Secara umum seks dapat didefenisikan sebagai persetubuhan atau hubungan seksual, yang artinya secara prinsip ialah tindakan sanggama yang dilakukan oleh manusia, tetapi dalam arti yang lebih luas juga merujuk pada tindakan-tindakan lain yang sehubungan atau menggantikan tindakan senggama, jauh lebih dari sekedar merujuk pada pertemuan antar alat kelamin lelaki dan perempuan. Nah, jikalau dikaitkan dengan kata “politik” tentu memiliki cakupan makna yang lebih luas lagi, politik sendiri diartikan sebagai kekuasaan (arti sempit) dan seni dalam mempengaruhi individu dan kelompok agar sesuai dengan kemauan si pemberi pengaruh, yang pada ujungnya tetap bermuara pada kekuasaan. Jadi secara terminology, politik seks dapat diartikan sebagai individu atau kelompok yang menggunakan seks sebagai tools(alat) untuk mempengaruhi sebuah entitas demi tercapainya tujuan yang bersangkutan.
Sekilas kita lihat fakta empiris saat ini, semakin maraknya fenomena-fenomena yang terjadi di lingkungan sekitar kita yang memiliki nuansa seks, salah satu yang terjadi adalah pelecehan atau kekerasan seks. Menurut hukum sebab-akibat; karena semakin maraknya terjadi kekerasan seksual terutama terhadap anak, maka Negara memiliki kewajiban melindungi warga negaranya melalui payung kebijakan/hukum. Ketika negara menyatakan bahwa perkosaan anak merupakan kejahatan yang harus diselesaikan dengan hukuman kebiri ( MenkumHam Yasona), “ tembak saja” (KPPPA Yohana) ; sementara cara melihat akar masalahnya “(anak) perempuan jangan jalan sendirian” ( Bupati Rejang Lebong) dan “berantas minuman keras, narkoba dan pornografi ( KPAI- Ni’am), dan akhirnya lahir PERPPU “Kekerasan Seksual terhdap Anak” berupa hukuman berat, seumur hidup sampai hukuman mati, ditambah hukuman tambahan seperti pemasangan chip dan kebiri, sesungguhnya kita sungguh-sungguh berada dalam darurat kekerasan terhadap perempuan. Setidaknya itulah yang terjadi pada masa pemerintahan presiden Jokowi untuk periode pertama yang lalu, dengan lahirnya berbagai kebijakan kontroversi.
Dikatakan darurat karena praktis negara tak benar-benar hadir karena absennya pemahaman negara soal cara kerja kekerasan berbasis prasangka gender, etnisitas, suku, ras, agama, aliran politik yang manifestasinya bisa berupa kekerasan dan kejahatan seksual.
Tulisan pengantar ini membahas soal bagaimana kekerasan seksual seharusnya diletakkan dalam lanskap politik dan persepsi ketubuhan yang meletakkan hubungan-hubungan kuasa dan relasi sosial yang timpang antara (para) pelaku/komunitas/negara dan korban yang senantiasa terjadi di medan konflik– apapun bentuknya konflik itu.
Pendekatan negara sebagaimana diusulkan para menteri, pimpinan daerah dan kelembagaan non-negara seperti KPAI, memang poluler. Tapi itu sungguh jauh dari inti persoalan, apalagi penyelesaiannya.
Ancaman kekerasan dan kejahatan seksual yang menyebabkan hilangnya rasa aman di negara merdeka, bagi saya merupakan suatu penanda bahwa negara lengah dalam melihat arena-arena konflik, baik konflik di ruang publik maupun di lingkup keluarga yang menjadi landasan terjadinya kekerasan seksual.
Sebab kejahatan seksual, sebagaimana terekam dalam pengalaman sejarah moderen, merupakan manifestasi dari situasi konflik yang terkait dengan rasa ketidakadilan menahun dan menyejarah dan sama sekali bukan semata-mata penyaluran hasrat biologis seksual.
Kekerasan seksual, dalam sejarah konflik merupakan “the last resort” dari ekspresi kekalahan dalam konflik yang kehilangan kepercayaan kepada hukum, namun tak sanggup mengatasinya secara kesatria melainkan dengan cara-cara pengecut.
Ada dua hal yang diurai dalam makalah ini: dua aliran besar dalam isu seks dan seksualitas dan problem maskulinitas dalam budaya patriarki, dan penghukuman kepada pelaku kejahatan seksual sebagai manifestasi dari dua pandangan itu.
Konflik Politik Ketubuhan: Essensialism vs Social contruction.
Reaksi saya di media sosial atas gagasan pemberian hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual. Nyatanya hukuman itu yang dipilih dan disetujui Jokowi dan telah ditandatangani sebagai Perppu, merupakan bukti keseriusan dan kemarahan negara atas praktik kejahatan kelamin ini.
Saya kira terlalu kejam untuk menyatakan bahwa PERPPU ini menunjukkan pemerintah dihinggapi penyakit tidak percaya diri pada hukum yang ada, apalagi kalau sekedar untuk pencitraan. Hal yang menghawatirkan adalah jika negara benar-benar percaya bahwa pendekatan itu sebagai cara pandang dalam melihat isu ketubuhan dan seksualitas rakyatnya dan memaknai kekerasan seksual.
Dalam membincang isu seksualitas kita berhadapan dengan dua teori besar: teori esensialisme (essensialism) yang berpendapat asal usul persoalan seks terletak pada kromosom, biological, fisikal yang berhadapan secara diametral dengan teori social construction bahwa (aktivitas) seks manusia, berbeda dari binatang, merupakan konstruksi sosial (pikiran, cara pandang, prilaku relasional) manusia dan membentuk konsep “seksualitas” yaitu aktivitas yang berangkat dari cara berpikir, nilai-nilai, cara pandang serta bagaimana manusia- lelaki dan perempuan diharapkan untuk bertingkah laku secara seksual.
Dalam kata lain seks (biologis) manusia membentuk seksualitas yang merupakan konstruk kebudyaan, pemikiran, agama, politik dan konstruksi sosial tentang aktivitas seksual. Dua teori besar ini memiliki konsekuensi yang berbeda dan bahkan bertolak belakang dalam melihat soal kekerasan seksual.
Teori pertama, esensialisme meyakini bahwa (kejahatan) seksual bersumber dari bawaan kelamin (akibat kromosom, bentuk fisik, gen) yang merupakan bawaan dari lahir (given).
Pendeknya, lelaki melakukan kekerasan seksual akibat (maaf) “anu”nya memang bawaanya “ngaceng”; sebaliknya perempuan diperkosa karena dari sananya “anu”nya berlubang (maaf!) Pandangan esensialis ini praktis dianut kelompok agama yang semua hukum fikihnya berbasis tubuh/kelamin.
Perilaku seks dalam pendekatan pertama digerakkan oleh libido yang juga given dan sudah ada dalam tubuh manusia. Libido yang kuat/besar konon dimiliki oleh sang pemilik kromosom XY alias lelaki. Sebaliknya pada perempuan libido itu (seharusnya) kecil, tak berhasrat pada seks kecuali terjadi penyimpangan, misalnya, tidak bersunat, atau ada penyimpangan kromosom.
Pandangan serupa ini juga berpengaruh pada cara mereka melihat identitas seksual serta orientasi seksual seseorang yang juga dianggap given. Identitas seks lelaki dan perempuan dalam pandangan esensialis adalah bawaan orok dan dengan begitu orientasinya harus juga ajek.
Dalam pandangan kaum esensialis, orientasi seks yang given adalah heteroseksual dan secara sosial seharusnya membentuk heteronormativitas sebagai patokan nilai dan norma. Ketika seseorang ternyata tak berorientasi seperti yang “seharusnya” (hetero), kelompok esensilais ini akan menghukumnya sebagai penyimpangan dari yang seharusnya atau menyandang abnormalitas.
Orang –orang yang masih punya hati dalam kelompok ini akan menawarkan terapi hormon untuk membentuk keseimbangan hormon yang seharusnya agar orientasi seksnya kembali “normal”.
Teori ini dianut banyak kalangan, tak terkecuali para aktivis advokasi hak-hak kaum homoseksual. termasuk keluarganya yang menganggap bahwa ke-homo-an itu bukanlah “salah” mereka melainkan bawaan orok.
Dalam pandangan esensialis, kromosom XY, bentuk penis, ketubuhan lelaki secara alamiah membentuk “kelelakian” lelaki. Agar kelelakian itu digunakan secara benar, dibutuhkan panduan hidup, agama, untuk mengajari tata cara kelelakian itu tegak dengan benar, bekerja dengan benar, dan diam secara benar.
Sebagai konsekuensi lanjutan dari cara berpikir itu, maka manakala terjadi tindakan perkosaan, itu sebetulnya merupakan manifestasi dari penyimpangan bekerjanya kelamin namun dianggap sebagai bawaan orok yang bersifat alamiah dan wajar.
Di sini muncul paradoks, kekerasan seksual dianggap kejahatan, namun di lain pihak itu dianggap tindakan wajar sebagai bawaan lahir yang kodrati. Dan ketika terjadi penyimpangan di mana lelaki mengumbar kejantaan dalam bentuk kejahatan seksual maka solusinya adalah dengan menjinakkan dan menghukum mati kemampuan kromosom dan penis itu. Dari sanalah datangnya cara pandang hukuman kebiri itu.
Dalam waktu yang bersamaan muncul gagasan bahwa maskulinitas/agresifitas ketubuhan lelaki diyakini bersifat alamiah/bawaan orok, maka cara untuk menghindarinya adalah dengan meminta perempuan sendiri yang harus membatasi diri dari tingkah laku yang mengundang hasrat seksual kejantanan lelaki.
Sementara teori kedua, social construction, berangkat dari keyakinan bahwa adalah benar manusia memiliki seks (biologis/kromosom dan seterusnya) namun manusia bukanlah binatang yang ajek dalam “mengoperasionalkan” seksnya.
Manusia adalah binatang berpikir yang antara lain kemudian berkreasi dengan pemikiran tentang seks (biologisnya/tubuhnya) membentuk seksualitas (bangunan imaginasi, pandangan, nilai baik buruk, kepantasan) yang kesemuanya adalah hasil olah pikirnya sebagai manusia.
Dalam pandangan ini seksualitas adalah sebuah konsep tentang bagaimana seks beroperasi. Pada tubuh lelaki, ngaceng itu biologis, hasrat/instingtif. Tapi bagaimana ngaceng itu dikelola, disalurkan, dinegosiasikan dalam tatanan sebuah masyarakat, itu semua terkait dengan pemikiran, cara pandang, dan bagaimana hasrat itu dipersepsikan untuk bertingkah laku membentuk nilai seksualitas.
Di sini lahir keragaman, tergantung pada nilai, cara pandang, cara pikir manusia tentang seksuaitas. Masuk ke dalam elemen yang mengkonstruksikannya adalah pandangan keagamaan, di luar politik, ekonomi dan relasi kelas sosialnya.
Dalam pandangan kedua ini, kekerasan seksual karenanya bukan terletak pada penisnya melainkan bagaimana pemiliknya, agamanya, masyarakat di sekitarnya, negaranya, membangun pandangan soal seksualitas.
Dalam masyarakat yang membangun konstruksi gender dan seksualitas yang melahirkan sifat, karakter, nilai, persepsi bahwa lelaki adalah maskulin, kuat, gagah, perkasa, macho, berani dan seterusnya, sebaliknya perempuan feminin, lemah, halus, nrimo dan seterusnya, maka seksualitas pun harus diekpreksikan dalam pandangan-pandangan serupa itu.
Mestinya, tak ada yang keliru dengan maskulinitas dan femininitas sebagai produk kebudayaan manusia sejak zaman purba. Maskulinitas dan femininitas ini nyatanya juga diterjemahkan dalam praktik sosial berbasis pandangan keagamaan – lelaki mendapat warisan lebih karena harus melindungi klannya/baninya, kawin sebagai akad kepemilikan buthi (kelamin) karena lelaki mencari nafkah dan seterusnya.
Pada era Wild-Wild West, di mana maskulinitas membutuhkan wujud kejantanan seperti sifat pemberani dan macho aka ekspresi kejantanan/maskulinitas, boleh jadi memiliki konteksnya. Namun dalam perkebangan peradaban, seksualitas pun ikut masuk sekolah. Lahir nilai-nilai kepantasan baru dan terus berkembang mendefinisikan kembali maskulinitas lelaki.
Kekerasan seksual itu buruk, bukan tanda kegagahan, memperkosa itu bentuk penindasan yang menunjukkan adanya relasi timpang antara pelaku dan korban. Kekerasan seksual adalah bentuk penyerangan kepada intergritas perempuan dengan memanfaatkan kelamin sebagai sasaran penyerangan dan penaklukan.
Dengan cara pandang serupa itu, penghukuman berupa pemasangan chip kepada pelaku kejahatan pedofilio atau hukuman kebiri dan hukuman mati bukanlah hukum yang tepat. Sebab, hukum serupa itu mengabaikan seluruh fakta bahwa seksualitas bukan soal tubuh biologis melainkan soal kontsruksi maskulinitas sesat yang dikultuskan.
Kutuk Maskulintas dan Ketidakhadiran Negara
Siti Maimunah dari Sayogyo Intsitute menggambarkan dengan sangat jernih tentang kasus YY dalam konteks kemiskinan yang menyejarah di Rejang Lebong. Intinya adalah para lelaki dan anak lelaki luar biasa didera untuk tetap tegar sebagai maskulin dalam lanskap politik ekonomi yang mengekpoitasi ruang hidup mereka habis-habisan sejak zaman Kolonial, ketika buruh perkebunan dihadirkan hingga kini, ketika tanah-tanah dikupas, digali dan diekploitasi untuk industri ekstraktif.
Dalam situasi ekonomi yang berubah namun tata nilai yang terjadi justru semakin ketat / konservatif, sebagai mekanisme pertahanan dalam involusi pertanian/kebudayaan (sebagaimana dikemukakan Geertz) para lelaki muda harus menunjukkan kejantanan mereka, tanpa ada peluang untuk menunjukkan kejantanan sejatinya akibat kemiskinan akut, tanpa pendidikan, tanpa hukum.
Kekerasan seksual berupa perkosaan atau perkosaan berjamaah dalam sejarah Indonesia merupakan mekanisme pengecut yang juga dilakukan negara atau badan non-negara seperti dalam sejarah konflik-konflik di Indonesia. Dalam PRRI, DOM, Mei ‘98 atau dalam konflik perebutan tanah kekerasan seksual dan perkosaan merupakan mekanisme yang digunakan untuk penaklukan dan penghancuran mental lawan negara.
Walhasil kita kini berada dalam situasi darurat ketika negara akhirnya pasrah pada bentuk penghukuman yang mungkin populer, namun sesungguhnya terjerembab ke dalam rezim seks biologis akut. Kekecewaan sebagaiman dikemukakan aktivis perempuan, Mariana Amruddin, niscaya tak berlebihan. Bagi saya, hukuman tubuh, hukuman mati dan kebiri untuk kejahatan seksual hanya pantas terjadi dalam negara yang pasrah dan kehilangan akal atas terjadinya ketidakadilan; negara tak sanggup mengatasi situasi kemiskinan akut, pendidikan buruk, agama yang kehilangan inti ajarannya, penegakan keadilan kendor, keluarga kocar kacir akibat sistem sosial yang morat-marit, ikatan-ikatan keluarga hancur oleh perubahan perubahan sosial-ekologis yang dahsyat, dan kegagalan dalam memaknai masukulinitas sejati.
Rendy Merta Rahim
Ketua umum DPD Mahasiswa Pancasila (Mapancas) Kota Cimahi