Pencegahan Sikap Radikalisme dan Rasisme terhadap Peserta Didik Sekolah Menegah Atas (SMA)

radikalisme
Pencegahan Radikalisme (Gambar: Harakatuna.com)

Oleh: Tria Resinta (2111005)
Mahasiswa Jurusan Teknik Sipil Universitas Internasional Batam

Abstract

Religion is a virtue for mankind, because humans are living creatures that continue to develop both qualitatively and quantitatively. Everyone’s religious beliefs must be respected. However, the dissemination of an understanding that clearly disturbs and even damages the joints of the life of the nation and state, must be prevented and prohibited. Cases of radicalism and racism have occurred a lot, and this has caused a lot of negative impacts among human beings, especially teenagers aged 15-19 years, who are none other than the majority still occupying senior high schools (SMA). Based on the description above, we will discuss the prevention of radicalism and racism towards teenagers who are in high school. The method used in this study uses the literature review method. the conclusion that the way to prevent radicalism is to strengthen civic education, direct youth to various quality activities in the academic, social, religious, artistic, cultural, and sports fields, provide a peaceful and tolerant understanding of religion, so that they are not easily trapped in currents of radicalism, and provide an example. While the way to prevent racism is to realize that we are born as equal and equal human beings, try to make friends with people of different races, ethnicities, cultures, languages, and religions to foster a sense of tolerance, fight people who behave racism by explaining not with violence, use the choice of words that are subtle, wise, and not racially offensive in speaking, even if only joking, and become more open by learning and understanding other people’s races.

Bacaan Lainnya
DONASI

Keywords: Religion, Youth, Radicalism, Racism

Abstrak

Agama merupakan suatu kebaikan untuk umat manusia, karena manusia adalah makhluk hidup yang terus berkembang baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Paham keagamaan setiap orang harus dihormati. Namun, penyebarluasan paham yang jelas mengganggu bahkan merusak persendian kehidupan berbangsa dan bernegara, maka itu harus dicegah dan dilarang. Kasus radikalisme dan rasisme sudah banyak sekali terjadi, dan hal ini menimbulkan banyak sekali dampak negatif antar sesama manusia, khususnya remaja usia 15-19 tahun, yang tidak lain mayoritas masih menduduki bantu Sekolah Menengah Atas (SMA). Berdasarkan uraian di atas, akan dibahas tentang pencegahan sikap radikalisme dan rasisme terhadap remaja yang menduduki bangku SMA. Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode kajian kepustakaan. kesimpulan bahwa cara mencegah sikap radikalisme adalah  memperkuat pendidikan kewarganegaraan, mengarahkan para remaja pada macam-macam aktivitas yang berkualitas baik di bidang akademis, sosial, keagamaan, seni, budaya, maupun olahraga, memberikan pemahaman agama yang damai dan toleran, sehingga tidak mudah terjebak pada arus ajaran radikalisme, dan memberikan keteladanan. Sedangkan cara untuk mencegah sikap rasisme adalah dengan menyadari bahwa kita dilahirkan sebagai manusia yang setara dan sama, mencoba berteman dengan orang-orang yang berbeda ras, suku, budaya, bahasa, dan agama untuk menumbuhkan rasa toleransi, melawan orang yang bersikap rasisme dengan menjelaskan bukan dengan kekerasan, menggunakan pilihan-pilihan kata yang halus, bijak, dan tidak menyinggung ras dalam berbicara, meskipun hanya bersenda gurau, dan menjadi lebih terbuka dengan mempelajari dan memahami ras orang lain.

Kata Kunci: Agama, Remaja, Radikalisme, Rasisme

Pendahuluan

Agama merupakan suatu kebaikan untuk umat manusia, karena manusia adalah makhluk hidup yang terus berkembang baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Maka dari itu, agama juga harus bisa mengembangkan diri sesuai dengan kebutuhan manusia itu sendiri. Jika agama Islam dibawa kepada suatu penafsiran yang justru berlawanan dengan maslahat manusia atau bahkan menindas kemanusiaan, maka Islam yang seperti ini adalah semacam fosil yang tidak lagi berguna untuk umat.

Paham keagamaan setiap orang harus dihormati. Namun, penyebarluasan paham yang jelas mengganggu bahkan merusak persendian kehidupan berbangsa dan bernegara, maka itu harus dicegah dan dilarang. Apabila terdapat paham yang mengatakan bahwa demokrasi adalah sesuatu yang harus ditolak, apalagi mengatasnamakan agama, hal itu lebih salah lagi. Karena agama khususnya agama Islam, sama sekali tidak mengajarkan paham-paham demikian. Selain itu, paham yang tidak sekedar membolehkan, bahkan memerintahkan seseorang untuk membunuh pihak lain yang berbeda paham dengannya, hal itu dalam konteks Indonesia tidak diperbolehkan karena sudah melenceng dari paham mayoritas umat islam di Indonesia (Sary, 2017).

Menurut Salim dkk (2018) Radikalisme merupakan embrio lahirnya terorisme. Radikalisme merupakan suatu sikap yang mendambakan perubahan secara total dan bersifat revolusioner dengan menjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada secara drastic lewat kekeran (violence) dan aksi-aksi yang ekstrem. Ada beberapa ciri yang bisa dikenali dari sikap dan paham radikal. 1) intoleran (tidak mau menghargai pendapatdan keyakinan orang lain), 2) fanatik (selalu merasa benar sendiri; menganggap orang lain salah), 3) eksklusif (membedakan diri dari umat Islam pada umumnya) dan 4) revolusioner (cenderung menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan). Pada penelitian Satriawan dkk (2019) disebutkan bahwa gerakan radikalisme sebagai suatu paham tidak selalu ditandai dengan aksi-aksi kekerasan, namu dapat juga sebatas ideologi yang tidak menggunakan cara-cara kekerasan. Radikalisme yang telah berkembang di masyarakat dalam bentuk radikalisme ideologi maupun agama harus bisa dicegah. Untuk melakukan pencegahan gerakan radikalisme tidaklah mudah dan membutuhkan strategi yang terstruktur, sistematis, dan massif.

Masa transisi krisis identitas kalangan pemuda berkemungkinan untuk mengalami apa yang disebut dengan cognitive opening (pembukaan kognitif), sebuah proses mikro-sosiologis yang mendekatkan mereka pada penerimaan terhadap gagasan baru yang lebih radikal. Alas an-alasan seperti itulah yang menyebabkan mereka sangat rentan terhadap pengaruh dan ajakan kelompok kekerasan dan terorisme. Sementara itu, kelompok teroris menyadari problem psikologi generasi muda. Sangat memprihatinkan ketika melihat berbagai fakta yang mempertontonkan kedekatan pemuda dengan budaya kekerasan.

Sedangkan rasisme merupakan sebuah kepercayaan yang menandakan perbedaan secara biologis pada ras manusia dalam pencapaian budaya atau secara individu, bahwa apabila sebuah ras tertentu lebih dominan maka mampu mengatur ras yang lainnya. Rasisme bisa terjadi dimana saja dan dapat mengganggu mental seseorang sehingga si korban akan merasa minder dengan ras yang dimilikinya. Rasisme terjadi ketika orang-orang mempercayai superioritas yang mereka warisi terhadap ras yang lain (Sihombing dkk, 2020). Dalam penelitian tersebut juga dipaparkan bahwa terjadinya perbedaan perlakuan ras menjadi pendorong terjadinya rasisme. Di Indonesia akan terjadi jika ada kaum minoritas dan mayoritas. Sebagai contoh, keturunan India bisa ada di Sumatera Utara dan Tionghoa di Kalimantan. Masalah ini belum juga selesai bahkan sampai saat ini.

Menurut Suryani dan Dinie (2021), kurangnya rasa empati yang dimiliki dapat menimbulkan masalah diskriminasi dalam masyarakat. Rasisme terjadi karena suatu sikap seseorang atau sekelompok orang yang menganggap bahwa seseorang yang menjadi korban berbeda, baik dari segi fisik maupun sosial yang menjadikan perbedaan perlakuan terhadap korban. Di Indonesia sendiri, kasus rasisme bukan menjadi permasalahan yang aneh maupun langka disebabkan perbedaan-perbedaan yang ada di Indonesia. Kasus radikalisme dan rasisme sudah banyak sekali terjadi, dan hal ini menimbulkan banyak sekali dampak negatif antar sesama manusia, khususnya remaja usia 15-19 tahun, yang tidak lain mayoritas masih menduduki bantu Sekolah Menengah Atas (SMA).  Berdasarkan uraian di atas, akan dibahas tentang pencegahan sikap radikalisme dan rasisme terhadap remaja yang menduduki bangku SMA.

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode kajian kepustakaan (library research). Studi atau kajian kepustakaan dapat diartikan sebagai serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian. Dalam penelitian studi pustaka setidaknya ada empat ciri utama yang penulis perlu perhatikan diantaranya: Pertama, bahwa penulis atau peneliti berhadapan langsung dengan teks atau data angka, bukan dengan pengetahuan langsung dengan lapangan. Kedua, data pustaka bersifat “siap pakai” artinya peneliti tidak terjun langsung ke lapangan karena peneliti berhadapan langsung dengan sumber data yang ada di perpustakaan. Ketiga, bahwa data pustaka umumnya adalah sumber sekunder, dalam arti bahwa peneliti memperoleh bahan atau data dari tangan kedua dan bukan data orisinil dari data pertama di lapangan. Keempat, bahwa kondisi data pustaka tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Berdasarkan dengan hal tersebut, maka pengumpulan data dalam penelitian dilakukan dengan menelaah dan mengeksplorasi beberapa jurnal, buku, dan dokumen-dokumen (baik yang berbentuk cetak maupun elektronik) serta sumber-sumber data dan informasi lainnya yang dianggap relevan dengan penelitian atau kajian (Supriyadi, 2016).

Pembahasan

Salim dkk (2018) memaparkan bahwa rentannnya pemuda atau remaja terhadap aksi radikalisme patut menjadi keprihatinan kita bersama. Banyak faktor yang menjadi penyebab para pemuda terseret dalam tindakan tersebut, mulai dari kemiskinan, kurangnya pendidikan agama yang damai, gencarnya infiltrasi kelompok radikal, lemahnya semangat kebangsaan, kurangnya pendidikan kewarganegaraan, kurangnya keteladanan, dan tergerusnya nilai kearifan lokal oleh arus modernitas negatif. Adapun factor yang melatarbelakangi, adalah tugas kita bersama untuk membentengi mereka dari radikalisme. Untuk membentengi atau mencegah pemuda dan remaja khusunya siswa dan siswi SMA dari radikalisme, terdapat beberapa hal yang patut dikedepankan yaitu:

  1. Memperkuat pendidikan kewarganegaraan dengan menanamkan pemahaman yang mendalam terhadap pilar kebangsaan, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Melalui pendidikan kewarganegaraan, para remaja didorong untuk menjunjung tinggi dan menginternalisasikan nilai-nilai luhur yang sejalan dengan kearifan lokal seperti toleran antar umat beragama, kebebasan yang bertanggung jawab, gotong royong, kejujuran, dan cinta tanah air serta kepedulian antar sesama.
  2. Mengarahkan para remaja pada macam-macam aktivitas yang berkualitas baik di bidang akademis, sosial, keagamaan, seni, budaya, maupun olahraga. Kegiatan positif seperti inilah yang akan memacu mereka menjadi remaja yang berprestasi dan aktif berorganisasi di sekolah maupun lingkungannya sehingga dapat mengantisipasi remaja dari pengaruh ideologi radikalisme.
  3. Memberikan pemahaman agama yang damai dan toleran, sehingga tidak mudah terjebak pada arus ajaran radikalisme. Dalam hal ini, peran guru agama di lingkungan sekolah dan para tokoh agama di masyarakat sangat penting. Pesan-pesan damai dari ajaran agama perlu dikedepankan dalam pelajaran maupun ceraham-ceramah keagamaan.
  4. Memberikan keteladanan. Sebab, tanpa adanya keteladanan dari para penyelenggara negara, tokoh agama, guru di sekolah, serta tokoh masyarakat, maka upaya yang dilakukan akan sia-sia. Para tokoh masyarakat harus bisa menjadi contoh yang bisa diikuti dan diteladani oleh remaja atau pemuda di sekitarnya.

Salah satu penyebab timbulnya rasisme pada remaja adalah adanya anggapan bahwa seseorang atau suatu kelompok merasa lebih baik dibandingkan orang lain, baik itu dari segi biologis, keturunan, suku, dan lain sebagainya. Mungkin, rasisme di kalangan remaja masih dianggap kecil dan sepele. Namun sebenarnya tanpa disadari perilaku rasis semacam itu bisa berdampak buruk bagi kondisi psikologis teman-teman yang menjadi “korban”. Meskipun hanya candaan, hal ini dapat membuat individu yang bersangkutan menjadi lebih sensitive. Ia bisa merasa dirinya didiskriminasi, tertekan, dan lebih parah lagi dapat menimbulkan hilangnya harga diri dan merasa tidak dihargai lagi.

Untuk menghindari atau mencegah sikap rasisme, kita harus mencegah terjadinya diskriminasi-diskriminasi ras yang ada di sekita kita. Beberapa cara untuk mencegah terjadinya rasisme yaitu:

  1. Menyadari bahwa kita dilahirkan sebagai manusia yang setara dan sama.
  2. Mencoba berteman dengan orang-orang yang berbeda ras, suku, budaya, bahasa, dan agama untuk menumbuhkan rasa toleransi.
  3. Melawan orang yang bersikap rasisme dengan menjelaskan bukan dengan kekerasan.
  4. Menggunakan pilihan-pilihan kata yang halus, bijak, dan tidak menyinggung ras dalam berbicara, meskipun hanya bersenda gurau,
  5. Menjadi lebih terbuka dengan mempelajari dan memahami ras orang lain.

(Sihombing dkk, 2020).

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas, maka didapatkan kesimpulan bahwa cara mencegah sikap radikalisme adalah sebagai berikut:

  1. Memperkuat pendidikan kewarganegaraan.
  2. Mengarahkan para remaja pada macam-macam aktivitas yang berkualitas baik di bidang akademis, sosial, keagamaan, seni, budaya, maupun olahraga.
  3. Memberikan pemahaman agama yang damai dan toleran, sehingga tidak mudah terjebak pada arus ajaran radikalisme.
  4. Memberikan keteladanan.

Sedangkan cara untuk mencegah sikap rasisme adalah sebagai berikut:

  1. Menyadari bahwa kita dilahirkan sebagai manusia yang setara dan sama.
  2. Mencoba berteman dengan orang-orang yang berbeda ras, suku, budaya, bahasa, dan agama untuk menumbuhkan rasa toleransi.
  3. Melawan orang yang bersikap rasisme dengan menjelaskan bukan dengan kekerasan.
  4. Menggunakan pilihan-pilihan kata yang halus, bijak, dan tidak menyinggung ras dalam berbicara, meskipun hanya bersenda gurau,
  5. Menjadi lebih terbuka dengan mempelajari dan memahami ras orang lain.A

Daftar Pustaka

Salim, N., Suryanto., dan A. Widodo. 2018. Pencegahan paham radikalisme dan terorisme melalui pendidikan multikulturalisme pada siswa MAN Kediri I. Jurnal ABDINUS. 2(1): 99-107.

Sary, Noermala. 2017. Mencegah penyebaran paham radikalisme pada sekolah. Manthiq. 2(2): 191-200.

Satriawan, I., M. N. Islami., dan T. Lailam. 2019. Pencegahan gerakan radikalisme melalui penanaman ideology pancasila dan budaya sadar konstitusi berbasis komunitas. Jurnal Surya Masyarakat. 1(2): 99-110.

Sihombing, D.A., dkk. 2020. Stop rasisme dan tegakkan keadilan di kalangan mahasiswa universitas internasional Batam. Prociding National Conference for CommunityService Project. 2(1): 276-282.

Supriyadi. 2016. Community of practitioners: solusi alternative berbagi pengetahuan antar pustakawan. Jurnal Lentera Pustaka . 2(2): 83-93.

Suryani, Z., D. A. Dewi. 2021. Implementasi pancasila dalam menghadapi masalah rasisme dan diskriminasi. Jurnal Kewarganegaraan. 5(1): 192-200.

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI