Abstrak
Hadits adalah satu dari 4 sumber hukum Islam yang disepakati para ulama. Hadits menjadi rujukan bagi umat muslim untuk menjelaskan hukum-hukum yang terdapat dalam Al Quran. Dikutip dari buku Memahami Ilmu Hadits oleh Asep Herdi, secara etimologis hadits dimaknai sebagai jadid, qarib, dan khabar. Jadid adalah lawan dari qadim yang artinya yang baru. Sedangkan qarib artinya yang dekat, yang belum lama terjadi. Sementara itu, khabar artinya warta yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada yang lainnya. secara terminologis, hadits dimaknai sebagai ucapan dan segala perbuatan yang dilakukan Nabi Muhammad SAW. Sedangkan secara bahasa, hadits berarti perkataan, percakapan, berbicara. “Segala ucapan, segala perbuatan, dan segala keadaan atau perilaku Nabi Muhammad SAW.” Definisi hadits dikategorikan menjadi tiga, yaitu perkataan nabi (qauliyah), perbuatan nabi (fi’liyah), dan segala keadaan nabi (ahwaliyah). Sebagian ulama seperti at-Thiby berpendapat bahwa hadits melengkapi sabda, perbuatan, dan taqrir nabi. Hadits juga melengkapi perkataan, perbuatan dan taqrir para sabahat dan Tabi’in. Rambut atau sering disebut bulu adalah organ seperti benang yang tumbuh di manusia. Rambut muncul dari kulit luar.
Kata kunci : hadist, rambut
Pendahuluan
Hadist adalah perkataan, perbuatan, dan ketetapan-ketetpan yang bersumber dari rasul.[1] Hadist dalam pengertian ini, ulama hadist disamakan dengan istilah al-sunnah. Dengan demikian, menurut ulama hadist bentuk-bentuk hadist atau sunnah ialah segala berita berkenaan dengan sabda, perbuatan, taqrir, dan hal ihwal nabi muhammad.[2] Kedudukan hadist sebagai salah satu sumber ajaran islam telah disepakati oelh hampir seluruh ulama’ dan umat manusia. Hal senada juga dikatakan oleh mustafa al-sya’bani dalam al-sunnah wa makanatuha fi tasyri’ al islam pada halaman 343, yang menyatakan :
“umat islam zaman dahulu dan sekarang telah sepakat, terkecuali sekelompok orang yang berpaling menyalahkannya, bahwa sunnah rasul yang berupa sabda, perbuatan dan pengakuannya itu merupakan salah satu sumber hukum islam.”
Hal ini berarti hadist merupakan sumber hukum islam yang kedua setelah al qur’an, yang mana umat islam wajib menjalankan dan mentaati kedua sumber hukum tersebut.
Rambut, yang sering disebut dengan mahkota kepala juga, berfungsi sebagai pelindung kepala kita dari cuaca panas dan dingin. Rambut pada manusia diseluruh permukaan kulit, kecuali pada telapak tangan, telapak kaki, dan bibir. Bagian tubuh manusia yang memiliki rambut terpekal ialah permukaan dan bagian belakang kepala, alis, bulu mata dan bagian lainnya.
Ibn hajar al-asqalani mengatakan bahwa orang yang pertama kali melakukan semir rambut khususnya menggunakan warna hitam adalah fir’aun yang hidup pada masa nabi musa as. Sedangkan orang arab, orang yang pertama kali mewarnai rambut dengan wrna hitam adalah ‘abd al-muthallib yang hidup di masa nabi muhammad saw.[3]
Pembahasan
Mewarnai dalam bahasa arab adalah الخضاب secara bahasa berasal dari kata خضب – خضبا – وخضوبا yang berati mencat, mewarnai.[4] Menurut sulaiman al jamal الخضاب sebagaimana dikatakan خضرة الشجر : كالخضب yang artinya warna hijaunya pohon. Kata khodab adalah benyuk masdar yang mempunyai arti التلوين (memberikan warna) : تلوين الشعر (mewarnai rambut) : صبغه الحناء ونحوه (mewarnai dengan khinna’ atau sejenisnya). Khidab merupakan bahan pewarna. Yang dimaksud disini adalah bahan untuk mewarnai uban (rambut yang sudah memutih) dan sebagian tubuh luar perempuan dengan inai dan sebagiannya. Yang dimaksud adalah mengubah warna uban dan jenggot.
Menurut Endang Bariqina dan Zahida Ideawati dalam “Perawatan dan Penataan Rambut”, pewarnaan rambut adalah suatu aktivitas yang bertujuan untuk memberikan warna baru atau bisa disebut dengan mengubah warna rambut asli menjadi warna yang baru. Pewarnaan rambut tidak memberikan warna rambut saja, akan tetapi juga memberikan dan menghilngkan warna rambut serta menipiskan bagian luar batang rambut.
Sedangkan yang dimaksud dengan pewarnaan rambut adalah tindakan mengubah warna rambut. Dalam seni tata rambut modern pewarnaan bisa terwujud dengan tiga proses yang berbeda. Yaitu penambahan warna, pemudaan warna, dan penghilang warna. Penambahan warna difungsikan untuk menutupi warna rambut uban yan terjadi karena rambut telah kehilangan pigmen warna asli rambut. Pemudaan warna difungsikan sebagai pewarnaan kolektif. Sedangkan penghilang warna difungsikan sebagai persiapan proses perubahan warna yang lebih mendasar, dengan cara menghilangkan warna rambut baik sebagian atau seluruhnya untuk kemudian dimasukkan warna baru.
Penghilang warna dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : penghilang warna sebagian dan penghilang warna keseluruhan. Penghilang warna sebagian bisa dibedakan menjadi beberapa jenis lagi, yang didasarkan atas letak dan bagian batang rambut yang dihilaangkan warnanya. Karena efek keindahan yang dapat dicapai, penghilang warna sebagian termasuk dalam bidang pewaarnaan artistik.[5]
Para ulama’ ahli hukum islam seperti pada ulama tasawuf mempunyai perhatian yang lebih besar terhadap permasalahan semir rambut. Hal ini dibuktikan dengan sedikitnya beberapa pustaka acuan yang ditemukan.
Al ghazali dalam faslu al lihyat menjelaskan secara panjang lebar mengenai semir rambut. Dalam penjelasannya, al ghazali mencamtumkan dalam hadist, beberapa pendapat itu antara lain :
“خير شبابكم من تشبه بشيو خكم وشرشو خكم من تشبه بشبابكم”
Yang dimaksud larangan menyerupai dengan orang yang sudah tua dalam hal ini pada kewibawaannya, tidak dalam msalah memutihkan rambut, mengenai larangan menyemir dengan warna hitam beliau berrgumen dengan hadist nabi yang berbunyi :
“هو خضاب اهل النار” وفى لفظ اخر : “الخضاب بالسواد خضب الكفر”
Hadist lain yang dikutip al ghazali adalah hadist yang menyatakan adanya ancaman terhadap pelaku semir rambut yang tidak akan pernah mencium baunya surga :
يكون قوم يخضبون فى اخر الزمان بالسواد كواصل الحمام لأيرحون رانحة الجنة
Diperbolehkannya menyemir rambut atau jenggot dengan warna merah atau kuning dengan tujuan untuk menyamarkannya uban terhadap orang kafir dalam rangka perang dan jihad, akan tetapi jika tujuannya untuk menyerupai orang-orang yang ahli agama, maka termasuk sifat mencela. Al ghazali menyebutkan dalam sebuah hadist :
الصفرة خضاب الموْمنين والحمراة خضاب المسلمين
Al ghazali menambahkaan sebagian para ulama ada yang menyemir rambutnya warna hitam bertujuan untuk menghadapi peperangan. Maka tujuan tersebut diperbolehkan al ghazali dikarenakan adanyaa niatan yang dapat dibenarkan dan tidak ada tujuan untuk mengikuti kesenangan dan hawa nafsu. Dengan menyemir rambut berwarna hitam, maka seseorang akan tampak terlihat muda, maka musuh (orang kafir) akan terkecoh dan merasa takut ketika pasukan islam masih tampak terlihat muda dan kuat.
Memutihkan rambut dengan belerang, dengan tujuan kelihatan lebih tua usia supaya mendapatkan kewibawaan, diterima persaksiannya, dapat dibenarkan riwayatnya, dihormati oleh yang lebih muda usianya, agar kelihatan lebih muda, agar kelihatan banyak ilmunya.[6]
Takhrij hadist menggunakan kataa kunci راسه ثغامة وكن dalam kitab mu’jam karya A.J wensink. Penelusuran yang didapatkan, terdapat beberapa hadis dalam kitab kutub as sittah dengan menggunakan sebuah kata kunci diatas. Berikut salah satu data hadist riwayat ibn majah 1197.
حدثنا ابوبكر بن ابى شيبة حد ثن اسمعيل ابن علية عن ليث عن ابي الز بير عن جابر قال جىْ بابي قحا فق يوم الفتح الى النبي صلى الله عليه وسلم وكان راسه ثغامة فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم اذهبو به الى بعض نسائه فلتفيره وجنبوه السود
“telah menceritakan kepada kami abi bakrin bin abu syaibah, telah menceritakan kepada isma’ail bin ‘ulayyah dari la’it dari abu az zubair dari jabir dia berkata, “ketika penakluk kota makkah abu quhafah didatangkan kepada nabi SAW. Dan seaakan akan rambutnya seperti pohon tsaghamah (sejenis pohon yang berbuah dan bewarna putih). Rasulullah SAW,. Kemudian bersabdah : “bawalah ia menemui salah seorang dari istrinya supaya ia menyemir rambutnya, dan hindarilah warna hitam”.
Rambut tergolong perhiasan yang merekat pada tubuh manusia dan menjadi anggun. Berdasarkan Al-Quran tidak memuat takwil dan perincian yang bersangkutan dengan mengecat rambut untuk menjadi anggun taau yang lain-lain. Separuh ahli menyebutkan terhadap hasan (baik, elok, cantik) yakni dengan sesuatu yang memicu keleluasaan dan yang klop. Tetapi yang dimaksud dengan keleluasaan yang dibarengi dengan sebuah kewajiban.[7]
Keindahan itu banyak macamnya saat yang memandang itu berbeda orang. Apabila, indah itu tergantung pada yang melihat. Dengan melaraskan paparaan itu yang menjadikan al qur’an tidak menakwilkan dengan rinci yang berkenaan dengan yang disebutkan dengan kata indah dan elok.
Lafadz abu menggunakan sighat mabni majhul, yang berarti abu quhafah telah dihadirkan kepada rasulullah. Abu quhafah adalah ayahnya abu bakar yang masuk islam setelah penaklukan makkah. Waktu menghadap kepada nabi, rambut quhafah berwarna putih seperti saghamah (tumbuhan yang bunga dan buahnya berwarna putih), sedangkan yang dimaksud seperti saghamah adalah menyamai saghamah. Anjuran untuk mewarnai rambut bersifat umum atau ditujukan pada banyak orang.
Menurut imam nawawi, tidak diperbolehkan mengecat rambut berwarna hitam tersebut bersifat syar’i dan haram tatkala itu ada maksud pribadi atau dengan kata lain untuk diri sendiri, dengan manyamakan usia anak muda ketika dipandang pada orang lain untuk dirinya sendiri padahal sudah tua, merupakan suatu aktivitas yang tidak diperkenankan oleh agama yaitu dasar berjihad, waktu itu berumur muda dan menggembirakan istrinya. Ibnu hajar dalam syarah bukhari, sependapat dengan imam nawawi. Kesimpulannya, tidak diperbolehkannya mengecat warna hitam tersebut tidaklah permanen.
Berdasarkan pemaparan hadits-hadits diatas, pembolehan menyemir rambut dengan warna hitam tidak terdapat asbabul wurud yaitu sebab turunnya hadits tersebut. Akan tetapi latar belakang turunnya hadits ini pada masa Rasulullah dikarenakan dua perkara perkara: yaitu yang pertama untuk menggentarkan lawan musuh sehingga musuh terkecoh dengan penampilannya kaum muslimin dan yang kedua untuk menyenangkan hati dan perasaan pasangannya terutama isteri-isteri mereka.
Hadist mengenai pembolehan menyemir rambut dengan warna hitam adalah untuk dalam keadaan maslahah yaitu dalam keadaan kebaikan, sehingga kecenderungan hadits tersebut turun di Madinah karena hal-hal yang berkaitan mengenai keadaan kebaikan umat di selesaikan di Madinah seperti ayat Al-Qur‟an. Adanya sahabat tabi‟in yang melakukan anjuran menyemir rambut dengan warna hitam, seperti: hasan, Husein, Uqbah, dan Sa‟ad Abi Qaqqash.
Hadits yang shahih dan bahkan yang benar adalah semir rambut dengan warna hitam adalah haram.[8] Di antara para ulama yang menjelaskan tentang keharaman semir rambut dengan warna hitam adalah al-Quzwaini dalam kitabnya al-Hawi al-Saghir, tetapi dikecualikan jika menyemir rambut dengan warna hitam tersebut dilakukan bertujuan untuk berjihad.
Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan al-Nasa‟i. Hukum haram ini tidak ada perbedaannya dengan laki-laki dan perempuan, tetapi Ibnu Ishaq Ibn Rahawaih memberikan pengecualian bagi perempuan dengan tujuan berhias untuk suamiya. Berdasarkan hadts berikut ini:
“عن قتادة قال : رخص في صباغ الشعر بالسواد للنساء”
“Dari Qatadah, seorang tabiin, beliau berkata, “Dibolehkan menyemir uban dengan warna hitam bagi perempuan.” (Diriwayatkan oleh Abdur Razzaq dalam al Mushannaf)
Ulama Tahdzib as Sunan, Ibnul Qoyyim berkata, “Sebagian ulama membolehkan bersemir dengan warna hitam untuk wanita dengan tujuan berdandan untuk suami namun hal ini terlarang untuk laki-laki. Inilah pendapat Ishaq bin Rahuyah. Seakan-akan beliau berpendapat bahwa larangan semir rambut dengan hitam itu hanya untuk laki-laki. Wanita dibolehkan mewarnai kuku tangan dan kakinya, suatu yang tidak dibolehkan untuk laki-laki”.
Menyemir rambut sudah menjadi sunnah pada masa Rasulullah SAW bagi umat Islam yang ingin mewarnai uban agar tidak terlihat seperti orang-oramg Yahudi dan Nasrani yang tidak menyemir rambut mereka. Rasulullah SAW telah mengajarkan dari zaman beliau dengan menggunakan hinna dan katam. Sesungguhnya warna dari bahan hinna adalah warna kemerah-merahan sedangkan warna dari bahan katam akan menjadi warna kehitam-hitaman apabila digunakan untuk menyemir rambut. Sebaiknya menggunakan hinna dan katam secukupnya agar rambut dan pori-pori dalam rambut tetap baik dan tidak terhalang pada saat berwudhu, sehingga akan tetap sah pada keadaan shalat.
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, An-Nasa‟i dan Sunan Ibnu Majah dengan lafaz yang sama dengan yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzi dengan status haditsnya shahih. Walaupun sebenarnya Rasulullah SAW telah mengajarkan dan memberikan informasi tentang bahan dan warna yang baik untuk mengecat rambut akan tetapi masyarakat Islam belum tahu akan adanya informasi dari hadits-hadits ini, kebanyakan dari mereka hanya mengikuti trend (model) yang sedang berkembang di dunia, maka masyarakat mengikuti tanpa mengetahui sunnah dari menyemir rambut tentang bahan dan warna yang baik digunakan agar tidak merusak rambut. Kebanyakan masyarkat menyemir rambut dengan warna-warna yang mencolok seperti warna merah, kuning, hijau, biru, dan lainnya.
Menurut kamus bahasa Arab, Rajah al hinna’ bermaksud sejenis tumbuhan yang dikenali ramai. Pohon inai mempunyai daun seakan-akan daun pohon delima. Ia mengeluarkan bunga putih seperti pohon anggur dan daripada daunnya boleh mengeluarkan warna merah sebagai pewarna (khadab).
Berkaitan dengan al katam, al fayyumi mengatakan bahwa dalam kitab al lisan dan kitab-kitab perubatan, al katam merupakan salah satu jenis tanaman gunung yang terdapat di daerah yaman. Ia mengeluarkan warna hitam seakan akan kemerahan. Disebutkan di dalam kitab ‘awn al ma’bud, mewarnai rambut dan janggut dengan gabungan kedua-duanya (inai dan katam) akan mengeluarkan warna diantara hitam dan merah. Inilah yang menjadi amalan Abu Bakar yang sering melakukan khadab dengan gabungan inai dan katam.
Walau bagaimanapun, al-Sindi berpandangan inai dan katam perlu digunakan secara berasingan. Jika digandingkan bersama, akan menghasilkan warna hitam yang dilarang penggunaannya untuk mewarnakan rambut dan janggut. Sungguh pun demikian, al-Ityubi menyatakan mewarnakan rambut dan janggut dengan inai dan katam adalah harus secara mutlak sama ada dicampurkan bersama atau secara berasingan. Hanya khadab dengan warna hitam sahaja yang diharamkan.
Berhubung takrifan, istilah “khadab” dalam hadis membawa maksud mengubah (mewarnakan) rambut yang ada di atas kepala dan janggut. Merujuk definisi al-Khadab di dalam al-Qamus dan al-Fath, ia memberi maksud yang sama iaitu mengubah uban yang terdapat di kepala dan janggut. Ibn Manzur pula menyatakan khadab ialah mengubah (mewarnakan) dengan menggunakan inai, katam (tumbuhan sejenis dengan inai) dan seumpama.
Dalam mengulas bab keizinan mengamalkan khadab, al-Fayyumi mengatakan salah satu cara untuk khadab ialah dengan inai (hinna’) dan seumpamanya. Apabila melakukan khadab, warna (pada anggota badan) akan berubah kepada kemerahan, kuning atau seumpamanya. Setiap warna anggota yang berubah dipanggil makhdub. Al-Sahili menyebutkan bahawa ‘Abd al-Mutalib merupakan orang pertama yang melakukan khadab dengan warna hitam dalam kalangan masyarakat Arab.
Mengulas kelompok hadis-hadis yang menyebutkan mengenai keharusan mengubah warna uban dengan inai dan katam, larangan mengubahnya dengan (pewarna) warna hitam serta perintah agar mewarnakan rambut dan janggut yang dipenuhi uban supaya berbeza dengan adat kaum Yahudi dan Nasrani. Justifikasinya, Nabi SAW melarang kaum Muslimin daripada mengikuti kaum Musyrikin dalam apa jua aspek baik adat atau kelakuan oleh kerana ia menyalahi kemuliaan Islam. Khadab (mengubah warna rambut dan janggut) merupakan perkara penting dalam Islam. Para ulama Usuluddin menghukum wajib perkara tersebut (khadab) selagimana tiada perkara atau keadaan yang boleh mengubah hukum itu kepada selainnya. Ahmad Ibn Hanbal turut memandang wajib perihal khadab.
Disebutkan Nabi SAW tidak memiliki uban. Baginda SAW cuma memiliki rerambutrerambut putih atas kepala dan janggutnya sebanyak 17 helai atau mungkin lebih dan mungkin kurang (sepertimana disebutkan dalam riwayat lain). Demikian, baginda SAW tidak memerlukan kepada mewarnakan keduanya.[9]
Kesimpulan
Mewarnai dalam bahasa arab adalah الخضاب secara bahasa berasal dari kata خضب – خضبا – وخضوبا yang berati mencat, mewarnai.[10] Menurut sulaiman al jamal الخضاب sebagaimana dikatakan خضرة الشجر : كالخضب yang artinya warna hijaunya pohon. Kata khodab adalah benyuk masdar yang mempunyai arti التلوين (memberikan warna) : تلوين الشعر (mewarnai rambut) : صبغه الحناء ونحوه (mewarnai dengan khinna’ atau sejenisnya). Khidab merupakan bahan pewarna. Yang dimaksud disini adalah bahan untuk mewarnai uban (rambut yang sudah memutih) dan sebagian tubuh luar perempuan dengan inai dan sebagiannya. Yang dimaksud adalah mengubah warna uban dan jenggot.
Penulis: M. Jazilul Lubab
Mahasiswa Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Daftar Pustaka
Modh Farhan Md Ariffin , Muhammad Remy Othman, Khadher Ahmad, “inai menurut perspektif hadis dan sains”, al basirah, volume 10, no 2, pp 37-35, dec 2020.
Siti nailatul muna, “analisi hadist tentang mewarnai rambut rasulullah saw”, skripsi, universitas islam negeri wali songo, 2018.
Atika Ayu Setia Harnum, “tinjauan hukum islam tentang menyemir rambut terhadap pelanggan laki-laki”, skripsi, universitas islam negeri raden intan, lampung, 2019.
Agung Novianto, “metode pemahaman hadist tentang larangan menyemir rambut warna hitam perspektif yusuf qardhawi”, skripsi, universitas islam negeri sunan ampel, surabaya, 2019.
Muhammad Khoirul Anam “hadist-hadist tetang menyemir rambut”, skripsi, universitas islam negeri sunan kalijogo, yokyakrta, 2009.
[1] Subsi al shohih, ‘ulum al hadist wa mustalah (bairul :Dar al ‘ilm li al-mayaia, 1988), hlm, 75.
[2] M. Syuhudi Ismail, kaidah kesahihan sanad hadist (Jakarta : bulan bintang, 1995), hlm, 3.
[3] Muhammad Khoirul Anam “hadist-hadist tetang menyemir rambut”, skripsi, universitas islam negeri sunan kalijogo, yokyakrta, 2009, hlm 32.
[4] Siti nailatul muna, “analisi hadist tentang mewarnai rambut rasulullah saw”, skripsi, universitas islam negeri wali songo, 2018, hlm 20.
[5] Siti nailatul muna, “analisi hadist tentang mewarnai rambut rasulullah saw”, skripsi, universitas islam negeri wali songo, 2018, hlm 21.
[6] Muhammad Khoirul Anam “hadist-hadist tetang menyemir rambut”, skripsi, universitas islam negeri sunan kalijogo, yokyakrta, 2009, hlm 35.
[7] Agung Novianto, “metode pemahaman hadist tentang larangan menyemir rambut warna hitam perspektif yusuf qardhawi”, skripsi, universitas islam negeri sunan ampel, surabaya, 2019, hlm 78.
[8] Atika Ayu Setia Harnum, “tinjauan hukum islam tentang menyemir rambut terhadap pelanggan laki-laki”, skripsi, universitas islam negeri raden intan, lampung, 2019, hlm 75
[9] Modh Farhan Md Ariffin , Muhammad Remy Othman, Khadher Ahmad, “inai menurut perspektif hadis dan sains”, al basirah, volume 10, no 2, pp 37-35, dec 2020, hlm 39-40.
[10] Siti nailatul muna, “analisi hadist tentang mewarnai rambut rasulullah saw”, skripsi, universitas islam negeri wali songo, 2018, hlm 20.