Pendahuluan
Di tengah pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, terutama bagi kalangan pemuda.
Platform seperti Instagram, TikTok, Twitter, dan Facebook membuka ruang luas untuk berinteraksi, berekspresi, bahkan membangun identitas diri. Namun, di balik manfaat tersebut, terdapat sisi gelap yang tidak bisa diabaikan—cyberbullying dan hate speech.
Fenomena ini bukan sekadar komentar negatif biasa. Cyberbullying dan ujaran kebencian telah menyebabkan dampak psikologis serius bagi banyak anak muda.
Ditambah dengan tren seperti cancel culture dan toxic online behavior, ruang digital yang seharusnya menjadi tempat belajar dan berkembang justru berubah menjadi ladang konflik yang merugikan.
Maka dari itu, penting bagi kita untuk membahas secara lebih dalam bagaimana bentuk-bentuk perilaku ini terjadi, dampaknya, serta solusi yang bisa diambil untuk menciptakan lingkungan digital yang lebih sehat.
1. Fenomena Cyberbullying dan Hate Speech di Media Sosial
Cyberbullying merujuk pada tindakan perundungan yang dilakukan melalui platform digital. Bentuknya beragam, mulai dari komentar penuh kebencian berbasis SARA, body shaming, seksisme, hingga homophobia.
Selain itu, praktik doxxing—yakni menyebarkan data pribadi seseorang tanpa izin—juga menjadi senjata ampuh untuk menyerang korban secara personal. Ada pula perilaku flaming (perang kata-kata kasar) serta outing dan shaming, yakni membongkar informasi pribadi dengan tujuan mempermalukan.
Dampaknya tidak bisa dianggap sepele. Banyak korban yang mengalami gangguan kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, bahkan berpikir untuk mengakhiri hidup. Rasa percaya diri dan harga diri pun hancur, sementara reputasi mereka bisa rusak secara permanen hanya karena satu unggahan viral.
Contoh nyatanya bisa kita lihat dari kasus-kasus yang menimpa publik figur, seperti Lesti Kejora, yang menjadi sasaran serangan netizen setelah isu rumah tangganya tersebar.
Tak hanya artis, banyak anak muda biasa yang menjadi korban tanpa perlindungan memadai, apalagi jika mereka viral karena satu hal yang dianggap salah oleh netizen.
2. Cancel Culture: Antara Keadilan dan Perundungan Massal
Awalnya, cancel culture muncul sebagai bentuk kontrol sosial. Tujuannya adalah memberikan tekanan kepada pihak yang melakukan kesalahan agar bertanggung jawab. Sayangnya, saat ini cancel culture seringkali berubah menjadi hukuman publik tanpa proses yang adil.
Di satu sisi, I bisa membuka ruang keadilan, seperti dalam kasus kekerasan seksual yang sebelumnya tersembunyi. Namun, di sisi lain, orang yang belum tentu bersalah bisa langsung ‘dihukum’ oleh netizen. Mereka kehilangan pekerjaan, nama baik, dan bahkan identitas diri hanya karena satu pernyataan atau kesalahan masa lalu yang viral.
Banyak YouTuber atau selebritas yang harus hiatus atau bahkan kehilangan karier karena dihujat habis-habisan. Bahkan, siswa sekolah pun bisa jadi korban. Hanya karena satu video atau komentar, mereka bisa di-bully massal oleh netizen yang tidak mengenal mereka secara pribadi.
Baca Juga: Dampak Bullying dan Hate Speech pada Mental Generasi Muda
3. Toxic Online Behavior dan Efeknya terhadap Kesehatan Mental
Toxic online behavior menciptakan ruang digital yang penuh dengan permusuhan, kemarahan, dan tekanan sosial. Di media sosial, orang semakin mudah tersinggung, menyerang, dan menyebarkan kebencian hanya karena perbedaan pendapat.
Selain itu, muncul tekanan sosial baru melalui fenomena FOMO (Fear of Missing Out) dan insecurity. Standar kecantikan, gaya hidup ideal, hingga pencapaian usia muda yang dibagikan terus-menerus di media sosial bisa membuat banyak anak muda merasa tidak cukup baik.
Mereka membandingkan diri dengan orang lain tanpa menyadari bahwa apa yang tampak di media sosial sering kali tidak mencerminkan kenyataan.
Efek lainnya adalah echo chamber, di mana seseorang hanya berinteraksi dengan orang-orang yang memiliki pandangan yang sama dengannya. Akibatnya, mereka menjadi kurang toleran terhadap perbedaan, dan ketika dihadapkan pada opini yang bertentangan, responsnya cenderung agresif.
Semua hal ini berdampak besar pada kesehatan mental. Kecanduan media sosial meningkat, begitu pula dengan gangguan kecemasan dan depresi. Tak sedikit anak muda yang merasa takut untuk berbicara karena khawatir disalahpahami atau bahkan di-bully.
4. Memahami Siklus Bullying: Dari Korban ke Pelaku
Bullying seringkali tidak berdiri sendiri. Menurut pandangan dari esai Understanding the Cycle of Bullying, pelaku kekerasan bisa jadi merupakan korban sebelumnya. Mereka mungkin mengalami kekerasan fisik, verbal, atau emosional dari lingkungan rumah, sekolah, atau komunitas, lalu tanpa sadar meneruskan pola tersebut kepada orang lain.
Lingkungan yang permisif juga memperkuat siklus ini. Ketika pelaku tidak diberi batasan atau sanksi yang tegas, dan korban tidak mendapat dukungan, maka bullying akan dianggap sebagai hal “normal.” Akhirnya, korban bisa berubah menjadi pelaku, dan lingkaran kekerasan pun terus berjalan.
Dengan memahami bahwa bullying bukan hanya soal “anak nakal”, tapi bisa bersumber dari luka masa lalu dan lingkungan yang tidak sehat, kita bisa mendorong pendekatan yang lebih menyeluruh: kombinasi antara intervensi, pemulihan, dan edukasi.
Solusi dan Langkah Preventif
Mengatasi masalah ini membutuhkan kerja sama dari berbagai pihak, mulai dari individu, komunitas, hingga platform media sosial itu sendiri. Berikut beberapa solusi yang dapat dilakukan:
- Literasi Digital dan Etika Berinternet
Edukasi tentang bagaimana bersikap dan berkomunikasi di dunia digital perlu ditanamkan sejak dini. - Peningkatan Keamanan Online
Platform seperti Instagram, Twitter, dan TikTok harus memperkuat sistem moderasi mereka. - Mendorong Ruang Digital yang Positif
Kampanye positif dan gerakan anti-bullying harus terus digalakkan. - Empati dan Pengendalian Diri (Self-Regulation)
Mengajarkan pentingnya empati dan kemampuan mengatur emosi akan membantu anak muda merespons konflik dengan bijak.
Baca Juga: Bullying dan Hate Speech di Kalangan Pemuda
Kesimpulan
Cyberbullying, hate speech, cancel culture, dan toxic online behavior adalah fenomena nyata yang memengaruhi kehidupan anak muda di era digital. Dampaknya bukan hanya menyakitkan secara emosional, tetapi juga bisa menghancurkan masa depan seseorang. Oleh karena itu, solusi yang diperlukan tidak hanya datang dari satu arah.
Literasi digital, empati, dan kesadaran kolektif sangat dibutuhkan agar ruang digital bisa menjadi tempat yang sehat dan aman untuk semua.
Media sosial tidak seharusnya menjadi tempat yang menakutkan, melainkan ruang untuk berbagi, belajar, dan tumbuh. Sudah saatnya kita bertanggung jawab atas jejak digital kita—baik sebagai pengguna biasa maupun sebagai bagian dari komunitas online yang lebih besar.
Penulis: Kelompok Alodokter 1
1. Duke Paopathon Pardede – 2461001
2. Vira Pickler – 2442003
3. Elly Chandrawati – 2441246
4. Jessica Santana – 2431068
5. Dewi – 2442080
6. Desyah Harianti Hasibuan – 2431134
7. Syafika – 2441233
8. Lucky – 2442188
9. Regita Anastasya Putri – 2441101
10. Eiric Ritandy – 2431016
11. Li Liang – 2442083
12. Siti Aisyah Wijaya – 2451016
Mahasiswa Universitas Internasional Batam
Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru di Google News