita amati, instansi pendidikan di Indonesia utamanya sejumlah universitas-universitasnya sedang gencar-gencarnya melakukan berbagai cara untuk memperoleh predikat kampus bereputasi internasioanal.

Ya, salah satunya adalah dengan mengikuti sejumlah lembaga pemertingkatan internasional seperti Times Higher Education, Green Metrics, OECD, dan masih banyak lagi. Mereka berlomba-lomba memenuhi kriteria-kriteria yang diinginkan agar mendapatkan penilaian maksimal dan peringkat yang diinginkan. Namun, hal yang paling mendasar seakan dilupakan yakni menyiapkan individu agar mau berpikir secara kritis. Karena percuma saja jika kampus sudah memiliki reputasi internasional namun mayoritas mahasiswanya belum mampu berpikir dan bersaing secara global.

Bahkan dalam penerapan internasionalisasi pendidikan di Indonesia, aturannya belum jelas dan rinci mengenai rencana kebijakan yang memperbolehkan Perguruan Tinggi Asing (PTA) masuk ke Indonesia yang dikhawatirkan dapat mengancam eksistensi pendidikan tinggi terutama perguruan tinggi swasta (PTS) di dalam negeri. Untuk itu, perlu ada batasan tegas tentang aturan serta peranan PTA jika nantinya diperbolehkan masuk ke Indonesia.

Lebih dari itu, jika internasionalisasi pendidikan memang bermuara dan dimaksudkan untuk memajukan pendidikan Indonesia, maka lagi-lagi kesiapan dari segala aspek harus dimatangkan termasuk di dalamnya menyiapkan individu (pelajar) sedari pendidikan dasar dan menengah melalui sistem pendidikan yang tepat.

Dalam hal ini kita bisa mengacu pada negara Finlandia yang merupakan salah satu negara dengan sistem pendidikan yang paling sukses di dunia. Majunya pendidikan di Finlandia tentu tak terlepas dari cara spesial mereka dalam mendidik siswa.

Mereka tidak menggunakan nilai sebagai standar pendidikan, jika di Indonesia orang tua berlomba-lomba menyekolahkan anaknya di sekolah favorit maka di Finlandia semua sekolah adalah favorit, di Finlandia jam belajar lebih sedikit dan jam istirahat memiliki waktu lebih lama daripada di Indonesia, tak ada PR di sana, bahkan murid bisa memilih pelajaran kesukaan mereka saja.

Jika kita simpulkan, sekolah di Finlandia merupakan tempat belajar yang menyenangkan dan hal tersebut adalah sebuah pola pendidikan dari tokoh pendidikan nasional kita bersama yang tak lain adalah Ki Hadjar Dewantara. Sebuah sistem pendidikan yang berasal dari negeri sendiri dan ternyata terbukti manjur di negara orang.

Ya, memajukan pendidikan Indonesia memang tidak harus melalui jalan internasionaliasi, karena sejatinya Indonesia sudah memiliki sistem pendidikan yang telah lama berdiri dan karenanya sistem pendidikan saat ini perlu dibenahi.

Zahrotun Nafidah
Mahasiswa Jurusan Teknologi Pendidikan, Universitas Negeri Semarang

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI