Rempang Eco City: Ladang Investasi atau Luka bagi Negeri?

Rempang Eco City
Sumber foto: aceh.antaranews.com

ABSTRAK

Pemerintah Indonesia melakukan segala upaya demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama di daerah-daerah yang selama ini mengalami pembangunan tidak merata. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan mengadakan proyek strategis nasional yang di dalamnya mencakup pembangunan berkelanjutan.

Pembangunan berkelanjutan pun mengizinkan adanya investasi yang pastinya akan melancarkan “keran” ekonomi negara.

Akan tetapi, ironisnya, dalam pelaksanaan program yang dimaksudkan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat sebagaimana yang telah tertuang dalam UUD Pasal 33 Ayat 3, justru tidak sedikit kepentingan publik dan hak-hak masyarakat yang tergerus. Salah satunya adalah konflik pada pembangunan Rempang Eco City.

Bentrok terjadi akibat bertabrakannya program dan masyarakat yang terlibat dalam program tersebut. Masyarakat Rempang meyakini bahwa tanah Rempang merupakan tanah ulayat milik leluhur mereka dan mereka secara tegas menolak relokasi yang ditawarkan oleh pemerintah.

Bacaan Lainnya

Di sisi lain, terkait dengan investasi yang telah dilakukan, pemerintah pun mengalami keterdesakan. Negara bertugas sebagai pelindung masyarakatnya, sekaligus sebagai alat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Prinsip-prinsip tersebutlah yang harus dipegang untuk menangani kasus ini lebih lanjut.

Di dalam penelitian ini memakai metode kualitatif dengan menggunakan sumber data kualitatif berdasarkan studi pustaka yang berkaitan dengan topik yang diangkat.

Hasil dari penelitian ini menekankan bahwa diperlukan keseimbangan antara pembangunan, hak-hak masyarakat, dan investasi. Pemerintah perlu menjadi mediator yang menegakkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat dalam pengambilan keputusan.

Abstract

The Indonesian government is making every effort to enhance the welfare of the people, particularly in regions that have historically experienced uneven development. One of the initiatives involves the implementation of national strategic projects, encompassing sustainable development.

This, in turn, facilitates investments, ultimately boosting the country’s economic flow. However, ironically, in the execution of programs intended to achieve societal well-being, as outlined in the Constitution Article 33 Section 3, there is a significant erosion of public interests and community rights.

An example of this is the conflict arising from the Rempang Eco City development. Conflicts arise due to the collision between the implemented program and the community involved in it. The Rempang community firmly believes that Rempang’s land is ancestral land, vehemently rejecting the relocation offered by the government.

On the other hand, concerning the invested capital, the government faces pressing circumstances. The state serves as the protector of its citizens and as a means to enhance their well-being. These principles must be adhered to in addressing this case further.

In this research, a qualitative method is employed, utilizing qualitative data sources derived from relevant literature on the addressed topic. The study’s outcomes underscore the essential need for equilibrium among development, community rights, and investment.

It highlights the need for the government to act as a mediator, upholding  justice and the welfare of the community in decision-making processes.

BAB I

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara dengan sumber daya alam yang berlimpah. Sampai akhir bulan April 2022, Kemenkeu mencatat PNBP Sumber Daya Alam mencapai 74,4 triliun. Harus kita akui bersama bahwa sumber daya alam menjadi sektor pendapatan dengan potensi yang sangat besar.

Maka dari itu sumber daya alam haruslah dikelola dengan sebaik-baiknya demi kemaslahatan masyarakat banyak, sesuai dengan yang tertulis dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Pengelolaan sumber daya alam berkaitan erat dengan pembangunan. Pembangunan merupakan pilar utama bagi pertumbuhan suatu negara, namun tantangan terbesar dalam proses ini adalah menjaga keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan kebutuhan masyarakat.

Indonesia, sebuah negara yang kaya akan keanekaragaman budaya dan sumber daya alam, telah merangkul visi pembangunan berkelanjutan sebagai landasan bagi upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.

Namun, dalam upaya memperbaiki kesenjangan pembangunan yang merata di berbagai daerah, sering kali muncul kompleksitas yang melibatkan konflik kepentingan antara pemerintah, investasi, dan hak-hak masyarakat.

Pemerintah Indonesia telah memprioritaskan pembangunan yang merata sebagai bagian integral dari komitmen konstitusionalnya, terutama yang tercantum dalam UUD Pasal 33 Ayat 3 yang menegaskan tanggung jawab negara untuk mengelola sumber daya alam dan ekonomi secara yang berkeadilan.

Dalam hal ini, proyek strategis nasional menjadi wadah bagi upaya menjembatani kesenjangan pembangunan, yang seharusnya mengakomodasi kebutuhan masyarakat sambil memperhatikan prinsip keadilan dan berkelanjutan.

Namun, realitanya tidak selalu sejalan dengan cita-cita tersebut. Dalam implementasi proyek-proyek besar, seperti kasus yang terjadi pada Rempang Eco City, muncul konflik yang kompleks antara kepentingan pembangunan dan hak-hak masyarakat. Konflik tanah menjadi isu sentral dalam perdebatan ini.

Masyarakat Rempang, dengan keyakinan kuat terhadap tanah ulayat yang diwariskan oleh leluhur mereka, menolak relokasi yang ditawarkan oleh pemerintah sebagai bagian dari proyek tersebut.

Di sisi lain, investasi yang terlibat dalam proyek tersebut menjadi penting bagi pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional. Hal ini mengakibatkan tekanan pada pemerintah untuk menyelesaikan konflik tersebut agar proyek berjalan sesuai rencana.

Namun, dalam menanggapi tekanan tersebut, pemerintah dihadapkan pada tanggung jawab sebagai pelindung hak-hak masyarakatnya, sebagaimana tertuang dalam perannya sebagai penjaga keadilan sosial.

Dalam konteks ini, menemukan keseimbangan antara pembangunan ekonomi, perlindungan hak-hak masyarakat, dan pemenuhan kebutuhan investasi menjadi tantangan besar.

Pemerintah harus bertindak sebagai mediator yang adil dan mengakomodasi kepentingan semua pihak, sambil memastikan bahwa kesejahteraan masyarakat tetap menjadi fokus utama dalam setiap keputusan yang diambil.

Prinsip-prinsip konstitusional dan etika dalam pengelolaan sumber daya alam harus menjadi panduan menyelesaikan konflik semacam ini.

BAB II

METODE PENELITIAN

2.1 Metode Penelitian

Menurut Darmadi dalam Thabroni (2014: 153), metode penelitian diartikan sebagai langkah dalam penelitian untuk mendapatkan data dengan tujuan kegunaan tertentu.

Dengan adanya metode penelitian, sebuah penelitian dapat dilaksanakan dengan lebih sistematis. Metode penelitian dibagi menjadi berbagai jenis seperti metode kualitatif, kuantitatif, deskriptif, asosiatif, dan lain sebagainya.

Metode kualitatif ialah jenis penelitian yang digunakan untuk menyelidiki, menemukan, mendeskripsikan, dan mengkaji kualitas atau keistimewaan dari pengaruh sosial yang tidak dapat dijelaskan, diukur, atau digambarkan melalui penghitungan data matematis (Saryono dalam Muhammad, 2010).

Penelitian kualitatif disarankan digunakan saat meneliti interaksi sosial, mengembangkan teori, verifikasi data sosial, dan masalah yang belum dapat terpecahkan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif jenis metode studi kasus yang mana kasus Rempang Eco-City menjadi objek penelitian.

Metode studi kasus bertujuan untuk menguraikan data yang diperoleh supaya mendapatkan hasil penjelasan dari kasus tersebut (Muhammad, 2020). Melalui pendekatan ini juga penulis dapat menemukan kesimpulan serta memecahkan masalah dari data yang didapat.

2.2 Jenis dan Sumber Data

2.2.1 Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif. Data yang digunakan untuk penelitian berupa fakta dari populasi tertentu yang disusun secara sistematis menjadi suatu analisis.

Penelitian ini menggunakan penelitian studi kasus yang mana mengkaji permasalahan kasus Rempang Eco-City serta didukung oleh sumber kepustakaan relevan akan untuk analisis studi kasus Rempang Eco-City. Penelitian kepustakaan nantinya akan menghasilkan data deskriptif kualitatif berupa teori empiris dari sumber kepustakaan.

Menurut Ramdhan (2020), penelitian deskriptif mengangkat rumusan masalah yang mengandung nilai ilmiah. Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti akan menggambarkan hasil analisis studi kasus Rempang Eco-City dengan teori yang objektif.

2.2.2 Sumber Data

Dalam ranah penelitian ini, jenis data yang dipertimbangkan adalah data kualitatif yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan. Berfokus pada:

  1. Data Deskriptif Kualitatif: Fokus utama penelitian ini adalah pada data deskriptif kualitatif yang diambil dari sumber literatur terkait kasus Rempang Eco-City. Data ini diharapkan mampu memberikan gambaran mendalam dan kontekstual terhadap permasalahan yang diteliti.
  2. Teori Empiris: Melalui penelitian kepustakaan diharapkan dapat dihasilkan teori-teori empiris yang telah dihilangkan pada penelitian-penelitian sebelumnya, pandangan para ahli dan temuan-temuan yang relevan. Teori inilah yang nantinya menjadi landasan konseptual untuk menganalisis dan menjelaskan studi kasus Rempang Eco-City dengan menggunakan pendekatan kualitatif.

Penelitian kepustakaan tidak hanya sekadar sumber data, namun juga merupakan proses penyelidikan yang memperkaya pemahaman konseptual melalui literatur yang membahas permasalahan serupa.

Dengan menggali data kualitatif tersebut, diharapkan penelitian ini mampu memberikan kontribusi yang orisinil dan mendalam terhadap pemahaman tentang Rempang Eco-City saat ini.

2.3 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian kepustakaan yang bertujuan menghasilkan data deskriptif kualitatif berupa teori empiris dari sumber kepustakaan, teknik pendekatan yang tepat adalah sebagai berikut:

  1. Analisis Literatur Sistematis: Melibatkan pencarian literatur ilmiah terkait studi kasus Rempang Eco-City. Peneliti akan melakukan analisis sistematis terhadap teori empiris yang muncul dalam literatur, mengidentifikasi konsep-konsep yang relevan.
  2. Sinopsis dan Abstraksi: Proses ini mencakup pembacaan mendalam dan menggambar sinopsis dan abstrak dari literatur yang relevan. Fokusnya adalah pada pemahaman teori empiris yang mendasari permasalahan yang diteliti.
  3. Meta-Analysis of Literature: Pendekatan ini melibatkan sintesis informasi dari berbagai sumber literatur untuk menghasilkan pemahaman komprehensif tentang teori empiris yang dapat diterapkan dalam konteks Rempang Eco-City.
  4. Kategorisasi Tematik: Mengorganisasikan temuan literatur ke dalam kategori tematik yang relevan dengan penelitian. Mencatat kategori tematik akan membantu dalam mengembangkan kerangka teori yang berorientasi pada data kualitatif.

Dengan menggunakan teknik-teknik tersebut, penelitian ini akan mampu menggali dan mengembangkan teori-teori empiris dari sumber-sumber perpustakaan secara sistematis dan holistik.

Teknik pengumpulan data ini dirancang khusus untuk merinci dan menggabungkan berbagai perspektif yang muncul dalam literatur ilmiah terkait Rempang Eco-City.

BAB III

HASIL PEMBAHASAN

3.1 Latar Belakang dan Kronologi Rempang Eco City

Kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Rempang melibatkan penggusuran paksa penduduk untuk memberi jalan bagi sebuah proyek pembangunan di Indonesia bernama Rempang Eco City.

Pemerintah menganggap penduduk sebagai warga liar, namun para aktivis membantah hal ini, dengan menyatakan bahwa desa-desa di pulau tersebut sudah tua dan sebagian besar rumah tangga memiliki surat kepemilikan tanah, yang membuktikan hak hukum mereka untuk tinggal di tanah tersebut.

Penggusuran ini dipandang sebagai perampasan tanah dengan dalih untuk mengamankan proyek yang “penting secara strategis” dan memberikannya kepada pengembang swasta.

Kasus ini telah menimbulkan kritik terhadap catatan HAM di Indonesia, dengan seruan agar pemerintah menghormati hak-hak masyarakat Rempang, menyelidiki pelanggaran yang terjadi, dan membatalkan rencana pembangunan tersebut.

Kasus ini juga telah menimbulkan kekhawatiran tentang perlindungan HAM di Indonesia dan perlunya pemerintah untuk memperbaiki situasi HAM di negara ini.

Pada tahun 2004, pemerintah bersama PT Makmur Elok Graha dan mitra swasta lainnya, seperti BP Batam dan Pemerintah Kota Batam, menjalankan Program Strategis Nasional dengan fokus pada pengembangan Rempang Eco City.

Harapannya, proyek ini dapat menarik investasi sebesar Rp381 triliun pada tahun 2080. Namun, pada tanggal 6 Agustus 2023, masyarakat Rempang menolak keras pembangunan tersebut, kembali ke rumah dengan baik, dan menolaknya sebagai kampung adat masyarakat Melayu.

Pada tanggal 7 September 2023, konflik mencapai puncaknya ketika terjadi bentrokan antara warga Rempang dan aparat gabungan TNI, Polri, dan Ditpam BP Batam. Bentrokan ini dipicu oleh konflik lahan terkait rencana pembangunan Rempang Eco City.

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menjelaskan pada 14 September 2023 bahwa kegiatan sosialisasi sebelumnya tidak mencapai semua masyarakat dan protes muncul saat dilakukan pengukuran lahan yang pada akhirnya berujung pada bentrokan.

Insiden ini terus memunculkan ketegangan, dengan masyarakat Rempang menolak proyek pembangunan tersebut pada berbagai kesempatan, termasuk pada tanggal 18 September 2023.

Keseluruhan kronologi kasus Rempang ini menggambarkan kompleksitas konflik antara kebijakan pembangunan pemerintah dan hak-hak asasi masyarakat lokal, menyiratkan urgensi dalam mempertimbangkan dampak proyek pembangunan terhadap komunitas yang mendiami daerah tersebut.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah menemukan indikasi pelanggaran HAM dalam peristiwa kericuhan di Pulau Rempang, Kepulauan Riau.

Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM, Saurlin P. Siagian, menyatakan bahwa terdapat indikasi pelanggaran HAM saat dua kali terdapat bentrokan antara warga sipil dan aparat yang terjadi di Pulau Rempang.

Lembaga tersebut juga menemukan adanya pengerahan lebih dari 1.000 pasukan gabungan untuk mengamankan rencana pengukuran atau pematokan tata batas di Pulau Rempang oleh BP Batam pada 7 September. Hal ini dianggap sebagai tindakan yang sangat berlebihan.

Selain itu, telah terjadi penangkapan terhadap masyarakat pada saat terjadi bentrokan dan masyarakat merasa terintimidasi.

Menurut Saurlin, tidak ada proses yang dialogis dan transparan terkait relokasi dan penggusuran, yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Konvenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.

Dari perspektif HAM, kasus penggusuran paksa di Pulau Rempang dinilai sebagai bentuk pelanggaran HAM berat. Penggusuran paksa dianggap sebagai perlakuan tidak manusiawi dan merendahkan martabat seseorang yang seharusnya dilindungi oleh negara.

Kasus ini dinilai sebagai pelanggaran HAM berat baik secara langsung maupun tidak, karena menyentuh seluruh aspek hak sipil, budaya, politik, dan sosial yang dilindungi oleh hukum HAM internasional.

Penggusuran paksa harus dilakukan secara sah, hanya dalam keadaan luar biasa, dan sepenuhnya sesuai dengan aturan HAM internasional dan hukum humaniter. Selain itu, penggusuran paksa tidak boleh dilakukan hanya atas dasar keinginan atau keputusan seorang menteri atau bupati, tetapi harus didasarkan pada undang-undang.

Jika penggusuran itu terpaksa harus dilakukan, maka harus dipastikan bahwa dilakukan semata-mata untuk tujuan memajukan kesejahteraan umum bagi warga di Pulau Rempang dan dapat dilakukan setelah adanya kepastian kesepakatan perolehan kompensasi dan rehabilitasi penuh dan adil.

Calon hakim ad hoc HAM di Mahkamah Agung, Manotar Tampubolon, juga menyatakan bahwa kasus Rempang termasuk pelanggaran HAM.

Menurutnya, di Pulau Rempang telah terjadi kehilangan beberapa etnis asli, pemaksaan untuk pindah dari tempat mereka mencari pencaharian bertahun-tahun, dan pencaplokan tanah oleh perusahaan Indonesia. Manotar berpendapat bahwa kasus ini menunjukkan adanya pelanggaran HAM yang perlu mendapat perhatian serius.

Friends of the Earth International (FOEI) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) telah bergabung dengan tuntutan masyarakat Rempang dan masyarakat Indonesia untuk menghormati HAM, membuat keputusan yang efektif yang mewajibkan untuk melindungi mereka, bukan menganiaya mereka, membuka investigasi untuk segera menemukan, mengadili, dan menghukum mereka yang secara material dan intelektual bertanggung jawab atas kejahatan ini dan semua kejahatan sebelumnya, menjamin keutuhan dan keamanan masyarakat Rempang, warga kampung Melayu Tua, dan secara umum masyarakat Indonesia, membatalkan rencana pembangunan dan implementasi Eco-City di Pulau Rempang, menghentikan pengerahan aparat kepolisian ke Pulau Rempang, menghentikan kekerasan dan kriminalisasi terhadap masyarakat Rempang, mencopot Kepala Kepolisian Daerah Riau dan Kepala Kepolisian Resor Batam, serta melakukan investigasi permanen terhadap kasus-kasus kekerasan dan kriminalisasi terhadap masyarakat Rempang.

3.2 Polemik di Masyarakat Menanggapi Isu Rempang Eco City

Sebelum memasuki ke pembahasan konflik, alangkah baiknya untuk mengetahui teori-teori materiil dari konflik. Menurut ahli sosiologi Marx, masyarakat tersusun atas kaum borjuis (pemilik modal) dan kaum proletar (pekerja). Jadi, sistem sosial secara vertikal ditentukan oleh pola ekonomi.

Marxisme mendefinisikan bahwa kelas sosial atas di masyarakat kapitalis diisi oleh pemilik sarana produksi. Kesenjangan kemudian muncul ketika kaum proletar yang tidak mempunyai penguasaan terhadap unsur produksi ditindas dan dimanfaatkan keberadaannya untuk kepentingan kaum borjuis.

Hal inilah yang menimbulkan strata sosial yang jelas selama kesadaran semu atau false consciousness masih nyata dan eksis di dalam kaum proletar (Zainuddin, 2012: 146).

Dahrendorf dalam bukunya yang paling terkenal berbicara mengenai konflik yaitu Class and Class Conflict in Industrial Society (1959), memiliki pendapat yang berbeda dari Marx. Menurut Dahrendorf, yang memengaruhi hierarki sistem sosial tidak hanya pemisahan modal, tetapi juga pemisahan tenaga kerja.

Tenaga kerja dibedakan atas skill yang mereka punya sehingga menjadikan strata baru di dalam kaum proletar (buruh mahir dan buruh biasa). Pemisahan baru ini menghadirkan kelas sosial masyarakat yang terdiri atas kombinasi antara kelas menengah dan kaum proletar.

Mobilitas sosial yang terjadi secara besar-besaran kemudian memunculkan gerakan pemberontakan atas otoritas kaum borjuis. Jadi, sistem kelas sosial secara vertikal dibahas Dahrendorf lebih mengacu pada kepemilikan kekuasaan daripada kepemilikan barang produksi seperti pendapat Marx.

Hal ini terimplementasi di masyarakat era modern ketika pemilik pabrikasi tidak lebih berkuasa daripada pengendali atas fasilitas tersebut (Rahmaniah: 9, 10).

Berdasarkan teori konflik oleh Dahrendorf, penulis mencoba membandingkan teori dengan kasus kawasan industri Pulau Rempang, Batam. Pembuatan proyek oleh pemerintah Indonesia selaku pengendali sarana di wilayah tersebut terlihat menuai polemik di masyarakat.

Menurut Evander Nathanael Ginting, kasus Rempang menyulut isu-isu mengenai HAM, hak agraria, dan kepentingan investasi pemerintah. Ginting mengatakan bahwa polemik bermula ketika rencana pembangunan Rempang Eco City mengharuskan masyarakat keluar dari daerah tempat tinggal mereka.

Masyarakat adat menilai bahwa kelompok sosial mereka lebih dulu tinggal dan menguasai wilayah tersebut. Oleh karena itu, banyak ketidaksetujuan yang muncul manakala masyarakat adat Pulau Rempang diminta pindah untuk kelancaran proses pembangunan.

Sebelumnya, sejumlah parsial dari masyarakat adat menolak direlokasi karena takut kehilangan ekosistem hidupnya. Lain halnya dari yang dikemukakan BP Batam bahwa proyek ini ada untuk mendongkrak ekonomi warga.

Rohimah, salah satu warga, berpendapat bahwa Rempang adalah pulau warisan dan akan diwariskan ke keturunannya nanti. Alasan lain Rohimah tidak ingin direlokasi adalah karena sejarah yang sudah tertanam di tempat tinggalnya tersebut dan tidak akan tergiur dengan janji ganti rugi walaupun sepadan.

Begitu juga menurut Rahimah, warga Kampung Sembulang, Pulau Rempang. Kampung tersebut diujarnya adalah hasil jerih payah nenek moyang yang membangunnya dari hutan belantara hingga menjadi sekarang.

Rahimah mengaku sedih tatkala ada kabar penggusuran, beliau dan keluarganya juga tidak mempunyai rencana yang bagus untuk pindah. Namun, beliau sebenarnya bersyukur ada potensi membangun usaha di masa depan karena rencana Rempang Eco City.

Permasalahannya adalah beliau sekaligus para warga tidak setuju untuk dipindahkan dan lebih baik meminta pembangunan diganti saja ke wilayah lain.

Dari penjelasan dua warga Pulau Rempang nampaknya menghasilkan titik temu bahwa warga tidak menolak pembangunan tetapi relokasinya. Selayaknya masyarakat adat yang masih menjunjung tinggi nilai tradisional, mereka pasti memiliki ikatan khusus dengan wilayah yang ditinggali hampir sepanjang hidup mereka.

Bahkan menurut Gerisman Ahmad sebagai Ketua Kekerabatan Masyarakat Adat Tempatan (Keramat) Rempang dan Galang, warga mempersilahkan pembangunan di 16 titik luar kampung dengan syarat kampung-kampung mereka tidak direlokasi.

Gerisman mempertanyakan peran pemerintah yang disebutnya tidak pernah hadir untuk membantu legalisasi tanah meskipun sudah diajukan. Masyarakat adat Rempang yang telah tinggal sejak 1834 dirasa telah memiliki pulau Rempang secara penuh.

Hingga pada tahun 2001-2002, pemerintah memberi Hak Guna Usaha (HGU) kepada investor yang hak itu tidak pernah digunakan bahkan tidak pernah dikunjungi sebelum konflik berlangsung.

Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) yang bertanggung jawab mengelola HGU juga dinilai menimbulkan tumpang tindih kepemilikan tanah.

Hal ini terjadi karena BP Batam tidak menjabarkan batas pengelolaan tanah miliknya dengan tanah masyarakat adat secara jelas. Pemerintah dinilai warga setempat Pulau Rempang belum berhasil menghadirkan kepastian hukum atas hak kepemilikan tanah mereka.

Beberapa oknum pemerintah telah melabeli masyarakat adat sebagai “warga liar” karena tidak memiliki sertifikat.  Prof. Dr. Ibnu Sina Chandranegara, M.H. melalui pendapatnya tidak setuju dengan julukan “warga liar”.

Disebutnya, pemerintah seharusnya paham ada 16 kampung adat yang dapat dibuktikan asal muasalnya. Julukan inilah yang kemudian memicu konflik di masyarakat adat Pulau Rempang.

Konflik dan bentrok oleh warga Pulau Rempang dilansir dari situs CNN Indonesia kembali terjadi pada 7 September lalu. Konflik bermula ketika aparat keamanan mencoba menerobos kampung untuk memasang patok-patok pembatas. Warga yang tidak setuju mulai melempar batu ke arah petugas.

Pelemparan ini dibalas dengan penembakan gas air mata. Padahal, wilayah konflik saat itu berada di area SD 24 Galang dan SMP 33 Galang. Oleh karena itu, sejumlah warga termasuk perempuan dan siswa sekolah terdampak tembakan gas air mata. Beberapa warga yang terbukti melakukan aksi provokasi juga diamankan aparat kepolisian.

Menurut Edi Kurniawan selaku anggota dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), aksi demonstrasi warga membuktikan kurangnya transparansi sosialisasi kepada masyarakat. Edi menambahkan bahwa tidak terdapat konsultasi dan partisipasi dari masyarakat mengenai rencana pembangunan.

Masyarakat adat disebutnya terkejut dengan proyek tiba-tiba ini. Edi menambahkan, terdapat sejumlah intimidasi hukum, kriminalisasi, dan upaya menakut-nakuti oleh kepolisian kepada warga yang lantang menyuarakan pendapatnya.

Di lain sisi, kepolisian membantah anggapan tersebut dan mengatakan bahwa permasalahan ini diselesaikan dengan memprioritaskan “musyawarah mufakat”.

3.3 Proyek Rempang Eco City dari Sudut Pandang Pemerintah

Polemik Proyek Rempang Eco-City semakin memanas, antara pemerintah dengan rakyat tanah adat yang saling mempertahankan kepentingan masing-masing. Akan tetapi, pemerintah sendiri tidak serta-merta membela proyek Rempang Eco-City tanpa pertimbangan matang.

Di balik konflik ini, Rempang Eco-City nyatanya menjanjikan kesejahteraan, tidak hanya bagi rakyat Rempang, tetapi juga dapat dirasakan kedepannya oleh seluruh masyarakat Indonesia.

Dilansir dari laman Humas Badan Pengusahaan Batam, investasi besar-besaran yang dilakukan di Rempang-Galang tersebut diperkirakan dapat menjadi “Mesin Ekonomi” bagi Indonesia.

Istilah tersebut dirasa tidak berlebihan sebab investasi yang sedang dilakukan bertujuan untuk menarik perusahaan Xinyi dengan perkiraan investasi Rp174 triliun.

Hal ini membuat Indonesia dapat bersaing dengan negara tetangga, Singapura dan Malaysia. Lebih lanjut, kehadiran Xinyi menjadi modal besar untuk dapat menarik investor lain menanamkan modalnya pada proyek Rempang Eco-City berikut.

Di sisi lain, rencana investasi dari PT MEG yang diperkirakan menyentuh angka Rp381 triliun dianggap dapat memberikan suntikan besar bagi peningkatan kualitas hidup warga Rempang-Galang.

Pertumbuhan investasi direncanakan berjalan beriringan dengan adanya keterlibatan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) sehingga ekonomi masyarakat dapat ikut terangkat. Keterlibatan UMKM akan dilakukan melalui adanya kemitraan strategis dengan perusahaan-perusahaan besar.

Kepala Biro Humas, Promosi, dan Protokol, Ariastuty Sirait, melalui laman Humas Badan Pengusahaan Batam mengatakan bahwa semua proses secara maksimal akan melibatkan UMKM sehingga usaha masyarakat akan sangat hidup.

UMKM yang dimaksudkan dapat berupa usaha tempat makan kecil yang disediakan bagi para pekerja proyek Rempang Eco-City.

Tak kalah penting, keterbukaan lapangan kerja tentu menjadi sasaran utama dari peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hal ini sejalan dengan target pemerintah untuk menyediakan lapangan kerja seluas-luasnya bagi generasi usia produktif sebagai akibat dari adanya bonus demografi hingga 2040.

Dengan demikian, Rempang Eco-City memberikan kesempatan, terutama bagi penduduk setempat, untuk diberikan pendidikan terpadu, beasiswa, dan kesempatan berkarier di daerahnya sendiri.

Terakhir, proyek Rempang Eco-City ditinjau oleh pemerintah sebagai proyek strategis yang dapat menjadi awal pemerataan pembangunan. Tinjauan tersebut didasarkan pada peluang perbaikan infrastruktur, seperti pembangunan dermaga bagi penduduk yang berprofesi sebagai nelayan untuk beraktivitas.

Tinjauan pemerataan pembangunan juga didasarkan akan dampak kesehatan ekologis dan sosial jangka panjang sebagai manfaat adanya Rempang Eco-City.

Pemerintah juga berharap dengan dibukanya kawasan Rempang-Galang tersebut, transfer informasi dan kebudayaan dapat terjadi sebagai jawaban dari masalah ketertinggalan yang dialami oleh masyarakat.

Pertimbangan pemerintah untuk mempertahankan keberlangsungan proyek Rempang Eco-City berikut tidak terlepas dari tujuan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat Indonesia.

Akan tetapi, perlu ditinjau kembali apakah pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah untuk membawa keberlangsungan proyek ini sudah tepat dan tidak mencederai pihak-pihak yang berhak atas kawasan tersebut.

Lebih lanjut, penting pula untuk mengevaluasi langkah yang diambil pemerintah dari sudut pandang Pancasila sebagai falsafah negara.

3.4 Kasus Rempang Eco City Ditinjau dari Pancasila Sebagai Falsafah Negara

Pancasila sebagai falsafah negara berarti nilai-nilai yang termaktub dalam setiap sila dalam pancasila perlu diimplementasikan dalam setiap kehidupan bernegara. Seluruh undang-undang, kebijakan, hingga putusan yang berdampak pada kehidupan masyarakat luas tidak boleh bertentangan dari nilai-nilai Pancasila.

Pada kasus Pulau Rempang, masyarakat menilai adanya pencederaan terhadap Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa. Terdapat beberapa nilai yang diabaikan untuk menunjang terlaksananya proyek Rempang Eco City ini.

Proyek Rempang Eco City dinilai tidak selinier dengan sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” dikarenakan pada praktiknya, proyek ini tidak menunjukkan penghormatan terhadap nilai-nilai lokal dan spiritualitas yang sudah jauh berkembang dalam masyarakat Pulau Rempang.

Telah diketahui bahwa masyarakat Pulau Rempang merupakan masyarakat yang dekat dengan alam dan lingkungan. Hubungan yang erat antara masyarakat dan alam ini membawa koneksi yang erat terhadap nilai spiritualitas pada masyarakat Pulau Rempang.

Selama bertahun-tahun lamanya, masyarakat Pulau Rempang telah menjaga kelestarian alam sebagai bentuk penghormatan mereka atas nilai lokalitas yang dianut, terlebih ketergantungan masyarakat terhadap alam juga mendorong dilakukannya pelestarian tersebut.

Namun, adanya proyek Rempang Eco City ini akan menjadi ancaman bagi keberlangsungan kehidupan spiritualitas serta kelestarian nilai-nilai lokal yang sudah dibudidayakan sejak lama.

Dengan pemerintah yang bersikeras untuk melancarkan proyek ini, menunjukkan kurang adanya penghormatan pemerintah terhadap keyakinan dan nilai-nilai spiritual yang berkembang di masyarakat Pulau Rempang.

Adanya kata ‘adil’ dapat dinilai sebagai suatu frasa yang subjektif. Sementara adil berdasarkan Pancasila berarti adanya prinsip-prinsip distribusi yang adil, perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), dan kesetaraan dalam kesempatan.

Sementara itu, jika ditinjau lebih dalam, proyek Rempang Eco City ini belum dapat mencapai nilai keadilan dan kemanusiaan yang sesuai dengan sila kedua, “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.” Dalam praktik perwujudannya, proyek ini tidak mencapai nilai-nilai tersebut.

Terdapat beberapa hak masyarakat Pulau Rempang yang dilanggar seperti hak atas tanah, hak atas tempat tinggal, serta hak atas identitas. Penduduk asli Pulau Rempang yang semula memiliki hak atas tanah menjadi kehilangan hak tersebut karena pengambilalihan wilayah yang dilakukan oleh PT REC.

Selain itu, kehilangan hak atas tanah juga berimplikasi pada hilangnya hak atas tempat tinggal warga. Penduduk Pulau Rempang memiliki hak atas tempat tinggal yang layak untuk menunjang keberlangsungan hidup mereka.

Namun penggusuran untuk keberlangsungan proyek ini juga secara tidak langsung “merampas” hak mereka untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak.

Meski PT REC menyatakan adanya perelokasian tempat tinggal masyarakat Pulau Rempang, kompensasi ini masih belum setara karena belum jelasnya tempat tinggal baru yang akan mereka tempati yang secara tidak langsung juga merupakan ketidakjelasan terhadap masa depan mereka.

Selain itu, meski proses relokasi akan segera dilakukan, masyarakat Pulau Rempang akan kehilangan hak atas identitas mereka sebagai Warga Pulau Rempang asli. Hak atas identitas itu juga dilanggar karena paksaan untuk meninggalkan tanah yang sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Pulau Rempang sejak lama.

Proses pembangunan proyek Rempang Eco City yang penuh polemik dan sengketa juga merupakan salah satu pemicu munculnya perpecahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan itu, nilai dalam sila ke-3 “Persatuan Indonesia” tidak dapat diimplementasikan sesuai dengan esensi awal.

Konflik ini juga mengindikasikan kurangnya penghormatan terhadap konsep multikulturalisme yang ada di Indonesia. Indonesia sebagai negara dengan pluralitas tinggi juga mempertimbangkan adanya hukum adat dan kaidah keagamaan dalam pembentukan hukumnya.

Namun dalam kasus ini, hukum adat yang menjadi pertimbangan kuat dari masyarakat Pulau Rempang seakan-akan dikesampingkan dengan adanya Hukum Agraria yang mengatur aset yang dimiliki oleh negara.

Sementara, selain berpegang pada hukum adat yang sudah berlaku lama, masyarakat Pulau Rempang tidak memiliki “tameng perlindungan” lainnya. Diskriminasi ini dapat memicu rasa kecewa terhadap negara yang dapat menjadi titik awal mula dari munculnya gerakan separatisme.

Jika dilakukan terus-menerus, praktik seperti ini juga akan melunturkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah maupun aparatur negara.

Konflik seperti ini juga dapat meninggalkan trauma di masyarakat dan memicu munculnya gerakan-gerakan anti-asing yang menolak adanya intervensi instansi asing dalam berkontribusi terhadap pembangunan Indonesia.

Beberapa sumber menyebutkan bahwa proses musyawarah yang dilakukan oleh pemerintah dan penduduk setempat tidak mencapai mufakat dalam artian tidak berdasarkan kehendak kedua belah pihak. Dalam proses negosiasi ini dinilai tidak ada dialog mendalam dalam rangka mencapai kemufakatan dan tujuan bersama.

Kondisi ketidaksetaraan kuasa yang ada pada kasus ini, yaitu antara pemerintah dan masyarakat Pulau Rempang, membuat masyarakat Pulau Rempang tidak dapat melakukan banyak hal untuk memperjuangkan hak-haknya yang dilanggar.

Sementara dalam sila ke-4 Pancasila “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan” memiliki arti bahwa pemerintah perlu mengutamakan kepentingan rakyat dalam pembuatan kebijakan, serta diperlukan andil rakyat dalam setiap keputusan yang berdampak pada masyarakat luas.

Berdasarkan analisis pelanggaran yang dilakukan terhadap masyarakat Pulau Rempang di atas, dapat ditengarai bahwa sila ke-5 Pancasila “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” juga tidak dapat dicapai.

Pelanggaran terhadap prinsip keadilan distributif, yaitu keadilan yang menyatakan bahwa setiap orang layak mendapatkan hak-hak sesuai dengan yang pantas didapatkan, terdapat pada kasus ini.

Tidak hanya itu, pelanggaran terhadap keadilan prosedural juga ditemui dengan tidak adanya transparansi kepada masyarakat Pulau Rempang akan nasib mereka setelah proses relokasi untuk mempermudah proyek ini, selain itu juga diskriminasi yang didapatkan selama proses negosiasi dan penolakan proyek ini.

Kompensasi yang diberikan juga masih belum menjadi jawaban atas kerugian yang terjadi. Hal ini mengindikasikan bahwa pembangunan Rempang Eco City merupakan suatu pembangunan yang tidak menjunjung tinggi prinsip berkeadilan.

BAB IV

SIMPULAN

Penulis menyadari bahwa Pancasila sebagai dasar negara belum sepenuhnya diimplementasikan dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat, masih banyak kasus pelanggaran yang menjadi saksi bisu bahwasanya dalam hal ini oknum, yang mengesampingkan nilai-nilai Pancasila dan buta akan kepentingan kelompok sehingga muncul penindasan terhadap kelompok masyarakat kecil tidak berdaya.

Artikel ini lahir untuk mengangkat salah satu ironi yang terjadi di tanah air tercinta, konflik yang disebabkan pembangunan Rempang Eco City di Indonesia. Melalui artikel ini dapat disimpulkan keterkaitan pemerintah, kepentingan untuk investasi, serta hak-hak masyarakat setempat atau dapat disebut masyarakat adat.

Penolakan relokasi yang ditawarkan pemerintah dilakukan oleh masyarakat Rempang dengan kepercayaan bahwa tanah mereka adalah warisan leluhur yang tidak dapat diganggu gugat. Tanah ulayat yang telah mereka jaga sudah layaknya sebagai harta tidak ternilai di mata mereka.

Meskipun begitu, penulis juga melihat bahwa pada akhirnya pemerintah yang sedang menggiatkan pembangunan negara harus mendapatkan tekanan dalam menyelesaikan konflik tersebut. Proyek yang sudah dirancang sebagaimana mestinya perlu direformulasi sehingga tidak memenuhi kepentingan sepihak saja.

Melalui artikel ini kami menekankan bahwa dalam sebuah pembangunan terlebih untuk kepentingan ngeara, perlu adanya keseimbangan antara kebutuhan pembangunan itu sendiri, perlindungan hak-hak masyarakat, serta pemenuhan kebutuhan investasi.

Maka dalam hal ini, pemerintah sebagai aktor harus berperan menjadi mediator yang menjunjung tinggi nilai keadilan dan kebermanfaatan serta memastikan kesejahteraan masyarakat untuk menjadi fokus utama dari setiap keputusan yang diambil kedepannya.

Akhir kata, penulis meyakini relevansi artikel ini akan tergerus oleh perkembangan kasus, tetapi biarlah artikel ini menjadi saksi perjuangan masyarakat untuk mempertahankan hak-haknya serta menjadi inspirasi bagi khalayak ramai untuk memperhatikan keseimbangan nilai Pancasila dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Penulis:
1. Muhammad Dheren Satya Aji (23/512209/HK/23522)
2. Talitha Athayanora (23/512580/HK/23536)
3. Jihan Nailah Asyifa (23/513850/HK/23570)
4. Nathan Sidabutar (23/517038/HK/23655)
5. Salsabila Nayla Paramitha (23/517166/HK/23667)
6. Tria Marsella Mile (23/517984/HK/23709)
7. Meirhina Elnanda Puan Bidari (23/519038/HK/23734)
8. Naila Edgina (23/519094/HK/23738)
9. Wilson Antoro (23/522008/HK/23848)
10. Elsa Yunita Megantari (23/522551/HK/23865)
11. Aisyah Rizki Zumara (23/522740/HK/23870)
Mahasiswa Hukum Universitas Gadjah Mada

Dosen Pengampu: M. Rodinal Khair Khasri, S.Fil., M.Phil.

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Ikuti berita terbaru di Google News

DAFTAR PUSTAKA

A, Q. (n.d.). Klasifikasi Jenis-Jenis Metode Penelitian Yang Sering Dipakai. Gramedia. Diakses dari https://www.gramedia.com/literasi/jenis-metode-penelitian/#1_Penelitian_Dasar_Basic_Research

Amnesty International. (2019, Januari). Chapter 5: Case Studies. Diakses dari https://www.amnesty.org/en/latest/campaigns/2019/01/chapter-5-case-studies/

Astoni, P. Y. (2022). Eksistensi Asas Pembangunan Berkelanjutan dalam    Pengakuan dan Penghormatan kepentingan Desa pada Proyek Strategis Nasional (studi kasus Konflik Desa Wadas). Jurnal Advokatura Indonesia, 1(1), 1-22.

Asian Human Rights Commission. (2023, September). AHRC-PRL-003-2023. Diakses dari http://www.humanrights.asia/news/ahrc-news/AHRC-PRL-003-2023/

Bpbatam.go.id. (2023, 21 September). Deretan Keuntungan Rempang Eco-City. Diakses dari https://bpbatam.go.id/deretan-keuntungan-rempang-eco-city/

Cugurullo, F. (2015). Urban Eco-Modernisation dan Konteks Kebijakan Proyek Kota Ekologis Baru: Gagalnya Masdar City dan Alasannya. Urban Studies. Diakses dari https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/0042098015588727

Duduk Perkara Konflik Pulau Rempang. (2023, 12 September). CNN Indonesia. Diakses dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230912125946-12-997897/duduk-perkara-konflik-pulau-rempang

Fathoni, A. (2006). Metodelogi Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.

Friends of the Earth International. (2023, September). Pulau Rempang, Indonesia: Solidaritas. Diakses dari https://www.foei.org/rempang-island-indonesia-solidarity/

Idrus, P. G. (2023, Oktober). Aktivis Tidak Puas dengan Keanggotaan Dewan Hak Asasi Manusia. BenarNews. Diakses dari https://www.benarnews.org/english/news/indonesian/activists-unhappy-human-rights-council-membership-10112023134233.html

Institut Agama Islam Negeri Kudus. (n.d.). Metode Penelitian. Repositori IAIN Kudus: 33-38. Diakses dari http://repository.iainkudus.ac.id/5435/6/06%20BAB%20III.pdf

Jong, H. N. (2023, September). Investor Lebih diutamakan daripada Penduduk Pulau saat Indonesia Menggunakan Kekuatan untuk Mendorong Proyek Pembangunan. Mongabay. Diakses dari https://news.mongabay.com/2023/09/investors-over-islanders-as-indonesia-uses-force-to-push-development-project/

La Fua, J. (2015). Manajemen Pemanfaatan Sumber Daya Alam di Indonesia untuk Mendukung Pembangunan Berkelanjutan melalui Pendekatan Ekonomi Hijau. Shautut Tarbiyah, 21(1), 57-76.

Maulana, F. (2023, Oktober). Konflik Rempang: Benarkah Mereka Warga Liar? Opini UMJ. Diakses dari https://umj.ac.id/opini-1/konflik-rempang-benarkah-mereka-warga-liar/

Ramadhan, M. (2021). Metode Penelitian. Cipta Media Nusantara.

Rosana, M. (2018). Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan yang Berwawasan Lingkungan di Indonesia. Jurnal Kelola: Jurnal Ilmu Sosial, 1(1).

Syahril, N. (2016). Metodologi Penelitian. Diakses dari http://repository.stei.ac.id/1460/4/BAB%203.pdf

Tabhroni, G. (2022). Metode Penelitian: Pengertian & Jenis menurut Para Ahli. Serupa.id. Diakses dari https://serupa.id/metode-penelitian/

Tasya. (2023, September 25). Menilik Konflik Rempang dan Pengakuan Pemerintah Atas Hak-Hak Masyarakat Adat. Berita UGM. Diakses dari https://ugm.ac.id/id/berita/menilik-konflik-rempang-dan-pengakuan-pemerintah-atas-hak-hak-masyarakat-adat/

Zainuddin, S., Soetarto, E., Adiwibowo, S., & Pandjaitan, N. K. (dkk.). KONTESTASI DAN KONFLIK MEMPEREBUTKAN EMAS DI POBOYA.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses