Indonesia adalah bangsa yang besar. Lahir dari kemalangan, penjajahan, penindasan dan kesusahan yang tak berkesudahan. Hingga tiba pada 17 Agustus 1945, Proklamasi telah berkumandang di seluruh penjuru negeri. Tanda bahwa bangsa yang besar telah lahir, melepas diri dari kungkungan zaman yang selalu dibaluti oleh keterpurukan.
Dari hari itu, Indonesia pantang surut untuk terus berusaha meraih cita-cita hidup yang mulia menjadi negara yang ideal. Buah pikir dari Al-Farabi menafsirkan negara ideal, adalah sebuah negara yang senantiasa mewujudkan kebahagiaan. Spesifiknya, sebuah kondisi dimana kesejahteraan dan keadilan hidup berdampingan. Mungkin ini adalah tujuan utama dari bangsa besar yang bernama Indonesia.
Plot untuk menemui cita-cita berbangsa itu tidak selalu lurus dan mulus. Akan ada masalah-masalah yang menghambat jalannya pencapaian tujuan negara. Meski pada nantinya, problematika tersebut akan mengisi setiap lembaran kisah perjalanan, yang akan kita sebut sebagai sejarah bangsa.
Sedari awal tulisan ini, kami berusaha meyakinkan bahwa negeri ini adalah bangsa yang besar, dan tentunya akan berimbang bila latar belakang kebesarannya dilandasi oleh sejarah yang besar. Kita tentu saja tak boleh lupa akan sejarah bangsa kita sendiri, cukuplah “bejibun” gubahan dari pada Pendahulu untuk tidak melupakan sejarah. Mungkin yang cukup familiar adalah slogan “JAS MERAH” (Jangan sekali-kali melupakan sejarah), yang diucapkan oleh Bung Karno.
Sejarah menyimpan banyak hal untuk kita. Selain sebagai salah satu rujukan untuk merumuskan alternatif utama dalam mengentaskan permasalahan negara, secara holistik sejarah menjadi acuan untuk merefleksikan identitas bangsa. Identitas tersebut akan tetap melekat hingga hayat membumi di tanah pertiwi.
Tanggal 20 dan 21 Mei adalah dua momentum sejarah Indonesia, pergolakan dan perlawanan terjadi di sini. 20 Mei ditandai sebagai Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) dan 21 Mei dikenang sebagai Hari Peringatan Reformasi. Dua peristiwa sejarah yang terkait satu sama lain, namun terjadi dalam tempo yang berbeda. Kita perlu menyadari benang merah dari dua pertistiwa tersebut, sebuah tradisi perlawanan intelektual, yang kemudian kami sebut sebagai merdeka berpikir.
Merdeka berpikir adalah sebuah kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang bebas untuk melahirkan konsepsi-konsepsi baru, yang kemudian menjadi permulaan dari segala bentuk tindakan. Dari dua peristiwa sejarah tersebut kita dapat melihat bagaimana peristiwa pada 20 Mei 1908 sebagai sebuah permulaan dari tradisi intelektual, yakni merdeka berpikir. Serta bagaimana peristiwa 21 Mei 1998 dimana reformasi menjadi buah dari tradisi intelektual. Dari keterkaitan itu, kita akan menemukan aktor-aktor intelektual yang mendalanginya, mereka adalah pemuda dan pemudi dari golongan terpelajar.
Kebangkitan Nasional: Merdeka Berpikir, Pertama dan Utama
Kebangkitan, dalam Bahasa kita dimaknai sebagai suatu kesadaran untuk bersatu melawan dan mengusir penjajah. Kita Bersatu tanpa keragu-raguan dan kita melawan tanpa tawar-tawar. Sebuah kondisi dimana kesadaran utuh secara lahiriah, bahwa kita adalah bangsa yang seyogyanya berdigdaya di tanah moyang sendiri.
Peristiwa kebangkitan ditandai dengan berdirinya organisasi Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908, sebuah organisasi pribumi pertama yang dibidani oleh kelompok pelajar di Hindia Belanda kala itu. Terbentuknya perkumpulan pelajar tersebut secara mendasar telah membangun “pondasi” perlawanan. Seperti yang kita bisa sepakati bersama, bahwa setiap perlawanan dimulai dari satu pemikiran yang besar, hasil pikir yang lahir dari kemerdekaan dan tanpa kungkungan.
Sejarah boleh mencatat kalau kemajuan Homo Sapiens sebagai The Wise Human kala merajai puncak peradaban pertama kali, dimulai dengan revolusi kognitif. Tak sampai di situ, merdeka berpikir juga telah berhasil menghantarkan kelompok terpelajar Fisiokrat, Merkantlist dan Kameralist berhasil melawan masa-masa kelam Eropa kala itu. Bertolak dari dua fakta tersebut, maka layaklah bahwa Boedi Oetomo juga menjadi fase pertama yang menghantarkan bangsa Indonesia pada kemerdekaan yang hakiki.
Sebenarnya empat tahun sebelum beridirinya Boedi Oetomo sudah ada organisasi pribumi, yakni Medan Prijaji yang dirintis oleh Raden Mas Tirto Adhi Soerjo. Namun waktu itu, organisasi tersebut hanya beranggotakan masyarakat pribumi yang memiliki stratifikasi sosial menengah ke atas. Meski begitu, Medan Prijaji adalah trigger dari berdirinya Boedi Oetomo, dan Tirto adalah Ulil Albab dari peristiwa tersebut. Lewat perlawananya terhadap penjajah di tanah pertiwi dengan menggunakan cara-cara jurnalisme, Tirto menghujat keras kembang biak dari kolonialisme dan imperialisme yang begitu subur pada masa itu.
Tirto mulanya dihantui oleh keresahan akan semena-menanya tingkah laku penjajah, mereka memeras pribumi dengan begitu kejam, memanfaatkan nusantara sebagai “tambang hijau”, yang setiap hasil produksinya laris manis di pasar internasional. Hak asasi hanya cukup saat waktu tidur dan buang air saja. Setelah itu, kau adalah pribumi dan kau adalah “Londo” (Belanda). Melihat itu, Tirto pun berikrar untuk memperjuangkan bangsanya untuk merdeka, dan yang pertama kali diperbuat adalah memerdekakan dirinya sendiri, yang dimulai dari pikirannya.
Ilmu pengetahuan modern dipelajarinya, budaya-budaya Eropa bahkan juga tak luput dalam penguasaannya. Selepas semuanya telah dilakukan, Tirto memulainya dengan tulisan dan membuka pemikiran orang-orang terpelajar pribumi termasuk perintis Boedi Oetomo untuk berjuang demi bangsanya sendiri, demi Ibu Pertiwi, dan untuk tatanan indah bagi kita semua (orang-orang Pribumi). Perihal ini mungkin jarang kita temui dari catatan-catatan sejarah. Mungkin yang sejauh ini bersuara adalah Tetralogi Pulau Buru, masterpiece dari Pramoedya Ananta Toer yang bercerita tentang epos sejarah terpelajar pribumi, Tirto Adhi Soerjo. Ringkasnya pada masa itu terpelajar pribumi berusaha untuk mendidik rakyat dengan organisasi dan mendidik penguasa dengan sebuah perlawanan.
Kini 112 tahun berjalan semenjak terbentuknya Boedi Oetomo. Sebuah manisfestasi dari gerakan kebangkitan nasional. Sejak saat itu, paling tidak kita menemukan dua warisan, yaitu sejarah bangsa dan juga tradisi pelajar Indonesia yang merdeka untuk berpikir untuk melawan dan meraih kemerdekaan yang hakiki.
Merdeka berpikir adalah yang pertama dan utama dalam segala hal. Kebebasan berpikir menghantarkan kepada setiap manusia maupun bangsa di dalam kehidupan yang benar-benar ideal. Kemerdekaan, revolusi, ilmu dan pengetahuan, serta banyak hal-hal baik lainnya yang bermula dari kebebasan berpikir. Maka dari itu kita dapat sepakat bahwa yang mendasari gerakan Harkitnas adalah merdeka berpikir, serta setiap saat dalam memperingati Harkitnas yang kita perlu bangkitkan adalah merdeka dalam berpikir.
Peringatan Reformasi: Buah Dari Merdeka Berpikir
Reformasi, itulah kata yang mengandung banyak makna. Sebuah kata yang paling diingat pada Mei yang kelam. Kata yang lahir dengan darah dan keringat dari pemuda/pemudi Indonesia. Kata yang yang harus ditebus dengan banyak nyawa, kesakitan dan kemalangan. Reformasi adalah bentuk kegelisahan dari pemuda, bentuk perlawanan nyata dan buah dari kemerdekaan berpikir sebagai jati diri pemuda bangsa untuk melawan berbagai bentuk pembodohan dan kekejaman tirani.
Semua bermula, saat krisis moneter tengah menghantui dunia kala itu, Indonesia pun turut merasakan kesulitan. Demonstrasi tak terelakkan untuk terus berlangsung selama beberapa hari, terlebih semakin tersulut saat Tragedi Trisakti yang memakan korban, empat pahlawan reformasi. Mereka berpulang karena tertembak peluru tajam aparat.
Golongan terpelajar yang memimpin gerakan perlawanan hanya menginginkan satu hal, Soeharto harus mundur sebagai Presiden. Gerakan ini mencuat karena pelanggaran HAM yang terjadi di mana-mana, ketimpangan ekonomi, sosial dan politik yang begitu subur, serta sebuah bentuk kegeraman dan ketidakpuasan masyarakat atas kebijakan-kebijakan Pemerintahan Orde Baru.
Siapa juga yang ingin hidupnya ditindas, dan diancam. Siapa yang ingin pendapat dan karyanya di batasi. Siapa juga yang ingin melihat pelanggaran HAM terjadi disekitarnya. Siapa yang tega melihat kemiskinan, dan kelaparan di mana-mana, sementara para “komprador” merajalela untuk menjalankan KKN (Kolusi Korupsi dan Nepotisme). Dari sinilah kelompok mahasiswa, golongan terpelajar yang merdeka dalam berpikir, berusaha untuk mereflkesikan gerakan-gerakan pelajar dahulu.
Gerakan massal yang terstruktur tersebut, membawa enam agenda reformasi sebagai tuntutan utama. Diantaranya:
- Adili Soeharto dan kroni-kroninya.
- Laksanakan Amandemen Undang-Undang Dasar 1945.
- Hapuskan Dwi Fungsi ABRI.
- Pelaksanaan Otonomi Daaerah yang seluas-luasnya.
- Tegakkan supremas hukum.
- Ciptakan pemerintahan yang bersih dari KKN.
Hari-hari yang berat pada Mei yang kelam dijalani oleh golongan terpelajar dan juga masyarakat. Semangat reformasi sudah lama tertanam dalam benak meraka, perubahan haruslah tiba dengan selamat. Peralihan kepemimpinan yang otoriter menjadi demokratis, adalah niat baik yang wajib untuk diwujudkan.
Akhirnya, tanggal 21 Mei 1998 Soeharto turun dari jabatannya sebagai presiden dan digantikan oleh B.J. Habibie yang pada saat itu menjadi wakil presiden. Inilah akhir dari Orde Baru dan Awal bagi hidup baru, yaitu reformasi yang sarat akan perubahan. Mulai hari itu, semua agenda-agenda reformasi ditegakkan. Meski begitu, masih ada agenda reformasi yang belum tuntas penerapannya sampai dengan hari ini. Namun, hari itu adalah awal dari hari ini, kebebasan telah lega untuk bernafas, dan keran demokrasi pun telah terbuka lebar. Maka 21 Mei 1998 ditetapkan sebagai Hari Peringatan Reformasi. Hari yang membayar perjuangan saat itu, dan juga sebagai hari dimana identitas pelajar Indonesia kembali ditampakkan, tidak lain hal itu adalah merdeka berpikir. Suatu tradisi yang selalu dilakukan, kala semua harapan hidup berbangsa dan bernegara kerap didahang oleh kesenjangan.
Kebangkitan Nasional telah menumbuhkan sebuah pohon tradisi intelektual, dengan nama Merdeka Berpikir, dan reformasi adalah buah dari pohon tradisi tersebut. yang selalu memupuknya adalah pemuda terpelajar, dan mereka pula yang akan menuainya. Selama dorongan untuk memerdekakan diri untuk terus berpikir kedepan dan melawan segala macam bentuk kesenjangan, selama itu jua pohon tradisi tersebut akan tetap mekar dan berbuah.
Pemuda terpelajar adalah golongan baru dalam sejarah perjuangan Indonesia. Namun, kehadiran muda mudi terpelajar ini tidak bisa dinafikkan. Kemampuan bernalar dan semangat muda yang selalu berkobar adalah kelebihan mereka. Dari situlah lahir berbagai macam konsep perjuangan dan perlawana. Dari merekalah lahir analisi cemerlang, dan solusi-solusi konstruktif nan membangun. Sudah sedari dulu, harapan untuk pemuda selalu sama dengan narasi pada paragraf ini.
Saat ini kita tiba pada era milenial. Teknologi sangat cepat melesat dan terus membuat perubahan pada setiap saat. Kondisi ini sudah seharusnya menjadi momentum untum meningkatkan diri bagi golongan-golongan terpelajar. Kenapa? Kebebasan mengakses ilmu pengetahuan serta informasi sangat-sangat terbuka. Cukup jari saja yang bertindak di atas permukaan layar smartphone. Semua akan mudah terakses, dan justru kemudahan inilah yang membuat golongan terpelajar Indonesia semakin berkapasitas dan berkualitas. Bila hal itu terjadi, konsep-konsep pembangunan yang anti penindasan akan tercipta, solidaritas semakin mekar, analisis sosial akan semakin tajam, dan perlawanan terhadap kesenjangan akan semakin cepat dilakukan.
Namun, kenyataannya, hanya sebagian pemuda yang nampak menjalankan tradisi intelektual tersebut. Mereka berorganisasi, membentuk gerakan-gerakan untuk menyuarakan kemiskinan, kelaparan, dan ketidak adilan. Merka kerap melangsungkan perang dengan penguasa melalui orasi-orasi, forum-forum debat, dan tulisan-tulisan mereka.
Bila hanya ada sebagian, sebagian lagi kemana?
Mereka biasanya didapati sedang sibuk memperbarui status pada media sosial, ada pula yang mengumpulkan tenaganya untuk berperang siang dan malam tanpa henti di dunia gim. Bahkan ada pula yang lebih menyukai untuk membahas idola-idola mereka, atau sibuk membuat video Tik Tok.
Sebenarnya tidak menjadi permasalahan, hiburan itu penting untuk pemuda, hanya saja diperlukan batasan agar tidak berlebihan.. “bukankah sesuatu yang berlebihan itu tidak baik?
Hari Kebangkitan Nasional dan Hari Peringatan Reformasi menurut kami sangatlah tidak layak bila hanya diperingati ala kadarnya saja, mungkin bentuknya hanya dalam quotes lewat media sosial. Kita perlu melakukan lebih dari itu, dengan cara merefleksikan dan mengaplikasikan apa yang mereka (pemuda) tinggalkan. Kita perlu belajar memaknai “merdeka berpikir” sebagai sebuah tradisi intelektual pemuda Indonesia. Seorang pemuda semangat yang berapi-api, rasa ingin tahu yang besar, fisik yang kuat, kesehatan yang prima, apa salahnya jika di hari-hari luang, kita sempatkan untuk membaca sejarah bangsa kita sendiri. Sesekali kita melihat penderitaan rakyat-rakyat kecil dan kaum yang termarjinalkan. Kita harus berani memberikan saran dan kritikan kepada sesuatu yang salah, mengambil tindakan nyata dan tidak sekedar bicara saja, banyak cara-cara intelektual yang mampu menjadi media untuk menyampaikan gagasan atau aspirasi masyarakat.
Kita tidak perlu bermuluk-muluk, sebagai pemuda hanya perlu merawat akal dan tradisi intelektual, menjaga idealisme agar tak tergadai, dan melawan lupa. Sebab, kata Kundera bahwa perjuangan yang abadi di dunia ini, adalah perjuangan melawan lupa.
Reinaldy Modanggu
Umar Labonsa
Aktif di Lembaga Pers Mahasiswa Bina Taruna Gorontalo Sekolah Tinggi Teknik (STITEK) Bina Taruna Gorontalo