Mengenal Lembaga Keuangan Syariah Non Perbankan

Mengenal Lembaga Keuangan Syariah Non Perbankan
Mengenal Lembaga Keuangan Syariah Non Perbankan

Abstrak

Lembaga keuangan syariah non-bank merupakan lembaga yang memberikan layanan keuangan berdasarkan prinsip-prinsip syariah Islam, tanpa terlibat dalam kegiatan bank. Dalam artikel ini, pembahasan akan difokuskan pada pengenalan lembaga keuangan syariah non-bank, termasuk definisi, jenis layanan yang mereka tawarkan, serta peranannya dalam perekonomian Indonesia. Selain itu, artikel ini akan menyoroti berbagai tantangan yang dihadapi oleh lembaga keuangan syariah non-bank dalam pengoperasiannya, serta analisis terhadap berita yang berkaitan dengan perkembangan sektor ini. Berita yang diambil akan dianalisis ejaan dan ketepatan bahasanya untuk memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai penggunaan bahasa dalam sektor keuangan. 

Kata Kunci: Lembaga Keuangan Syariah, Non-Bank, Ekonomi Syariah, Prinsip Syariah, Pembiayaan Syariah.

Abstract

Non-bank Islamic financial institutions are entities that provide financial services based on Islamic Sharia principles, without being involved in traditional banking activities. This article focuses on introducing non-bank Islamic financial institutions, including their definitions, types of services offered, and their role in Indonesia’s economy. In addition, the article highlights various challenges faced by these institutions in their operations, along with an analysis of news reports related to the development of this sector. The news articles will also be examined for spelling and language accuracy to better understand language usage in the financial sector. 

Keywords: Islamic Financial Institutions, Non-Bank, Sharia Economy, Sharia Principles, Sharia-Based Financing, Indonesian Spelling.

Bacaan Lainnya

Pendahuluan

A. Lembaga Keuangan Syariah Non-Bank

Lembaga keuangan syariah non-bank merupakan salah satu komponen penting dalam sistem ekonomi Indonesia, terutama bagi mereka yang ingin mengakses layanan keuangan tanpa melibatkan unsur riba, gharar, dan maisir yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah Islam. Sektor keuangan syariah di Indonesia terus berkembang pesat, dengan lembaga keuangan syariah bank yang sudah cukup mapan, sementara lembaga keuangan syariah non-bank menjadi sektor yang semakin mendapatkan perhatian.

Tidak hanya terbatas pada industri perbankan, lembaga keuangan syariah non-bank memiliki peran yang sangat vital dalam menyediakan layanan pembiayaan dan investasi yang sesuai dengan hukum Islam. Meskipun tidak termasuk dalam kategori bank, lembaga ini tetap menjalankan kegiatan usaha yang berhubungan erat dengan transaksi keuangan, seperti pembiayaan, asuransi, dan investasi yang berbasis pada prinsip-prinsip syariah.

Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi yang besar dalam mengembangkan sektor ekonomi syariah. Seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya transaksi keuangan yang sesuai dengan ajaran agama, lembaga-lembaga keuangan syariah non-bank telah muncul untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Lembaga-lembaga ini tidak hanya memberikan alternatif bagi masyarakat yang menghindari sistem bunga dalam transaksi finansial, tetapi juga mendukung tujuan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif. Kehadiran lembaga keuangan syariah non-bank dapat memperkaya pilihan bagi nasabah yang ingin berinvestasi atau mendapatkan pembiayaan tanpa melanggar prinsip-prinsip agama mereka.

Sektor keuangan syariah non-bank ini memiliki berbagai jenis produk dan layanan yang menarik, seperti asuransi syariah (takafull), lembaga pembiayaan syariah, dana pensiun syariah, reksa dana syariah, dan pasar modal syariah.

Produk-produk tersebut diciptakan untuk memberikan keuntungan yang adil dan transparan bagi seluruh pihak yang terlibat, dengan tetap mematuhi prinsip-prinsip syariah yang tidak mengandung unsur spekulasi atau ketidakpastian yang berlebihan. Hal ini menjadikan sektor keuangan syariah non-bank sebagai alternatif yang menarik bagi masyarakat Indonesia yang semakin sadar akan pentingnya keberlanjutan ekonomi yang berbasis pada nilai-nilai agama.

Namun, meskipun ada banyak potensi dan peluang yang ditawarkan oleh sektor keuangan syariah non-bank, lembaga-lembaga ini tidak terlepas dari tantangan. Beberapa tantangan utama yang dihadapi oleh lembaga keuangan syariah non-bank antara lain adalah minimnya pemahaman masyarakat terhadap produk-produk syariah, kesulitan dalam memperoleh sumber daya manusia yang memiliki keahlian dalam bidang ekonomi syariah, serta regulasi yang terkadang tidak sejalan dengan kebutuhan praktis di lapangan.

