Sejahterakan TNI Polri demi Tegaknya Hukum

Beragam kisah pilu kondisi  kehidupan TNI POLRI  dan keluarga mereka seolah hanya pemandangan biasa. Kiri kanan kita begitu mudah menyaksikan kondisi keluarga TNI POLRI jauh dari normal, tapi itu seakan hanya melintas dan dianggap biasa-biasa saja. Sebagian kita beranggapan, itu resiko pekerjaan yang menuntut pengabdian. Tapi karena hegemoniknya anggapan fatalistik di bangsa ini, maka keadaan yang harusnya merupakan tragedi kemanusiaan malah dianggap hal yang biasa-biasa saja.

Pemberitaan  sedang ramai, seorang anggota Direktorat Sabhara Polda Daerah Istimewa Yogyakarta Brigadir Dua, Muhammad Taufiq Hidayat (20) bersama ayah dan adiknya selama ini tinggal di sebuah kandang sapi di Dusun Jongke Tengah, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman. “Saya bersama ayah dan dua adik sudah dua tahun ini menempati bekas kandang sapi yang berukuran 4×7 meter.Itu dilakukan karena keadaan ekonomi keluarga yang kekurangan. “Harapan setelah menjadi anggota polisi ini, lambat laun dapat memperbaiki kondisi ekonomi keluarga, dan mengubah keadaan, bangunan kandang sapi yang sudah banyak rusak pada dinding dan bocor pada atapnya tersebut, tidak cukup untuk ditempatinya bersama ayah dan dua adiknya.

Kisah lain datang dari seorang anggota TNI. Setiap sore, jam 16.00 WIB hingga pukul 20.00 WIB, Kopral Agus (bukan nama sebenarnya) mangkal di kawasan Cawang. Dia memilih ngojek daripada menjadi beking atau mengawal pengusaha. Agus mengaku bahwa gaji sebagai kopral di TNI AD tidak besar. Setelah dipotong pinjaman dan cicilan sana-sini, rata-rata uang yang diberikan untuk keluarganya bahkan kurang dari satu juta. Kita mungkin terlalu berlebihan jika harus bandingkan nasib TNI POLRI dengan hidup para Polisi dan tentara di beberapa negara lain, maka kita akan tunjukkan betapa para penjahat yang mendekam dipenjara malah hidup jauh diatas TNI POLRI.

Fakta di atas mewakili kondisi riil kehidupan anggota TNI POLRI yang memilih tetap on the track, mencari kerja sampingan dan tidak mau melanggar hukum, namun realitas ini mengindikasikan jikalau warga negara yang mengabdi dan menjalankan tugas negara yang maha berat dan beresiko justru mendapat perlakuan yang  tidak manusiawi. Dibandingkan kehidupan para penjahat yang mendekam penjara di beberapa negara, malah hidup dengan jaminan kemewahan dan fasilitas seperti hotel bintang lima, para napi di Norwegia diberikan jaminan dan anggaran sehari-hari oleh APBN mereka kurang lebih 200 $/hari untuk setiap napi.  Namanya Penjara Halden, dilengkapi dengan fasilitas hiburan ‘tingkat tinggi’ seperti TV, sound system, kamar yang luas, perpustakaan yang lengkap, bar, dan bahkan jalur jogging! Di luar penjara, tersedia juga gedung tambahan bagi keluarga narapidana yang ingin berkunjung. penjara yang punya fasilitas mess kantor.

Penjara ini menawarkan pengalaman kehidupan yang menyenangkan daripada hidup sebagai napi. Pasalnya di dalam Halden Prison, ada studio, pusat kebugaran, dan ruangan khusus tempat keluarga yang berkunjung bisa menginap.  Penjara di Lothian Barat, Inggris, menyediakan fasilitas komputer, Play Station, televisi layar datar terkoneksi jaringan satelit, dan kamar mandi kering. Selain fasilitas yang tergolong mewah di dalam kamar tahanan, setiap narapidana juga mendapat makanan gratis dan gaji. Bahkan, ada bonus uang tambahan bagi mereka yang menunjukkan kelakukan baik di dalam penjara.

Austria, Leoben Justice Centre adalah salah satu penjara yang lengkap dengan pengadilan, kantor hakim, dan tentu saja tempat tinggal bagi narapidana. Di dalam penjara ada pula pusat kebugaran, kamar napi dengan televisi pribadi, dan fasilitas lain yang tidak kalah mewah. Biasanya penjara hanya sebesar kamar mandi, namun berbeda dengan penjara yang terletak di Austria, penjara yang bernama lengkap The Justice Center, Leoben ini memang pantas dijuluki penjara bintang lima. Dilihat dari bangunannya, penjara ini didesain dengan gaya minimalis. Jendela yang besar, penerangan yang cukup dan bentuk bangunan yang simpel. Penjara ini kelihatan seperti gedung kantor daripada penjara.

Perbandingan ini tentu akan sangat memilukan mengingat rumah atau asrama-asrama para penegak hukum kita, pelindung kita, pengayom kita, justru jauh tertinggal dengan fasiltas hidup para penjahat di penjara-penjara negara lain, berdinding tripleks, tinggal bersama keluarga mereka: berhimpitan dengan atap yang bolong sana sini. Dengan Gaji plus remunerasi sebesar USD 200 perbulannya yang setara uang makan sehari napi yang ada di Halden, Norwegia.

Doktrin pengabdian yang ditanamkan setiap hari pada anggota TNI POLRI bukannya jadi alat propaganda negara untuk mencabut hak dan kedaulatan mereka. Doktrin pengabdian dan kesetiaan TNI POLRI adalah kerangka dasar bagi mereka menjalankan tugas dan fungsinya dalam mengayomi, melayani dan melindungi serta mengakkan kehormatan segenap tumpah darah Indonesia. Jika TNI POLRI telah secara total menerima kewajibannya, maka negara pun harusnya demikian; menjalankan kewajibannya secara Total tanpa tawar menawar memberikan hak-hak kemanusiaan setiap Anggota TNI POLRI.

Negara semestinya unjuk diri sebagai ‘Sokoguru’ sistem pengabdian pada warga negara. Wajar ketika tingkat kesejahteraan TNI POLRI sangat rendah, maka mereka harus menghadapi paksaana dalam hidup. Ada anggota TNI POLRI yang harus tinggal di kandang sapi, menjadi tukang ojek, tukang pukul, security tempat hiburan, debt collector dalam banyak kasus, malah sering jadi korban debt collector, dan yang paling parah mereka harus korupsi untuk memenuhi tuntutan hidup.  Momentum Penetapan tersangka Calon KAPOLRI oleh KPK sebagai efek dari sistem gaji yang tidak manusiawi: tidak adanya jaminan hidup layak dan terhormat dari negara kepada anggota TNI POLRI akan menyulitkan negara  untuk mencari figur pemimpin POLRI yang bersih, karena jikalau asumsi mencari KAPOLRI harus bersih itu artinya, kriteria yang dicari adalah calon KAPOLRI MISKIN seperti HOEGENG sang Kapolri miskin legendaris. Atau mungkin kita akan susah menemukan anggota TNI POLRI yang berkarakter Humanis.

TNI POLRI sebagai Aparatur Negara yang dipandang sebagai alat Negara, dimiskinkan secara struktural, tidak memiliki hak hidup sejahtera berkecukupan dan bersanding sama tinggi dengan kelompok masyarakat lainnya. Stigma ini melekat kuat dalam konsepsi Negara yang meradang dan menjalar ke masyarakat. Belum lagi sikap fatalistik negara yang selalu berlindung di balik kekurangan anggaran negara yang pas-pasan. Ketiadaan sumber anggaran, menjadi alasan untuk menyeret TNI POLRI hidup dalam jerat kemiskinan. Malahan negara seringkali mengatasnamakan mayoritas masyarakat Indonesia yang masih di bawah garis kemiskinan dan fokus mensejahterahkan masyarakat, seakan-akan TNI POLRI bukan bagian warga negara. Negara tidak hanya berkelit dari tanggung jawab justru memperhadapkan Masyarakat Versus Masyarakat padahal TNI POLRI adalah Warga Negara juga. Sistem gaji  ini memposisikan negara menjadi penyumbang kemiskinan terbesar.  Padahal seluruh dunia tahu, bahwa kita, Negara Indonesia adalah Negara terkaya di dunia.

Bila membandingkan upah tukang cuci piring di beberapa Negara yang perjamnya adalah USD 15, setara Rp 200 Ribu, mereka hanya butuh bekerja sepuluh jam penghasilannya sudah melampaui TNI POLRI yang bekerja 24 jam sehari dengan resiko yang mengintai mereka. Disparitas penghasilan juga terjadi di dalam negeri. HSBC Expat menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara yang paling loyal terhadap para pekerja asing. Di Indonesia sebanyak 22 persen pekerja asing menerima pendapatan di atas 250.000 dolar Amerika Serikat atau sekitar Rp 3,9 miliar per tahun. Indonesia mengalahkan Jepang, yang hanya punya 13 persen dan China dengan 10 persen pekerja asing dengan gaji di atas 250.000 dolar AS. Hal ini kontras dengan kondisi TNI POLRI yang hanya di gaji 1,4 juta dan remunerasi kisaran Rp 700 ribu.

Kita mungkin terlalu jauh jika membandingkan kondisi hidup TNI POLRI dengan tentara atau polisi di negara-negara barat, tapi yang sangat terhina kalau ternyata; narapidana di negara-negara tersebut kualitas dan jaminan hidup mereka masih jauh lebih istimewa, Norwegia misalnya menganggarkan biaya hidup napi mereka hingga 200 USD perhari/napi dengan berbagai fasilias penjara yang sangat lux, sementara kita hanya bisa menggaji 200$/bulan anggota TNI POLRI dan tinggal di asrama atau tempat penampungan dinas yang berdinding tripleks bersama keluarga mereka. Maka menaikkan Rp 50 juta/bulan gaji TNI POLRI adalah sebuah keharusan untuk menjamin kesejahteraan mereka dan keluarganya secara komprehensif. Ini adalah tuntutan untuk kehormatan dan kemanusiaan setiap orang, setiap keluarga agar dapat tegak berdiri di Negara yang berdaulat ini.

Jikalau anak-anak bangsa yang telah merelakan seluruh hidupnya untuk negara malah diterlantarkan, nah, bagaimana lagi nasib anak-anak bangsa yang hidup diluar tanggungan Negara? Inilah secuil penampakannya: Pada akhirnya, kita harus berpikir ulang; jika kita telah berhasil membangun sistem politik sebagai sirkulasi kepemimpinan bangsa ini, maka saatnya kita mendorong perubahan sistem kemanusiaan yang dapat menjadi mainstream dalam membangun mental dan karakter bangsa ini. Kita tidak boleh berhenti pada sistem politik saja, tapi meminjam istilah Kampanye Jokowi ‘Revolusi Mental’ ini harus dimulai dari sistem yang dianut oleh mental negara yang masih menganut mental Kolonial. Dimana rakyat bekerja hanya diberi makan dan tempat tinggal namun tidak di berikan jaminan bagi keberlanjutan prestasi dan generasi.

Kita yakin, karena bangsa ini terbukti telah merintis sistem poltiknya yang dapat melampaui negara-negara yang lebih dulu berdemokrasi, maka kita pun dapat mendorong untuk melebihi sistem dan jaminan kemanusiaan  mereka. meminjam tagline Obama: Change We Believe!

Sebagaimana sistem politik kita bisa lebih maju dibanding bangsa lainnya, maka menaikkan Rp 50 juta/bln gaji TNI POLRI sebagai jaminan memajukan sistem kemanusiaan bangsa ini. Sehingga harapan untuk sederajat dengan bangsa lainnya bisa terwujud dalam semua aspek, bukan hanya sistem politiknya. Pandangan fatalistik kita akui sebagai kerikil perjuangan ini, di mana mayoritas masyarakat sudah terjebak untuk tidak membiarkan saudara-saudaranya menikmati manisnya Indonesia. Hanya karena alasan dia atau masih banyak yang lain masih miskin sehingga  TNI POLRI juga  tidak boleh. Itulah persepsi yang banyak kita temukan. Tapi kita ingatkan, jika negara dibiarkan tega menelantarkan TNI POLRI padahal totalitas hidupnya untuk bangsa dan negara, maka bagaimana mungkin kita menagih negara bertanggung jawab untuk hal-hal yang biasa-biasa saja.

Jikalau TNI POLRI miskin adakah kepastian masyarakat miskin saat ini akan Sejahtera. Standar yang berlaku saat ini bagi TNI POLRI tidak memungkinkan tumbuh berkembangnya mental positif, sistem gaji kitalah yang anti atau tidak mengakui spiritualitas sebagai kebutuhan manusia sehingga tidak memungkinkan TNI POLRI dapat mengembangkan jiwa dan spiritualitas mereka. TNI POLRI sudah dihimpit oleh tugas-tugas kontitusional yang maha berat: memberikan rasa aman, melindungi segenap tumpah darah Indonesia adalah tugas yang hampir tidak punya batasan. Ukuran tugas mereka sangat abstrak, sehingga tekanan tugas yang dahsyat ini tentu mereka harus dilindungi dan dijamin. Dilindungi seluruh aspek kemanusiaan  dan jaminan itu harus kongkrit, terukur oleh negara. Nah, seandainya ada media lain selain gaji, sebagai wujud jaminan balasan penghargaan, tentu kita bisa memilih, tapi hampir tidak ada sarana alternatif yang  kongkrit untuk menunjukkan penghargaan itu kecuali hanya lewat Menaikkan Gaji TNI POLRI dan menyatakan bahwa: mereka adalah manusia-manusia  berharga bagi bangsa dan negara.

Tuntutan KITRA berlandaskan Pancasila, UUD NRI 1945. Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia. Standar Gaji saat ini hanya melanggar HAM. Nominal gaji saat ini tidak satu pun sila dari Pancasila yang bisa dipenuhi. TNI POLRI hanya ratusan ribu gerombolan pengangguran berseragam, karena sebenarnya mereka kelompok paling rentan yang tidak punya penghasilan serta  jaminan masa depan keluarganya.

Standar dan sistem gaji kolonial yg masih menjerat bangsa inilah yang merusak sejarah kita. Buktinya, masih banyak yang mau mengabdi tanpa pamrih, tapi sistem perbudakan menciptakan anggota TNI POLRI perusak yang jumlahnya semakin massif, sementara yang baik-baik dan ingin untuk baik, nyaris punah. Sebab, sistem gaji adalah sumber penghancuran mental dan moralitas anak-anak  bangsa yang berprofesi sebagai TNI POLRI.

Kita masih punya kesempatan membentuk sistem Gaji yang dapat mengakomodasi seluruh aspek kebutuhan kemanusiaan. Kita mungkin tidak bisa menjamin; kalau gaji Rp 50 juta/bulan bagi seluruh anggota TNI POLRI akan baik, yang bisa kita pastikan bahwa sistem dan kenaikan Rp 50 juta/bulan gaji, kita menutup peluang bagi mereka untuk melakukan penyimpangan sembari mendorong berkembangnya mental positif dan suburnya spiritualitas dalam diri mereka.

M. RIDHA
Koordinator Nasional KITRA TNI Polri
(Koalisi Untuk Kesejahteraan TNI Polri)

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI