Belakangan ini, media sosial saya dipenuhi oleh para remaja yang melakukan self-diagnosis terhadap kesehatan mentalnya dan menganggap hal tersebut sebagai hal yang keren dan estetik untuk diekspos.
Tren ini sering muncul di beranda media sosial saya dengan latar belakang monokrom dan diiringi dengan lagu – lagu sedih agar terlihat lebih dramatis dan melankolis. Mereka seakan-akan sedang berlomba-lomba menunjukkan kesedihan dan penderitaan mereka.
Sebelum kita membahas tren ini lebih dalam, alangkah baiknya kita mengetahui apa itu gangguan kesehatan mental. Gangguan kesehatan mental atau yang biasa disebut mental illness adalah kondisi kesehatan yang mempengaruhi pemikiran, perasaan, perilaku, atau suasana hati seseorang.
Ada banyak sekali jenis mental illness yang dapat dialami seseorang. Namun, yang sering muncul di beranda media sosial saya adalah mereka yang mengalami depresi.
Baca Juga: Manfaat Melakukan Olahraga untuk Kesehatan Mental
Media sosial saya dipenuhi dengan konten para remaja yang menunjukkan bahwa dirinya memiliki gangguan kesehatan mental, terutama depresi. Biasanya mereka menyampaikannya melalui beberapa cuplikan video yang sedang menyakiti dirinya sendiri, memotong rambut pendek bagi perempuan, menangis di kamar yang gelap dan diiringi dengan lagu-lagu sedih. Terkadang mereka juga suka bercerita tentang penyebab mereka memiliki depresi.
Hal ini membuat saya bertanya-tanya, apa yang membuat remaja-remaja ini yakin bahwa mereka sedang mengalami depresi? Apakah sudah didiagnosa oleh psikolog atau psikiater? Atau hanya berdasarkan informasi di internet dan mencocok-cocokkannya dengan dirinya sendiri? Setelah saya riset di beberapa sosial media dan situs internet, ternyata mayoritas dari mereka adalah yang mendiagnosa dirinya sendiri atau bisa disebut self-diagnosis hanya berdasarkan informasi yang didapatkan dari internet.
Aware terhadap Mental health sangatlah penting dan harus ditangani oleh orang yang berkompeten di bidangnya. Akan tetapi, akan salah jika dilakukan dengan self-diagnosis. Karena hal ini dapat menjadi bumerang bagi diri kita sendiri. Sebagai contoh, Anda belakangan ini sering merasa pusing. Kemudian, dari hasil pencarian Anda, didapati bahwa sakit kepala yang sering Anda alami mengindikasi penyakit tumor otak. Oleh karena itu, Anda merasa khawatir dan stres yang berlebihan. Padahal, belum tentu Anda mengidap tumor otak, namun Anda sudah merasa sangat khawatir.
Pemicu terjadinya hal ini biasanya adalah mereka yang memiliki trauma yang disebabkan oleh hubungan yang toxic, jam kerja yang tidak teratur, bos yang tidak ramah, terlalu dikekang oleh orang tuanya, dan masih banyak lagi.
Baca Juga: Apakah Kesehatan Mental Kita Baik-Baik Saja selama Pandemi?
Bahkan, mereka membuat istilah-istilah yang keren dan terkesan lebih “biologis” agar semua perlakuan dan perkataan mereka menjadi semakin keren dan estetik.
Sebagai contoh, memiliki orang tua yang terlalu protektif biasanya disebut strict parents, perkataan yang sedikit tajam dan menyakitkan hati mereka disebut verbally abusive, menyakiti dirinya sendiri dengan cara menggoreskan tulisan di tangannya disebut cutting, jam kerja yang terlalu banyak dan menekan disebut overwhelm, butuh hiburan dan liburan disebut healing, dan masih banyak istilah-istilah yang mendukung mereka untuk membuat konten-konten mental health mereka terbungkus dengan rapi dan estetik.
“Aduh! Kemarin nyokap gue tuh verbally abusive banget ke gue. Masa gue dimarahin gara-gara pulang jam 11 malem.”
“Hah! Gila lo punya strict parents banget sih. Kalo gue jadi lo sih pasti mental health gua terganggu banget.”
“Iya kan! Makanya kemarin malem ini tuh gua habis cutting. Capek gua hidup kayak gini terus.”
“Iya, keliatan dari perilaku lo kalau lo tuh punya mental illness. Lo butuh healing secepatnya.”
Seperti itulah kira-kira percakapan mereka yang sering saya lihat di media sosial. Sebagian besar dari mereka melakukan hal-hal tersebut hanya sekedar ingin mencari perhatian lebih dari lingkungannya atau agar dianggap keren dan beda dari lainnya, padahal dirinya tidak mengidap penyakit mental.
Tren yang ramai di media sosial ini menyebabkan banyak remaja yang tidak memiliki gangguan kesehatan mental melakukan self-diagnosis bahwa mereka juga memiliki gangguan kesehatan mental. Tren ini seharusnya kita hindari dan sudahi secepatnya karena sangat berdampak buruk bagi karakter dan mental para remaja yang kian hari terlihat semakin sensitif dan mudah menyerah bila dihadapkan dengan masalah. Namun, tren ini juga terjadi karena remaja masih memiliki karakter yang belum stabil atau bisa disebut labil dan mudah terpengaruhi dengan apa yang mereka lihat di internet dan media sosial.
Baca Juga: Bagaimana Dampak Lumpur Lapindo terhadap Kesehatan Mental Korban?
Kebiasaan melakukan tindakan self-diagnosis seharusnya kita hindari ketika kita telah merasakan hal yang aneh sedang terjadi pada diri kita. Menarik kesimpulan pada penyakit mental tidak dapat dilakukan hanya berdasarkan informasi-informasi yang dapat diperoleh dari internet.
Alangkah baiknya, kita segera berkonsultasi dengan tenaga medis yang profesional agar dapat menemukan obat dan solusi yang tepat dan tidak memperparah penyakit yang kita alami. Selain itu, pada jaman sekarang di mana era digital berkembang dengan sangat cepat telah menawarkan kemudahan kita dalam memperoleh informasi serta berkomunikasi. Namun, sangat disayangkan apabila kesempatan ini tidak diimbangi dengan sikap yang bijak dan cerdas dari diri kita sebagai pengguna.
Oleh karena itu, kita seharusnya lebih berhati-hati dan dapat melihat konsekuensi yang dapat terjadi dari melakukan segala sesuatu. Jangan sampai niat kita yang semula ingin mencari solusi dan obat dari suatu masalah atau penyakit, justru berubah menuju arah yang sebaliknya hanya untuk mendapatkan simpati dari orang banyak dan hanya untuk terlihat kekinian di mata masyarakat.
Dustin Darmadi
Universitas Katolik Parahyangan
Editor: Diana Pratiwi