Baca Juga: Perbankan Islam: Solusi Etis di Tengah Ketidakpastian Ekonomi Global

Selain itu, tantangan global seperti dampak dari ketidakstabilan ekonomi dunia, perubahan teknologi, dan persaingan dengan lembaga keuangan konvensional juga turut mempengaruhi perkembangan sektor ini. Untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut, diperlukan kolaborasi yang erat antara pemerintah, lembaga keuangan syariah, dan masyarakat luas.

Pemerintah Indonesia telah berupaya untuk mendorong pengembangan sektor ini melalui regulasi dan kebijakan yang mendukung, seperti pengenalan Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yang bertujuan untuk memperkuat landasan hukum dan operasional bagi lembaga keuangan syariah.

Selain itu, Lembaga Pengembangan Keuangan Syariah (LPKS) juga berperan penting dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas produk-produk syariah di pasar Indonesia. Lembaga ini bertugas untuk memastikan bahwa lembaga keuangan syariah non-bank dapat beroperasi secara profesional, efektif, dan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah yang benar.

Perkembangan dunia digital dan fintech (financial technology) juga memberikan dampak yang signifikan terhadap lembaga keuangan syariah non-bank. Banyak lembaga yang kini mulai memanfaatkan teknologi untuk memperluas jangkauan pasar dan mempermudah akses masyarakat terhadap produk-produk keuangan syariah.

Misalnya, penggunaan aplikasi mobile banking syariah, platform peer-to-peer lending syariah, hingga crowdfunding syariah yang semakin diminati oleh masyarakat. Transformasi digital ini memberikan peluang besar bagi lembaga keuangan syariah non-bank untuk tumbuh lebih cepat, lebih inklusif, dan lebih adaptif terhadap perkembangan zaman.

Selain itu, lembaga-lembaga keuangan syariah non-bank di Indonesia juga berperan dalam membangun ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Dengan menyediakan akses kepada segmen-segmen masyarakat yang sebelumnya kurang terjangkau oleh lembaga keuangan konvensional, lembaga keuangan syariah non-bank membuka peluang bagi pengusaha kecil dan menengah untuk mendapatkan pembiayaan tanpa harus terjebak dalam beban bunga yang tinggi.

Hal ini memberikan kontribusi positif terhadap pengurangan ketimpangan ekonomi di Indonesia, sekaligus mendorong pertumbuhan sektor usaha yang berbasis pada prinsip-prinsip keberlanjutan dan keadilan sosial. Namun demikian, untuk mewujudkan potensi besar tersebut, penting bagi lembaga-lembaga keuangan syariah non-bank untuk tidak hanya memperhatikan aspek pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menjaga keberlanjutan dan kesejahteraan sosial masyarakat.

Prinsip syariah yang mengedepankan keadilan dan kemaslahatan bersama harus dijadikan dasar dalam setiap transaksi yang dilakukan. Ke depan, sektor keuangan syariah non-bank di Indonesia memiliki peluang untuk berkembang pesat, seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya memilih produk keuangan yang tidak hanya menguntungkan secara materi, tetapi juga memberikan manfaat bagi masyarakat dan lingkungan secara keseluruhan

Lembaga keuangan adalah semua bidang kegiatannya bidang keuangan, melakukan penghimpunan dan penyaluran dana kepada masyarakat terutama guna membiayai investasi perusahaan. Menurut Dahlan Siamat, Lembaga Keuangan adalah badan usaha yang kekayaannya terutama dalam bentuk aset keuangan atau tagihan (claims) dibandingkan dengan aset nonfinansial dan aset riil.

Syarif Wijaya mendefinisikan Lembaga Keuangan dengan lembaga yang berhubungan dengan penggunan uang dan kredit atau lembaga yang berhubungan dengan proses penyaluran simpana ke investasi. mendefinisikan lembaga keuangan adalah setiap perusahaan yang bergerak di bidang keuangan, menghimpun dana menyalurkan dana atau kedua-duanya.

Sedangkan Lembaga Keuangan Syariah tidak memiliki banyak perbedaan dengan Lembaga Keuangan Konvensional, hanya saja dalam Lembaga Keuangan Syariah memiliki prinsip yang tidak sama dengan Lembaga Keuangan Konvensional yaitu prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan dan keuangan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.

Lembaga Keuangan Syariah dibagi menjadi dua, yaitu Lembaga Keuangan Syariah Bank dan Lembaga Keuangan NonBank. Adapun Lembaga Keuangan Syariah NonBank adalah lembaga keuangan syari’ah dalam dunia keuangan bertindak selaku lembaga yang menyediakan jasa keuangan bagi nasabahnya berdasarkan prinsip-prinsip syariah, dimana pada umumnya lembaga ini diatur oleh regulasi keuangan dari pemerintah.

Lembaga Keuangan Syariah NonBank tidak diperkenankan melakukan kegiatan menarik dana langsung dari masyarakat dalam bentuk simpanan. Dilihat dari fungsinya bahwa lembaga keuangan bank merupakan lembaga intermediasi keuangan, sedangkan lembaga nonbank merupakan tidak termasuk dalam kategori lembaga intermediasi keuangan dimaksud.(Dahniaty et al., 2021)

B. Pembagian Lembaga Keuangan Syariah Non-Bank

Berdasarkan pembagian tersebut, yang termasuk Lembaga keuangan syariah non-bank yaitu: 

  1. Lembaga Asuransi Syariah; 
  2. Lembaga Pasar Modal Syariah;
  3. Lembaga Pegadaian Syariah;
  4. Koperasi Syariah;
  5. Dana Pensiun Syariah;
  6. Lebaga Usaha Syariah (Syirkah);
  7. Lembaga Zakat;
  8. Lembaga Wakaf;
  9. Baitil Al-Mal Wa Al-Tamwil.

Dasar Hukum Dasar Hukum Asuransi Syariah terdapat dalam Q.S Al-Maidah ayat 2 yang Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong- menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.” Ayat di atas menjelskan bahwa manusia hidup didunia sebagai makhluk sosial haruslah tolong-menolong dalam hal kebaikan.(Dahniaty et al., 2021).

C. Fungsi dan Peran Lembaga Keuangan Syariah Non-Bank

Fungsi dan peran lembaga keuangan syariah di antaranya memenuhi kebutuhan masyarakat akan dana sebagai sarana untuk melakukan kegiatan ekonomi yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Secara terperinci fungsi lembaga keuangan syariah yaitu: 

  1. Pengalihan Aset (asset Transmutation); 
  2. Transaksi (Transaction); 
  3. Likuiditas (Liquidity); 
  4. Efisiensi (Efficiency). 

Dalam redaksi lain, Fungsi dan Peran Lembaga Keuangan Syariah sebagai berikut:

  1. Memperlancar pertukaran produk (barang dan jasa) dengan menggunakan jasa keuangan yang sesuai dengan prinsip syariah;
  2. Menghimpun dana dari masyarakat untuk disalurkan kembali dalam bentuk pembiayaan sesuai dengan prinsip syariah; 
  3. Memberikan pengetahuan/informasi kepada penggua keuangan sehingga membuka peluang keuntungan sesuai prinsip syariah;
  4. Lembaga keuangan memberikan jaminan hukum mengenai keamanan dana masyarakat yang dipercayakan sesuai dengan prinsip syariah;
  5. Menciptakan likuiditas sehingga dana yang disimpan dapat digunakan ketika dibutuhkan sesuai dengan prinsip syariah (Dahniaty et al., 2021).

D. Prinsip-Prinsip Operasional Lembaga Keuangan Syariah Non-Bank

Lembaga keuangan syariah didirikan dengan tujuan mempromosikan dan mengembangkan penerapan prinsip-prinsip Islam, Syariah dan Tradisinya ke dalam transaksi keuangan dan perbankan serta bisnis terkait. Prinsip syariah yang dianut oleh lembaga keuangan syariah dilandasi oleh nilai-nilai keadilan, kemanfaatan, keseimbangan, dan keuniversalan. Prinsip utama yang dianut oleh lembaga keuangan syariah dalam menjalankan kegiatan usahanya tentunya bebas Maghrib antara lain sebagai berikut: 

  1. Riba, yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) antara lain dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan ( fadhl ), atau dalam transaksi pinjam meminjam yang mensyaratkan nasabah penerima fasilitas mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasi’ah);
  2. Maisir, yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang tidak pasti dan bersifat untung-untungan;
  3. Gharar, yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui keadaannya, atau tidak diserahkan pada saat transaksi dilakukan, kecuali diatur lain dalam syariah;
  4. Haram, yaitu transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah;
  5. Zalim, yaitu transaksi yang menimbulkan ketidak adilan bagi pihak lainnya;
  6. Menjalankan Bisnis dan Aktivitas Perdagangan yang Berbasis pada Perolehan Keuntungan yang Sah Menurut Syariah. Semua transaksi harus didasarkan pada akad yang diakui oleh syariah. Akad merupakan perjanjian tertulis yang memuat ijab (penawaran) dan qabul (penerimaan) antara Bank dengan pihak lain yang berisi hak dan kewajiban masing-masing pihak sesuai dengan prinsip syariah. Akad dinyatakan sah apabila terpenuhi rukun dan syaratnya. Rukun akad ada tiga, yaitu adanya pernyataan untuk mengikatkan diri, pihak-pihak yang berakad, dan objek akad. Akad menjadi tidak sah apabila ta’aluq dan terjadi suatu perjanjian dimana pelaku, objek, dan periodenya sama (Dahniaty et al., 2021).

E. Otoritsas Jasa Keuangan dalam Perspektif Islam

 Otoritas Jasa Keuangan dalam Perspektif Islam Keberadaan OJK atau Otoritas Jasa Keuangan tidaklah bertentangan dalam Islam, justru Islam memandang bahwa OJK memanglah lembaga yang seharusnya ada dikarenakan ini menyangkut perlin dungan kepentingan orang banyak. Islam mengajarkan bahwa kita harus selalu menegakkan keadilan dan mencegah segala kemungkaran.

Hal ini sama halnya dengan peran dan fungsi OJK yang mengatur, mengawasi, dan melindungi sistem keuangan agar tidak yang melakukan perbuatan kemungkaran. Dalam Islam, terdapat lima aspek yang harus dijaga dan dipelihara dengan baik, yaitu hifz al-din (memelihara agama), hifz al-maal (memelihara kekayaan), hifz al-nafs (memelihara jiwa), hifz al-nasl (memelihara keturunan), dan hifz al-aql (memelihara akal).

Kehadiran OJK memiliki peran dalam menjaga kekayaan (hifz al-maal), dan ini juga berkaitan dengan keempat lainnya. Islam pada zaman dahulu sudah lebih dulu menerapkan adanya lembaga yang mengawasi dan melindungi sistem ekonomi yang bernama hisbah. Hisbah memiliki tugas mengawasi kegiatan pereko- nomian agar tidak terjadi kezaliman dan kemungkaran.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa hisbah memiliki tugas yang sama dengan OJK. Oleh karenanya, keberadaan Otoritas Jasa Keuangan adalah wajib karena ini berkaitan dengan menjaga hukum-hukum Islam, memastikan keamanan dan menjaga kemaslahatan masyarakat.(Zulpahmi et al., 2024)

F. Rumusan Masalah

  • Bagaimana peran pegadaian syariah dalam Lembaga keuangan syariah non bank?
  • Bagaiamana peran Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) dalam lembaga keuangan syariah non bank (Dahniaty, 2021)?

G. Tujuan Penulisan

  • Untuk mengetahui peran pegadaian syariah dalam lembaga keuangan syariah nonbank.
  • Untuk mengetahui peran Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) dalam lembaga keuangan syariah non bank (Dahniaty, 2021).

H. Kegunaan Penelitian Berdasarkan Penjelasan yang Ditulis

Kegunaan Teoritis Secara teoritis, semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi kalangan akademis kampus sebagai referensi dimasa yang akan datang, terkait penelitian yang sejenis.

  1. Kegunaan Praktis a. Bagi Penulis Untuk menambah wawasan atau pemahaman tentang lembaga keuangan syariah non bank.
  2. Bagi Pembaca Buku ini akan memberikan manfaat bagi pembaca agar sama-sama dapat memahami bagaimana peranan pegadaian syariah dan lembaga keuangan mikro syariah dalam lembaga keuangan syariah non bank (Dahniaty, 2021).`

I. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

a. Jenis Penelitian Dilihat dari Jenis Penelitiannya

Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan atau library research, yakni penelitian yang dilakukan melalui mengumpulkan data atau karya tulis ilmiah yang bertujuan dengan obyek penelitian atau pengumpulan data yang bersifat kepustakaan, atau telaah yang dilaksanakan untuk memecahkan suatu masalah yang pada dasarnya tertumpu pada penelaahan kritis dan mendalam terhadap bahan- bahan pustaka yang relevan.

Sebelum melakukan telaah bahan pustaka, peneliti harus mengetahui terlebih dahulu secara pasti tentang dari sumber mana informasi ilmiah itu akan diperoleh. Adapun beberapa sumber yang digunakan antara lain; buku-buku teks, jurnal ilmiah, refrensi statistik, hasil-hasil penelitian dalam bentuk skripsi, tesis, desertasi, dan internet, serta sumber-sumber lainnya yang relevan.

Baca Juga: Analisis Perbandingan Kinerja Keuangan antara Bank Syariah dan Bank Konvensional di Indonesia

b. Sifat Penelitian Dilihat dari Sifatnya

maka penelitian in termasuk penelitian deskriptif, penelitian deskriptif berfokus pada penjelasan sistematis tentang fakta yang diperoleh saat penelitian dilakukan.

2. Metode Pengumpulan Data

Adapun metode pengumpuluan data penelitian ini diambil dari sumber data, yang dimaksud sumber data dalam penelitian adalah subjek dari mana data dapat diperoleh. 

Hasil dan Pembahasan

1. Pegadaian Syariah

a. Pengertian dan Dasar Hukum

Pegadaian (pawnshop) merupakan salah satu bentuk lembaga keuangan bukan bank yang diperuntukkan bagi masyarakat luas berpenghasilan menengah ke bawah yang membutuhkan dana dalam waktu segera. Dana ini digunakan untuk membiayai kebutuhan tertentu terutama yang sangat mendesak, misalnya biaya pendidikan anak pada awal tahun pelajaran, biaya pulang mengunjungi keluarga yang terkena musibah, biaya pengobatan anggota keluarga yang sakit, dan biaya menghadapi lebaran idul fitri. 

Istilah pegadaian dalam fikih Islam disebut dengan Ar-rahn. Secara Etimologis, Ar-rahn berarti tsubut (tetap) dan dawam (kekal, terus-menerus). Menurut Sayid Sabiq, rahn adalah menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut syara’ sebagai jaminan utang, sehingga orang yang bersangkutan boleh mengambil utang atau ia bisa mengambil sebagian dari manfaat barang itu.

Baca Juga: Pengantar Dasar Perbankan Syariah dan Perbandingan dengan Sistem Konvensional

Hal ini merupakan cara praktis, bahwa setiap orang yang memberikan sesuatu biasanya meminta jaminan dari pihak yang berutang, baik jaminan berupa barang bergerak maupun barang tidak bergerak (Dahniaty, 2021). Pengertian Gadai menurut ulama mazhab, diantaranya sebagai berikut:

  1. Menurut Syafi’iyah, rahn adalah menjadikan suatu barang yang biasa dijual sebagai jaminan utang dipenuhi dari harganya, bila yang berutang tidak sanggup membayar utangnya;
  2. Menurut Hanabilah, Rahn adalah suatu benda yang dijadikan kepercayaan suatu utang, untuk dipenuhi dari harganya, bila yang berutang tidak sanggup membayar utangnya;
  3. Menurut Malikiyah, Rahn adalah suatu yang bernilai harta (mutawwal ) yang diambil dari pemiliknya untuk dijadikan pengikat atas utang yang tetap (mengikat).

Dasar hukum rahn (gadai) sebagai kegiatan muamalah dapat merujuk kepada dalil-dalil yang didasarkan pada Alquran, Sunah, Ijma dan Fatwa DSN-MUI. Hadis yang sering digunakan antara lain Hadis dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari tentang gadai.

Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah SAW membeli makanan dari oarng Yahudi dan beliau menggadaikan baju besinya kepadanya”: (HR.Bukhari-Muslim). Selain itu, secara praktik dasar hukum gadai syariah di Indonesia telah diatur dalam:

  1. Bab XIV Pasal 372 hingga Pasal 412 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah;
  2. Fatwa DSN-MUI No.25/DSN-MUI/III/2002 Tentang Rahn;
  3. Fatwa DSN-MUI No.26/DSN-MUI/III/2002 Tentang Rahn Emas;
  4. Fatwa DSN-MUI No.68/DSN-MUI/III/2002 Tentang Rahn Tasjily;
  5. Fatwa DSN-MUI No.77/DSN-MUI/V/2010 Tentang Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai.

Fatwa yang dikeluarkan oleh DSN ini menjadi rujukan yang berlaku umum serta mengikat bagi lembaga keuangan yang ada di Indonesia, demikian pula mengikat bagi masyarakat yang berinteraksi dengan Pegadaian Syariah.

2. Rukun

Dalam pelaksanaannya, ada rukun dan syarat yang harus terpenuhi sehingga gadai tersebut sesuai dengan syariah. Rukun dan syarat tersebut adalah:

  • Ar Rahin yaitu orang yang menggadaikan. Ar rahin disyaratkan merupakan orang yang sudah dewasa, berakal, bisa dipercaya, dan memiliki barang yang digadaikan;
  • Al Murtahin yaitu yang menerima gadai. Al Murtahin merupakan orang, bank atau lembaga yang dipercaya oleh rahin untuk mendapatkan modal dengan jaminan barang (gadai). Tentang rahin dan murtahin diisyaratkan keduanya merupakan orang yang cakap untuk melakukan sesuatu perbuatan Hukum sesuai dengan ketentuan Syari’at Islam yaitu berakal dan baligh;
  • Al Marhun/rahn yaitu barang yang digadaikan. Marhun merupakan barang yang digunakan rahin untuk dijadikan jaminan dalam mendapatkan utang. Marhun disyaratkan sebagaimana persyaratan barang dalam jual-beli, sehingga barang tersebut dapat dijual untuk memenuhi hak murtahin;
  • Al Marhun bih (utang) yakni sejumlah dana yang diberikan murtahin kepada rahin atas dasar besarnya tafsiran marhun;
  • Sighat, Ijab dan Qabul yaitu kesepakatan antara rahin dan murtahin dalam melakukan transaksi gadai.

3. Syarat

Selain rukun yang harus terpenuhi dalam transaksi gadai, maka dipersyaratkan juga syarat. Syarat-syarat gadai dimaksud, terdiri atas

– Shighat

Syarat shighat tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan waktu yang akan datang. Misalnya, orang yang menggadaikan hartanya mempersyaratkan tenggang waktu utang habis dan utang belum terbayar, sehingga pihak penggadai dapat diperpanjang satu bulan tenggang waktunya. Kecuali jika syarat itu mendukung kelancaran akad maka diperbolehkan. Sebagai contoh, pihak penerima gadai meminta supaya akad itu disaksikan oleh dua orang saksi. 

– Pihak-Pihak yang Berakad Cakap Menurut Hukum

Pihak-pihak yang berakad cakap menurut hukum mempunyai pengertian bahwa pihak rahin dan marhun cakap melakukan perbuatan hukum, yang ditandai dengan aqil baligh, berakal sehat, dan mampu melakukan akad. Menurut sebagian pengikut ulama Abu Hanifah membolehkan anak-anak yang mumayyiz untuk melakukan akad karena dapat membedakan yang baik dan yang buruk.

– Utang (Marhun Bih) 

utang adalah kewajiban bagi pihak berutang untuk membayar kepada pihak yang memberi piutang

– Marhun

Marhun adalah harta yang dipegang oleh murtahin (penerima gadai) atau wakilnya, sebagai jaminan utang. Para ulama menyepakati bahwa syarat yang berlaku pada barang gadai adalah syarat yang berlaku pada barang yang dapat diperjualbelikan

4. Akad Penjanjian

– Akad Qard Al-Hasan

Akad qard al-hasan adalah suatu akad yang dibuat oleh pihak pemberi gadai dengan pihak penerima gadai dalam hal transaksi gadai harta benda yang bertujuan untuk mendapatkan uang tunai yang diperuntutkan untuk konsumtif. Akad al-qard Al-hasan dimaksud pada prinsipnya tidak boleh pembebanan biaya selain biaya administrasi. Namun ketentuan biaya administrasi yang dimaksud berdasarkan cara:

  1. Biaya administrasi harus dinyatakan dengan nominal, bukan persentase;
  2. Biaya administrasi harus bersifat jelas, nyata, dan pasti terbatas pada hal-hal mutlak yang diperlukan dalam akad atau kontak.

– Akad Al-Mudharabah

Akad al-mudharabah dilakukan untuk nasabah yang menggadaikan jaminannya untuk menambah modal usaha (pembiayaan investasi dan model kerja). Dengan demikian, Rahin akan memberikan bagi hasil (berdasarkan keuntungan) kepada murtahin sesuai dengan kesepakatan, sampai barang yang dipinjam dilunasi.

Baca Juga: Peluang dan Tantangan Penerapan Teknologi Keuangan bagi Bank Syariah

– Akad Ba’i al-Muqayadah

Akad Ba’i al-Muqayadah yaitu akad yang dilakukan oleh pemilik sah harta benda barang gadai dengan pengelola barang gadai agar harta benta dimaksud mempunyai manfaat produktif. Misalnya pembelian peralatan untuk modal kerja. Untuk memperoleh dana pinjaman, nasabah harus menyerahkan harta benda sebagai jaminan berupa barang-barang yang dapat dimanfaatkan oleh penerima gadai, baik oleh rahin ataupun murahin.

Nasabah memberikan keuntungan berupa markup atas barang yang dibelikan oleh Murtahin atau pihak penerima gadai dapat memberikan barang yang dibituhkan oleh nasabah dengan akad jual beli sehingga murtahin dapat mengambil keuntungan berupa margin dari penjual barang tersebut sesuai kesepakatan antara keduanya.

II. Lembaga Keuangan Mikro Syariah

1. Pengertian

Lembaga Keuangan Syariah adalah badan yang melalukan kegiatan-kegiatan di bidang keuangan dengan menarik uang dari masyarakat dan menyalurkan uang tersebut kembali ke masyarakat dengan menggunakan prinsip syariah. Kata “mikro” pada penyebutan Lembaga Keuangan Mikro Syariah, memberi pengertian lebih menunjukkan kepada tataran ruang lingkup/cakupan yang lebih kecil.

Sementara menurut Undang-Undang No.1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro, definisi LKM adalah “lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat,pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha yang tidaksemata-mata keuntungan”.

2. Bentuk Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS)

– Bait al-Maal wa at-Tamwil (BMT)

BMT adalah lembaga keuangan mikro yang operasionalisasi nya berbasis syariah, khususnya yang menyangkut bidang akad transaksinya berpola syariah sebagai Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS). BMT merupakan gabungan dua lembaga, yaitu Bait al-Maal yang merupakan lembaga sosial (ta’awun); dan Bait at-Tamwil yang merupakan lembaga bisnis (tijary) dan/atau pengelolaan keuangan produktif (investasi).

Perbedaan tersebut secara otomatis juga berimplikasi kepada perbedaan sumber dana dan pemetik manfaatnya. Dengan demikian, BMT adalah lembaga keuangan mikro yang ingin mengusung dua aktivitas secara sinergis dalam satu kesatuan gerak kelembagaan, dimana yang satu saling melengkapi dan menguatkan bagi yang lain, yaitu aspek sosial dan aspek bisnis

– Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS)

KJKS adalah kependekan dari Koperasi Jasa Keuangan Syariah. Secara khusus, istilah ini merujuk kepada Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 91/Kep/MKUKM/IX/2004, yang disebutkan bahwa Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) adalah koperasi yang kegiatan usahanya bergerak di bidang pembiayaan, investasi dan simpanan sesuai pola bagi hasil (syariah).

Dengan mengacu pada definisi tersebut di atas maka, apa yang telah dijalankan oleh BMT (Bait al-Maal wa at-Tamwil) yang ada di Indonesia selama ini dapat digolongkan dalam KJKS. Dengan demikian KJKS dapat dipakai sebagai payung hukum dan legal bagi kegiatan operasional BMT disamping ketentuan perundang-undangan lain yang terkait dan berlaku. Oleh karena itu BMT dapat pula disebut sebagai Koperasi Syariah (Kopsyah).

3. Prinsip Lembaga

a. Pembiayaan Bagi Hasil (Musharakah dan Mudarabah)

Ada dua macam kontrak dalam kategori ini, yaitu:

– Musharakah (Join Venture Profit Sharing)

Melalui kontrak ini, dua pihak atau lebih (termasuk bank dan lembaga keuangan bersama nasabahnya) dapat mengumpulkan modal mereka untuk membentuk sebuah perusahaan (shirkah al-inan) sebagai sebuah badan hukum (legal entity). Dalam Lembaga Keuangan Syariah(LKS) akad ini dapat diterapkan pada usaha atay proyek di mana LKS membiayai sebagaian saja dari jumlah kebutuhan investasi atau modal kerjanya. Selebihnya dibiayai sendiri oleh nasabah. Akad ini juga diterapkan.

– Mudarabah (Trustee Profit Sharing)

Ada dua tipe mudarabah, yaitu mudarabah mutlaqah dan mudarabah muqayyadah. Pada mudarabah mutlaqah, pemilik dana memberikan keleluasaan penuh kepada pengelola untuk menggunakan dana tersebut dalam usaha yang dianggapnya baik dan menguntungkan. Pengelola bertanggung jawab untuk mengelola usaha sesuai dengan praktik kebiasaan usaha normal yang sehat (‘urf). Sedangkan pada mudarabah maqayyadah, pemilik dana menentukan pembatasan kepada pengelola dalam menggunakan dana tersebut dengan jangka waktu, tempat, jenis usaha dan sebagainya.

b. Prinsip Jual Beli (Bay)

Macam-macam jual beli dalam LKS adalah sebagai berikut:

  • Bay al-mutlaqah, yaitu pertukaran antara barang atau jasa dengan uang. Uang berperan sebagai alat tukar. Jual beli semacam ini menjiwai semua produk-produk lembaga keuangan yang didasarkan atas prinsip jual beli.
  • Bay’ al-muqayyadah, yaitu jual beli di mana pertukaran terjadi antara barang dengan barang (barter). Aplikasi jual beli semacam ini dapat dilakukan sebagai jalan keluar bagi transaksi ekspor yang tidak dapat menghasilkan valuta asing (devisa). Karena itu dilakukan pertukaran barang dengan barang yang dinilai dalam valuta asing. Transaksi semacam ini lazim disebut counter trade.
  • Bay’ al-sarf, yaitu jual beli atau pertukaran antar satu mata uang asing dengan mata uang asing lain, seperti antara Rupiah dengan Dolar, Dolar dengan Yen dan Sebagainya.
  • Bay’ al murabahah, adalah akad jual beli barang tertentu. Dalam transaksi jual beli tersebut, penjual menyebutkan dengan jelas barang yang diperjualbelikan, termasuk harga pembelian dan keuntungan yang diambil.
  • Bay’ al-musawamah, adalah jual beli biasa di mana penjual tidak memberitahukan harga pokok dan keuntungan yang di dapatkannya.
  • Bay’ al-muwada’ah yaitu jual beli di mana penjual melakukan penjualan dengan harga yang lebih rendah daripada harga pasar atau dengan potongan (discount). Penjualan semacam ini biasanya hanya dilakukan untuk barang-barang atau aktiva tetap yang nilai bukunya sudah sangat rendah.
  • Bay’ as-salam, adalah akad jual beli di mana pembeli membayar uang (sebesar harga) atas barang yang telah disebutkan spesifikasinya, sedangkan barang yang diperjual belikan itu akan diserahkan kemudian, yaitu pada tanggal yang disepakati.
  • Bay’ al-istisna’, hampir sama dengan bay’ as-salam, yaitu kontrak jual beli di mana harga atas barang tersebut dibayar lebih dulu tapi dapat diangsur sesuai dengan jadwal dan syarat-syarat yang disepakati bersama, sedangkan barang yang dibeli diproduksi dan diserahkan kemudian

c. Prinsip Sewa dan Sewa-Beli (Ijarah)

Sewa (ijarah) dan sewa-beli (ijarah wa iqtina’ atau disebut juga ijarah muntahiya bi tamlik) dalam keuangan konvensional dikenal sebagai operating lease dan financing lease. Al ijarah atau sewa adalah kontrak yang melibatkan suatu barang (sebagai harga) dengan jasa atau manfaat atas barang lainnya.

Penyewa dapat juga diberi opsi untuk memiliki barang yang disewakan tersebut pada saat sewa selesai, dan kontrak ini disebut al ijarah wa iqtina’ atau al-ijarah muntahiya bi tamlik, di mana akad sewa yang terjadi antara bank sebagai pemilik barang, dengan nasabah sebagai penyewa dengan cicilan sewanya sudah termasuk cicilan pokok harga barang.

Baca Juga: Manajemen Pembiayaan Syariah Berbasis Jual Beli

d. Prinsip Qard

Qard adalah meminjamkan harta kepada orang lain tanpa mengharap imbalan. Dalam rangka mewujudkan tanggung jawab sosialnya, LKS dapat memberikan fasilitas yang disebut qard al-hasan, yaitu penyediaan pinjaman dana kepada pihak-pihak yang patut mendapatkannya.

Secara syariah peminjam hanya berkewajiban membayar kembali pokok pinjamannya. Walaupun secara syariah membolehkan peminjam untuk memberikan imbalan sesuai dengan keikhlasannya, tetapi LKS sama sekali dilarang untuk meminta imbalan apapun.

e. Prinsip Wadi’ah (Titipan)

Wadi’ah yad al-amanah adalah akad titipan di mana penerima titipan (kustodian) adalah penerima kepercayaan (trustee), artinya ia tidak diharuskan mengganti segala risiko kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada aset titipan, kecuali bila hal itu terjadi akibat kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan atau bila status titipan telah berubah menjadi wadi’ah yad al-damanah. Sedangkan Wadi’ah yad al-damanah merupakan akad titipan di mana penerima titipan (kustodian) adalah trustee yang sekaligus penjamin (guarantor) keamanan aset yang dititipkan.

Kesimpulan

Pegadaian Syariah berperan sebagai lembaga pembiayaan yang menyediakan dana tunai kepada masyarakat dengan sistem gadai (rahn) yang sesuai prinsip syariah.

Pegadaian Syariah

  • Menjadi alternatif pembiayaan tanpa riba bagi masyarakat menengah ke bawah
  • Mendorong kegiatan ekonomi produktif melalui pinjaman berbasis jaminan
  • Menyediakan layanan cepat, aman, dan transparan sesuai fatwa DSN-MUI

Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS)

LKMS seperti BMT dan koperasi syariah berperan dalam:

  • Memberikan pembiayaan mikro kepada pelaku usaha kecil dan mikro
  • Menjadi sarana pemberdayaan ekonomi umat berbasis prinsip keadilan dan tolong-menolong
  • Menyediakan layanan keuangan yang mudah diakses oleh masyarakat yang tidak terjangkau oleh bank

Pada dasarnya kedua lembaga ini berperan penting dalam memperluas inklusi keuangan syariah, mengurangi ketergantungan pada lembaga konvensional, serta memperkuat ekonomi umat melalui pembiayaan yang adil dan bebas riba.

Penulis:
1. Ridho Maulana
2. Alya Anindya Sakanti
3. ⁠Akhmad Sahrul Fadillah
4. ⁠Mochamad Faozi
Mahasiswa Program Studi Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Pelita Bangsa

Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi

Daftar Pustaka

Dahniaty, A. (2021). Lembaga Keuangan Syariah Non Bank (Pegadaian Syariah Dan Lembaga Keuangan Mikro Syariah). Tesis, 1–70.

Dahniaty, A., Septanto, W., & Elwarardah, K. (2021). Lembaga Keuangan Syariah Non-Bank. In Elmarkazi.

Zulpahmi, Safira, K. N., Raihan, M., Fathi, D., Nurhusna, N., Fitri, D. A., & Trisdiawati, A. (2024). Buku Ajar Lembaga Keuangan Syariah Non-Bank. 53–54. www.penerbitfrfani.com

 

 

Ikuti berita terbaru di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses