Etika Komunikasi Generasi Z di Zaman Sekarang Beserta Contoh Kasus

Etika Komunikasi Generasi Z
Ilustrasi Etika Komunikasi (Sumber: Teknologi AI dari Meta AI)

Gen z adalah generasi yang sering dinilai “problematic”, “kurang beretika” dan “minim literasi” seolah menjadi segmentasi dan jastifikasi yang dimana banyak di zaman sekarang orang-orang menghakimi padahal nyatanya tidak semua gen z sesuai dengan apa yang ada dalam ekspetasi.

Memang pada nyatanya sering kali kita temui bahwa faktanya sering kali mengeluh pada tuntutan kerja mereka sehari-hari padahal hidup mereka juga butuh dibiayai tapi bukan berarti tidak ada satu hal yang bisa kita contoh dari gen z atau apakah artinya problematika tentang gen z malah menjelaskan bahwa generasi sebelumnya sudah pasti lebih baik dari gen z?

tidak juga

Setiap generasi memiliki karakteristik yang berbeda masing-masing ada hal yang sebenarnya bisa kita contoh dan kita pelajari terutama dari gen z “bahwa mereka generasi ini berani bersuara/berpendapat” berani menunjukan kreatifitas mereka dan tidak pernah ragu untuk mencoba hal baru yang mereka rasa bisa.

Bacaan Lainnya

Hal-hal ini belum tentu bisa dilakukan generasi sebelumnya maka penting bagi kita semua untuk tidak hanya selalu men-judge orang lain berdasarkan karakteristik generasi karena setiap orang tentunya memiliki keunikan, kepribadian masing-masing yang membuat setiap manusia berbeda walaupun berada di generasi yang sama.

 

Let’s Talk about Gen Z

Generasi Z, atau sering disebut Gen Z, mencakup individu yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012. Mereka tumbuh dalam era digital yang serba cepat, di mana internet dan media sosial menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari.

Kemajuan teknologi ini membawa berbagai kemudahan dalam berkomunikasi, namun juga menimbulkan tantangan terkait etika komunikasi. Dalam artikel ini, saya akan membahas pandangan pribadi mengenai etika komunikasi Gen Z di era digital saat ini, disertai dengan contoh kasus viral yang relevan.

 

Keunikan Gaya Komunikasi Gen Z

Komunikasi Gen Z sangat dipengaruhi oleh teknologi dan media sosial. Mereka lebih nyaman berkomunikasi melalui teks, emoji, meme, dan video pendek dibandingkan dengan percakapan langsung. Platform seperti TikTok, Instagram, Twitter, dan WhatsApp adalah sarana utama mereka untuk berinteraksi.

Dalam komunikasi ini, Gen Z sering mengadopsi gaya yang santai, to the point, bahkan terkadang sarkastik. Bahasa yang digunakan pun sering kali dipenuhi dengan istilah slang yang hanya dimengerti oleh kelompok mereka.

Namun, di balik keunikan ini, muncul tantangan dalam menjaga etika komunikasi. Misalnya, banyak dari mereka yang lebih fokus pada kecepatan berbagi informasi dibandingkan memastikan akurasi dan dampak dari informasi tersebut.

Penyebaran berita palsu (hoaks) menjadi salah satu masalah besar yang dihadapi. Contohnya, selama pandemi COVID-19, banyak informasi yang tidak akurat tentang vaksin menyebar di kalangan Gen Z, baik melalui grup chat maupun media sosial. Hal ini menunjukkan perlunya literasi digital yang lebih baik untuk membantu mereka memahami tanggung jawab dalam menyebarkan informasi.

 

Contoh Kasus Viral: Penggunaan Bahasa Kasar di Media Sosial

Baru-baru ini, terjadi kasus viral di mana seorang remaja Gen Z menggunakan bahasa kasar dan tidak pantas dalam komentarnya di media sosial. Komentar tersebut ditujukan kepada seorang figur publik dan memicu reaksi keras dari netizen lainnya.

Banyak yang mengkritik perilaku remaja tersebut sebagai contoh kurangnya etika dalam berkomunikasi di dunia digital. Kasus ini menyoroti pentingnya pendidikan etika digital bagi generasi muda untuk mencegah perilaku serupa di masa depan.

 

Tantangan Etika dalam Komunikasi Digital

Meskipun kemudahan komunikasi digital menawarkan banyak manfaat, terdapat beberapa tantangan etika yang perlu diperhatikan oleh Gen Z:

1. Oversharing dan Privasi

Salah satu fenomena yang sering terjadi di kalangan Gen Z adalah oversharing, yaitu kecenderungan untuk berbagi terlalu banyak informasi pribadi di media sosial.

Mereka sering memposting tentang kehidupan sehari-hari, hubungan, atau masalah pribadi tanpa mempertimbangkan dampaknya di kemudian hari. Contoh kasus yang pernah viral adalah seorang remaja yang memposting video tentang konflik dengan orang tuanya.

Meskipun video tersebut mendapatkan banyak perhatian dan dukungan, ada juga kritik yang menyebutkan bahwa masalah keluarga seharusnya diselesaikan secara pribadi, bukan di ruang publik.

Oversharing ini tidak hanya berdampak pada privasi individu, tetapi juga membuka peluang untuk penyalahgunaan informasi oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.

Fenomena seperti “doxing” atau penyebaran informasi pribadi secara online tanpa izin adalah salah satu risiko yang sering terjadi akibat oversharing. Hal ini menunjukkan pentingnya edukasi tentang batasan antara apa yang seharusnya dibagikan dan apa yang seharusnya tetap menjadi privasi.

2. Cancel Culture dan Intoleransi

Budaya “cancel culture” juga menjadi salah satu isu yang terkait dengan etika komunikasi Gen Z. Cancel culture merujuk pada fenomena di mana seseorang atau sebuah institusi “dibatalkan” atau diboikot karena dianggap melakukan kesalahan, baik besar maupun kecil. Dalam banyak kasus, cancel culture dilakukan tanpa memberikan kesempatan bagi individu yang bersangkutan untuk menjelaskan atau memperbaiki kesalahan mereka.

Contoh kasus yang viral adalah seorang influencer muda yang dicancel karena unggahan lamanya yang dianggap tidak sensitif terhadap isu rasial.

Meskipun influencer tersebut telah meminta maaf secara terbuka, banyak netizen tetap menghujatnya dan menyerukan boikot terhadap kontennya. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana cancel culture membantu memperbaiki kesalahan atau justru menciptakan lingkungan komunikasi yang tidak toleran.

3. Cyberbullying dan Hate Speech

Cyberbullying dan ujaran kebencian (hate speech) adalah tantangan besar lainnya dalam etika komunikasi Gen Z. Sebagai generasi yang sangat aktif di media sosial, mereka sering menjadi target maupun pelaku komentar negatif.

Salah satu kasus tragis yang sempat viral adalah ketika seorang atlet muda mendapatkan hujatan massal di media sosial setelah gagal tampil maksimal dalam sebuah kompetisi internasional. Komentar negatif yang terus-menerus akhirnya memengaruhi kesehatan mental sang atlet, yang kemudian memutuskan untuk hiatus dari media sosial.

Kasus ini menunjukkan kurangnya kesadaran akan dampak emosional dari komentar yang dilontarkan secara online. Anonimitas yang diberikan oleh media sosial sering kali membuat orang merasa bebas untuk mengatakan apa saja tanpa mempertimbangkan perasaan orang lain. Hal ini menegaskan perlunya empati dan tanggung jawab dalam setiap komunikasi, baik secara langsung maupun online.

4. Penyebaran Hoaks dan Literasi Digital

Penyebaran hoaks adalah masalah lain yang sering kali melibatkan Gen Z. Meskipun mereka dikenal sebagai generasi yang tech-savvy, tidak semua dari mereka memiliki kemampuan untuk memverifikasi informasi sebelum membagikannya.

Contoh kasus yang relevan adalah viralnya berita palsu tentang perubahan kebijakan pendidikan di Indonesia. Informasi ini menyebar dengan cepat di media sosial, menyebabkan kebingungan dan keresahan di kalangan masyarakat.

Masalah ini menunjukkan pentingnya literasi digital dalam memahami cara memverifikasi sumber informasi dan memahami dampak dari penyebaran berita palsu. Pendidikan tentang literasi digital harus menjadi prioritas untuk memastikan bahwa Gen Z mampu menggunakan teknologi dengan cara yang bertanggung jawab.

Dampak Positif Komunikasi Gen Z

Di sisi positifnya, komunikasi Gen Z membawa banyak manfaat, seperti mendorong keberagaman melalui keterbukaan mereka untuk mendiskusikan isu-isu yang dulunya diabaikan. Inovasi dalam ekspresi seperti penggunaan meme, video pendek, dan bentuk komunikasi kreatif lainnya menunjukkan betapa dinamisnya cara mereka menyampaikan pesan.

Selain itu, Gen Z sering memanfaatkan platform komunikasi untuk memobilisasi gerakan sosial yang berdampak luas, seperti kampanye lingkungan dan kesetaraan gender. Contoh yang paling mencolok adalah gerakan #FridaysForFuture yang dimotori oleh anak muda dari berbagai belahan dunia untuk mendesak aksi nyata terhadap perubahan iklim.

Namun, di balik berbagai tantangan tersebut, komunikasi Gen Z juga memiliki sisi positif yang patut diapresiasi. Mereka sering menjadi pelopor dalam isu-isu sosial, menggunakan media sosial sebagai alat untuk membangun kesadaran dan solidaritas.

Contoh nyata adalah gerakan solidaritas yang muncul setelah bencana alam di Indonesia, di mana Gen Z berhasil menggalang dana dan bantuan dengan cara yang kreatif dan efisien. Hal ini menunjukkan bahwa ketika diarahkan dengan benar, potensi mereka dalam berkomunikasi dapat memberikan dampak besar bagi masyarakat.

Contoh kasus yang menggembirakan adalah gerakan penggalangan dana untuk korban bencana alam di Indonesia. Dengan menggunakan platform seperti Instagram dan TikTok, Gen Z berhasil mengumpulkan bantuan dengan cara yang kreatif dan efektif. Hal ini menunjukkan bahwa ketika diarahkan dengan benar, potensi komunikasi Gen Z dapat memberikan dampak besar bagi masyarakat.

Untuk menghadapi tantangan dalam etika komunikasi, diperlukan pendidikan yang lebih baik mengenai literasi digital dan nilai-nilai komunikasi yang bertanggung jawab. Sekolah dan institusi pendidikan dapat memainkan peran penting dalam mengajarkan bagaimana menggunakan media sosial secara bijak.

Selain itu, platform media sosial juga harus lebih proaktif dalam memoderasi konten dan memberikan panduan etika kepada penggunanya. Dalam konteks individu, setiap pengguna, termasuk Gen Z, perlu memahami bahwa kebebasan berekspresi selalu disertai tanggung jawab untuk menghormati hak dan perasaan orang lain.

Baca juga: Generasi Z dan Transformasi Komunikasi Budaya di Indonesia: Dari Tradisi ke Era Digital

 

Gen Z dan Kontribusi Positif untuk Masa Depan

Di balik tantangan tersebut, Gen Z memiliki banyak hal yang bisa ditawarkan untuk masa depan. Berikut adalah beberapa kontribusi positif mereka:

1. Inovasi Teknologi

Gen Z memiliki potensi besar dalam menciptakan inovasi teknologi. Banyak dari mereka yang sudah terlibat dalam pengembangan aplikasi, platform online, dan solusi berbasis teknologi lainnya. Misalnya, startup-startup yang didirikan oleh anak muda Gen Z sering kali menawarkan solusi kreatif untuk masalah-masalah yang dihadapi masyarakat.

2. Kesadaran Sosial yang Tinggi

Gen Z adalah generasi yang sangat peduli terhadap isu-isu sosial. Mereka menggunakan media sosial untuk membangun kesadaran tentang masalah seperti perubahan iklim, keadilan sosial, dan hak-hak minoritas. Gerakan seperti #FridaysForFuture, yang dipelopori oleh Greta Thunberg, adalah contoh nyata dari bagaimana Gen Z dapat memobilisasi massa untuk mendukung perubahan positif.

3. Keberanian untuk Berbicara

Salah satu kelebihan Gen Z adalah keberanian mereka untuk berbicara tentang topik-topik yang sering kali dianggap tabu oleh generasi sebelumnya. Mereka tidak ragu untuk membahas isu-isu seperti kesehatan mental, diskriminasi, dan ketidakadilan. Sikap ini membantu menciptakan dialog yang lebih terbuka dan mendorong perubahan sosial.

4. Kreativitas dan Kolaborasi

Dengan memanfaatkan teknologi, Gen Z mampu bekerja sama secara global. Mereka sering terlibat dalam proyek-proyek lintas negara, memanfaatkan platform digital untuk berkolaborasi dengan individu dari berbagai latar belakang. Kreativitas mereka terlihat dalam berbagai bidang, mulai dari seni hingga bisnis.

5. Dukungan untuk Kesehatan Mental

Dengan tekanan yang tinggi dari media sosial, diperlukan dukungan yang lebih baik untuk kesehatan mental Gen Z. Program-program yang fokus. Pada kesejahteraan emosional dan pengelolaan stes harus menjadi prioritas.

Upaya Meningkatkan Etika Komunikasi di Kalangan Gen Z

Untuk membangun budaya komunikasi yang lebih sehat, diperlukan upaya bersama dari individu, komunitas, dan institusi:

1. Pendidikan Literasi Digital:

Mengintegrasikan literasi digital dan etika komunikasi ke dalam kurikulum sekolah dapat menjadi solusi efektif. Program literasi digital yang dilakukan oleh beberapa komunitas pemuda di Indonesia telah berhasil mengedukasi siswa tentang pentingnya berpikir kritis sebelum membagikan informasi.

2. Penekanan pada Empati:

Pentingnya empati dalam komunikasi perlu ditekankan untuk mengurangi risiko cyberbullying dan hate speech. Memahami perspektif orang lain dapat membantu dalam berkomunikasi dengan lebih bijaksana.

3. Regulasi Media Sosial:

Platform media sosial harus lebih proaktif dalam menangani konten yang melanggar etika, sekaligus memberikan panduan kepada pengguna tentang komunikasi yang bertanggung jawab. Hal ini termasuk mekanisme pelaporan yang efektif dan edukasi tentang dampak perilaku online.

4. Peran Figur Publik dan Influencer:

Figur publik dan influencer perlu memberikan contoh yang baik dalam berkomunikasi. Seorang selebriti Indonesia yang aktif mengkampanyekan gerakan anti-cyberbullying telah memberikan dampak positif dalam menciptakan kesadaran kolektif di kalangan pengikutnya.

 

Simpulan

Sebagai generasi yang lahir dan besar dalam era digital, Gen Z memiliki pendekatan unik terhadap komunikasi. Mereka mampu mendobrak batasan tradisional, tetapi juga menghadapi tantangan dalam menjaga etika komunikasi yang sehat. Penting bagi kita semua untuk mendukung mereka dalam memahami dan menerapkan nilai-nilai yang menghargai keberagaman, empati, dan tanggung jawab, baik dalam dunia nyata maupun digital.

Pada akhirnya, komunikasi yang baik bukan hanya soal menyampaikan pesan, tetapi juga bagaimana kita memahami dan menghargai orang lain. Dengan kesadaran yang lebih besar akan etika, saya percaya bahwa Gen Z dapat menjadi pelopor perubahan positif dalam cara kita berinteraksi di era modern ini.

Dalam pandangan saya, Gen Z memiliki potensi besar untuk menjadi generasi yang membawa perubahan positif dalam cara kita berkomunikasi, baik di dunia nyata maupun digital. Namun, potensi ini hanya dapat terealisasi jika mereka juga memahami pentingnya etika dalam setiap bentuk interaksi.

Dengan pendekatan yang tepat, saya percaya bahwa mereka dapat menjadi contoh bagi generasi lain dalam menciptakan budaya komunikasi yang inklusif, empati, dan bertanggung jawab. Pada akhirnya, komunikasi yang baik bukan hanya tentang menyampaikan pesan, tetapi juga tentang membangun hubungan yang saling menghormati dan mendukung.

 

Penulis: Ni Ayu Laura Maharani
Mahasiswa Ilmu Komunikasi dan Bisnis Media, Universitas Ciputra Surabaya 

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses