Mereduksi Kecemasan dengan Menggunakan Teknik Desensitisasi Sistematis akan Serangan Asma pada Siswa SMK Negeri 1 Pulau Punjung

Asma
Ilustrasi: istockphoto

Abstract

The principle of Guidance and Counseling services is that services are intended for all learners/students and are non-discriminatory. Guidance is given to all learners/students, both those who have no problems or those who have problems.

Asthma is a multifactorial disease with a clinical course that varies in each child and can change from time to time. Asthma cannot be cured, but it can be controlled so that the symptoms do not occur frequently.

Communication, information, and education to parents are important keys to achieving rapid asthma control.

Bacaan Lainnya
DONASI

Teachers as parents for students when students are at school should understand the development of the condition of their students, both physical and psychological development, including the condition of students with asthma.

The condition of students who experience health problems can be monitored regularly, so that their learning is not too disrupted. The benefits of research theoretically as the development of behavioral therapy theory in the application of systematic desensitization counseling to students with asthma.

In discussing this topic, it can be concluded that the systematic desensitization counseling program can be used as an alternative guide in the development of the Guidance and Counseling service program at SMK Negeri 1 Pulau Punjung to help students with special health conditions

Abstrak

Prinsip layanan Bimbingan dan Konseling yaitu layanan diperuntukkan bagi semua peserta didik/siswa dan tidak diskriminatif. Bimbingan diberikan kepada semua peserta didik/siswa, baik yang tidak bermasalah maupun yang bermasalah.

Asma merupakan penyakit multi faktorial dengan perjalanan klinis yang bervariasi pada setia panak dan dapat berubah seiring perjalanan waktu. Asma tidak dapat sembuh, tetapi dapat dikendalikan agar gejala tidak sering muncul.

Komunikasi, informasi, dan edukasi kepada orang tua merupakan kunci penting untuk mencapai asma dapat terkendali secara cepat.

Guru sebagai orang tua bagi siswa ketika siswa sedang berada di sekolah sudah selayaknya perlu memahami perkembangan kondisi siswanya baik perkembangan fisik maupun psikis, termasuk diantaranya kondisi siswa penderita asma.

Kondisi siswa yang mengalami permasalahan kesehatan yang demikian bisa dipantau secara rutin, sehingga dalam belajarnya tidak terganggu betul.

Manfaat penelitian secara teoritik Sebagai pengembangan teori Therapy behavioral dalam aplikasi konseling desensitisasi sistematis terhadap siswa penderita asma.

Dalam pembahasan topik ini dapat disimpulkan bahwa dalam program konseling desensitisasi sistematis dapat dijadikan sebagai panduan alternatif pada pengembangan program layanan Bimbingan dan Konseling di SMK Negeri 1 Pulau Punjung untuk membantu siswa dengan kondisi kesehatan khusus.

Pendahuluan

Salah satu prinsip layanan Bimbingan dan Konseling yaitu layanan diperuntukkan bagi semua peserta didik/ siswa dan tidak diskriminatif.

Bimbingan diberikan kepada semua peserta didik/ siswa, baik yang tidak bermasalah maupun yang bermasalah; baik pria maupun wanita; baik anak-anak, remaja, maupun dewasa tanpa diskriminatif.

Siswa penderita asma merupakan siswa yang tergolong pada kelompok siswa normal, tetapi apabila siswa penderita asma mengalami serangan asma atau asma yang menetap maka dapat mengalami disabilitas.

Siswa yang memiliki gangguan kecemasan akibat serangan asma perlu mendapat pertolongan segera dari guru Bimbingan dan Konseling/ guru BK/ konselor sekolah sekolah, agar siswa dapat beraktivitas dengan nyaman kembali tanpa terganggu oleh kecemasan.

Tujuan penelitian untuk menghasilkan program konseling desensitisasi sistematis dalam mereduksi kecemasan akan serangan asma, pada layanan Bimbingan dan Konseling di SMK Negeri 1 Pulau Punjung, Kecamatan Pulau Punjung, Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat.

Tinjauan Literatur

Hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2013 melaporkan asma berpengaruh pada disabilitas dan kematian dini terutama pada anak usia 10-14 tahun.

Penderita asma memiliki peluang 1,7 kali lebih besar menyandang disabilitas psikologis dibandingkan dengan yang tidak asma, dan 1,4 kali lebih besar berpeluang menyandang disabilitas sosial (Agus Diono, Mujaddid, Franciscus, dan Didik Budijanto, 2014).

Guru Bimbingan dan Konseling diharapkan dapat mengenal lebih jauh tentang asma agar dapat membantu siswa dengan predisposisi asma jangan sampai berkembang menjadi asma.

Siswa penderita asma jangan sampai mengalami serangan asma, atau asma yang menetap (Michael Farrell, 2009).

Gangguan psikofisiologis, sepertiasma, hipertensi, sakit kepala, dan gangguan gastritis ditandai oleh simptom-simptom fisik yang nyata dapat disebabkan atau diperburuk oleh faktor-faktor psikologis.

Istilah gangguan psikofisiologis lebih banyak digunakan dibanding istilah sebelumnya yang lebih dikenal dengan istilah gangguan psikosomatik.

Sebelum diterbitkan DSM-IV-TR, gangguan psikofisiologis secara umum dianggap hanya mencakup beberapa penyakit (penyakit psikosomatik klasik sepertisakit maag/ sakit lambung, sakit kepala, asma, dan hipertensi).

Asma merupakan penyakit saluran resporatorik kronik yang sering dijumpai baik pada anak maupun dewasa. Prevalensi asma pada anak sangat bervariasi di antara negara-negara di dunia, berkisar antara 1–18%.

Meskipun tidak menempati peringkat teratas sebagai penyebab kesakitan atau kematian pada anak, asma merupakan masalah kesehatan yang penting. Asma dapat menurunkan kualitas hidup anak, membatasi aktivitas sehari-hari, menganggu tidur, meningkatkan angka absensi sekolah, dan menyebabkan prestasi akademik sekolah menurun.

Dampak lain, bagi keluarga dan sektor pelayanan kesehatan, asma yang tidak terkendali akan meningkatkan pengeluaran biaya (Rahajoe, Kartasasmita, Supriyatno, & Setyanto, 2016).

Prevalensi asma meningkat dari waktu ke waktu baik di negara maju maupun negara sedang berkembang. Di Indonesia prevalensi asma pada anak sekitar 10% pada usia sekolah dasar, dan sekitar 6,5% pada usia sekolah menengah pertama (Supriyatno,2005).

Hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada data morbiditas pasien asma rawat inap di ruang anak, Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, periode 01 Juli 2017 s.d. 30 September 2019, diperoleh datadari 109 orang pasien asma sebanyak  20 orang (18%) berusia antara 12-17 tahun (remaja)  terdiri atas 6 orang (5,5%) remaja pria, dan 14 orang (12, 84%) remaja putri.

Adapun prevalensi asma pada siswa SMK Negeri1 Pulau Punjung Tahun pelajaran 2020 -2021sebanyak 0,87% dari total jumlah siswa, yaitu 3 orang (0,09%), siswa kelas X, 1 orang (0,09%) siswa kelas XI, dan 8 orang (0,87%) siswa kelas  XII.

Asma merupakan penyakit multi faktorial dengan perjalanan klinis yang bervariasi pada berubah seiring perjalanan waktu. Asma tidak dapat sembuh, tetapi dapat dikendalikan agar gejala tidak sering muncul. Komunikasi, informasi, dan edukasi kepada orang tua merupakan kunci penting untuk mencapai asma terkendali (Rahajoe, Kartasasmita, Supriyatno, & Setyanto, 2016).

Guru sebagai orang tua bagi siswa ketika siswa sedang berada di sekolah sudah selayaknya perlu memahami perkembangan kondisi siswanya baik perkembangan fisik maupun psikis, termasuk diantaranya kondisi siswa penderita asma.

Serangan asma merupakan episode peningkatan (perburukan) dari gejala batuk, sesak nafas, wheezing, rasa dada tertekan, atau berbagai kombinasi gelaja-gelaja. Derajat serangan asma bermacam-macam, mulai dari serangan ringan, sedang, hingga serangan yang disertai ancaman henti napas (Rahajoe, Kartasasmita, Supriyatno, & Setyanto, 2016).

Serangan asma dapat terjadi secara berkala, kadang hampir setiap hari dan kadang setiap beberapa minggu atau bulan, dengan keparahan yang bervariasi. Seringkali serangan asma terjadi secara mendadak.

Penderita asma merasa dadanya sesak, tersengal-sengal, batuk, dan mengeluarkan lendir. Serangan parah merupakan pengalaman yang menakutkan dan dapat menyebabkan serangan panik (Carr, 1998,1999), yang memperparah asma (Davison, Neale, & Kring, 2018).

Pada awalnya asma disebabkan oleh infeksi atau alergi, tetapi stres psikologis dapat juga memicu serangan. Para pasien asma melaporkan banyak serangan yang dialami dipicu oleh emosi, seperti kecemasan (Rumbak, Kelso, Arhcart, & Self, 1993).

Menurut Hyland (dalam Davison, Neale, & Kring, 2018) ketegangan emosional mendahului suatu serangan asma, mengindikasikan emosi memang berperan dalam memicu serangan asma. Pada individu dengan asma, kecemasan dapat menjadi salah satu pemicu munculnya serangan asma.

Beberapa penelitian membuktikan asumsi. Penelitian yang dilakukan oleh Sari (2014); Tumigolung, dkk (2016); serta Putra, dkk (2016), menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat kecemasan dan tingkat kontrol asma.

Hasil analisis statistik menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara tingkat kecemasan dengan serangan asma pada penderita asma. Penderita asma dianjurkan dapat meminimalkan timbulnya kecemasan yang menjadi pencetus terjadinya asma.

Beck & Judith (1998) menjelaskan pikiran-pikiran negatif akan muncul sebagai akibat individu menilai diri tidak mampu dalam mengatasi hambatan atau tekanan yang datang.

Menurut Davison, Gerald C., Meale, & Kring (2018) terdapat hubungan antara sistem syaraf otonom (SSO) dan menyempit atau mengembang nya jalan nafas, serta hubungan antara SSO dan emosi, sebagian besar penelitian difokuskan pada pengalaman emosional yang kuat.

Pada dasarnya kecemasan adalah kondisi psikologis seseorang yang penuh dengan rasa takut dan khawatir, dimana perasaan takut dan khawatir akan sesuatuhal yang belum pasti akan terjadi. Kecemasan berasal dari bahasa Latin (anxius)dan dari bahasa Jerman (anst), yaitu suatu kata yang digunakan untuk menggambarkan efek negatif dan rangsangan fisiologis (Muyasaroh et al. 2020).

Menurut American Psychological Association (APA) dalam (Muyasaroh et al.2020), kecemasan merupakan keadaan emosi yang muncul saat individu sedang stress, dan ditandai oleh perasaan tegang.

Berdasarkan pendapat dari (Gunarso,n.d, 2008) dalam (Wahyudi, Bahri, and Handayani 2019), kecemasan atau anxietas adalah rasa khawatir, takut yang tidak jelas sebabnya.

Pengaruh kecemasan terhadap tercapainya kedewasaan, merupakan masalah penting dalam perkembangan kepribadian. Kecemasan merupakan kekuatan yang besar dalam menggerakan.

Baik tingkah laku normal maupun tingkah laku yang menyimpang, yang terganggu, kedua-duanya merupakan pernyataan, penampilan, penjelmaan dari pertahanan terhadap kecemasan itu. Jelaslah bahwa pada gangguan emosi dan gangguan tingkah laku, kecemasan merupakan masalah pelik.

Menurut Kholil Lur Rochman ( 2010 : 104) dalam (Sari 2020), kecemasan merupakan suatu perasaan subjektif mengenai ketegangan mental yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dari ketidakmampuan mengatasi suatu masalah atau tidak adanya rasa aman.

Perasaan yang tidak menentu tersebut padaumumnya tidak menyenangkan yang nantinya akan menimbulkan atau disertai perubahan fisiologis dan psikologis.

Anxiety atau kecemasan merupakan pengalaman yang bersifat subjektif, tidak menyenangkan, menakutkan dan mengkhawatirkan akan adanya kemungkinan bahaya atau ancaman bahaya dan seringkali disertai oleh gejala-gejala atau reaksi fisik tertentu akibat peningkatan aktifitas otonomik. (Suwanto 2015).

Pikiran yang membuat individu merasa khawatir dan disertai respon fisik (jantung berdetak kencang, naiknya tekanan darah, dan lain sebagainya).

Selain itu menurut pendapat dari (Sumirta et al. 2019) dalam penelitian yang berjudul “Intervensi Kognitif Terhadap Kecemasan Remaja Paska Erupsi Gunung Agung”, mengungkapkan bahwa kecemasan merupakan ketegangan, rasa tidakaman, dan kekhawatiran yang timbul karena akan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan, tetapi sebagian besar sumber penyebab tidak diketahui dan manifestasi kecemasan dapat melibatkan somatik dan psikologis.

Kecemasan menurut (Hawari, 2002) adalah gangguan alam perasaan yang ditandai dengan kekhawatiran yang mendalam dan berkelanjutan, tetapi belum mengalami gangguan dalam menilai realitas, kepribadian masih tetap utuh danperilaku dapat terganggu, tetapi masih dalam batas-batas normal  (Candra et al.2017).

Berdasarkan beberapa pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa kecemasanmerupakan suatu perasaantakut dan khawatir yang bersifat lama pada sesuatu yang tidak jelas (subjektif) atau belum pasti akan terjadi dan berhubungan dengan perasaan yang tidak menentu dan tidak berdaya.

Semua orang pasti mengalami kecemasan pada derajat tertentu, Menurut Peplau, dalam (Muyasarohetal.2020) mengidentifikasi empat tingkatan kecemasan, yaitu : Kecemasan ini berhubungan dengan kehidupan sehari-hari.

Kecemasan inidapat memotivasi belajar menghasilkan pertumbuhan serta kreatifitas. Tanda dan gejala antara lain : persepsi dan perhatian meningkat, waspada, sadar akan stimulus internal dan eksternal, mampu mengatasi masalah secara efektif serta terjadi kemampuan belajar.

Perubahan fisiologi ditandai dengan gelisah, sulit tidur, hipersensitif terhadap suara, tanda vital dan pupil normal. Kecemasan sedang memungkinkan seseorang memusatkan pada hal yang penting dan mengesampingkan yang lain, sehingga individu mengalami perhatian yang selektif, namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah.

Respon fisiologi: sering nafas pendek, nadi dan tekanan darah naik, mulut kering, gelisah, konstipasi. Sedangkan respon kognitif yaitu lahan persepsi menyempit, rangsangan luar tidak mampu diterima, berfokus pada apa yang menjadi perhatiaannya.

Kecemasan berat sangat mempengaruhi persepsi individu, individu cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spesifik, serta tidak dapat berfikir tentang hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi ketegangan.

Tanda dan gejala dari kecemasan berat yaitu: persepsinya sangat kurang, berfokus padahal yang detail, rentang perhatian sangat terbatas, tidak dapat berkonsentrasi atau menyelesaikan masalah, serta tidak dapat belajar secara efektif.

Pada tingkatan ini individu mengalami sakit kepala, pusing, mual, gemetar, insomnia, palpitasi, takikardi, hiperventilasi, sering buang air kecil maupun besar,dan diare. Secara emosi individu mengalami ketakutan serta seluruh perhatian terfokus pada dirinya.

Pada tingkat panik dari kecemasan berhubungan dengan terperangah, ketakutan, dan teror. Karena mengalami kehilangan kendali, individu yang mengalami panik tidak dapat melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan.

Panik menyebabkan peningkatan aktivitas motorik, menurunnya kemampuan berhubungan dengan oranglain, persepsi yang menyimpang, kehilangan pemikiran yang rasional.

Kecemasan ini tidak sejalan dengan kehidupan, dan jika berlangsung lama dapat terjadi kelelahan yang sangat bahkan kematian. Tanda dan gejala dari tingkat panik yaitu tidak dapat fokus pada suatu kejadian. Kecemasan sering kali berkembang selama jangka waktu dan sebagian besar tergantung pada seluruh pengalaman hidup seseorang.

Peristiwa-peristiwa atau situasi khusus dapat mempercepat munculnya serangan kecemasan. Menurut Savitri Ramaiah (2003) dalam (Muyasaroh etal.2020) ada beberapa faktor yang menunujukkan reaksi kecemasan, di antaranya yaitu: Lingkungan atau sekitar tempat tinggal mempengaruhi cara berfikir individu tentang diri sendiri maupun orang lain.

Hal ini disebabkan karena adanya pengalaman yang tidak menyenangkan pada individu dengan keluarga, sahabat, ataupun dengan rekan kerja. Sehingga individu tersebut merasa tidak aman terhadap lingkungannya.

Kecemasan bisa terjadi jika individu tidak mampu menemukan jalan keluar untuk perasaannya sendiri dalam hubungan personal ini, terutama jika dirinya menekan rasa marah atau frustasi dalam jangka waktu yang sangat lama.

Pikiran dan tubuh senantiasa saling berinteraksi dan dapat menyebabkan timbulnya kecemasan. Hal ini terlihat dalam kondisi seperti misalnya kehamilan semasa remaja dan sewaktu terkena suatu penyakit. Selama ditimpa kondisi-kondisi ini, perubahan-perubahan perasaan lazim muncul, dan inidapat menyebabkan timbulnya kecemasan.

Menurut (Patotisuro Lumban Gaol, 2004) dalam (Muyasarohet al. 2020), kecemasan timbul karenaa dan ya ancaman atau bahaya yang tidak nyata dan sewaktu-waktu terjadi pada diri individu serta adanya penolakan dari masyarakat menyebabkan kecemasan berada di lingkungan yang baru dihadapi.

Sedangkan, menurut Blacburn & Davidson dalam (Ifdil and Anissa 2016), menjelaskan faktor-faktor yang menimbulkan kecemasan, seperti pengetahuan yang dimiliki seseorang mengenai situasi yang sedang dirasakannya, apakah situasi tersebut mengancam atau tidak memberikan ancaman, serta adanya pengetahuan mengenai kemampuan diri untuk mengendalikan dirinya (seperti keadaan emosi serta fokus ke permasalahannya).

Disimpulkan serangan asma dapat menimbulkan pengalaman yang kurang menyenangkan bagi individu penderita asma. Pengalaman dapat memicu berkembangnya emosi negatif (seperti: perasaan khawatir kembali mengalami serangan asma atau bahkan muncul perasaan tidak berdaya).

Siswa penderita asma memiliki pikiran-pikiran negatif tentang serangan asma. Pikiran-pikiran dapat menjadi salah satu pemicu munculnya kecemasan akan serangan asma.

Menurut Hooley, dkk (2017) mereduksi gejala kecemasan secara umum dapat dilakukan dengan medikasi dan pendekatan perilaku kognitif. Medikasi adalah terapi yang diprogramkan oleh medis untuk mengobati masalah kesehatan atau masalah individu, dengan cara pemberian obat.

Konsumsi obat dimaksudkan untuk menghilangkan ketegangan, mengurangi simtom somatik lainnya, dan relaksasi. Medikasi membutuhkan waktu beberapa minggu sebelum efeknya terlihat.

Dasar untuk desensitisasi Sistematis berasal dari classical conditioning, Counterconditioning, dan reciprocal inhibition (dua respon yang saling bertentangan dan tidak mungkin terjadi secara berbarengan). Merupakan koreksi perasaan takut dan tenang yang dapat terjadi secara bersamaan (Seligman, 2003).

Menurut Lazarus (1961) asumsi-asumsi tentang efektifitas desensitisasi dalam mengatasi kecemasan, takut, dan fobia, mendorong banyak penelitian untuk menerapkan teknik desensitisasi dalam kelompok.

Fishman & Nawas; Graff; McLean & Loving; Laxer & Paul (dalam Richarddkk, 2011) meyakini pendekatan kelompok dalam proses desensitisasi (proses yang semula harusnya individual) akan efektif jika setiap anggota kelompok memahami metode desensitisasi sebagai penguasaan aktif yang dapat diperoleh dan digunakan sendiri.

Dengan kata lain, teknik desensitisasi dipertimbangkan tidak terbatas hanya untuk setting individual dan situasi pendekatan spesifik, karena yang terpenting adalah penguasaan keterampilan desensitisasi (relaksasi, menyusun hierarki kecemasan, self-talk, dan mempresentasikan imagery) oleh siswa.

Hasil penelitian secara umum yang dilakukan oleh Lehrer, Isenberg, & Hochron, 1993; Merzek, Schuman, & Klinnert, 1998 (dalam Davison, dkk., 2018) ditemukan tingginya tingkat ekspresi dan pengalaman emosional negatif pada para penderita asma.

Reaksi dalam bentuk ekspresi wajah terhadap berbagai stresor lebih kuat dan tidak membantu dalam wawancara, serta tidak mampu menyesuaikan. pandangan terhadap reaksi penderita asma menjadi salah satu dasar pertimbangan peneliti untuk menggunakan pendekatan behavioral dalam program intervensi pada penelitian, yakni konseling kelompok desensitisasi sistematis.

Beberapa penelitian lain yang telah membuktikan efektivitas teknik konseling Desensitisasi Sistematis, di antaranya penelitian yang dilakukan ol eh Azmarina, Rani (2015); Ahmad Masrur Firosad, Herman Nirwana, & Syahniar (2016); Amir Erwin & Halida Triadara (2017); Syahril AlHusin (2017); Sugiantoro (2018); serta Maya Sandana & Siti Rahmi (2019).

Penelitian membuktikan teknik desensitisasi Sistematis efektif untuk mereduksi fobia, kecemasan sosial, kecemasan siswa di sekolah, dan kecemasan dalam menghadapi ujian.

Bimbingan dan konseling dalam upaya membantu peserta didik untuk menjadi individu yang optimal memiliki layanan yang disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik. Layanan bimbingan dan konseling perkembangan meliputi empat komponen, yaitu (a) layanan dasar, (b) layanan responsif, (c) layanan perencanaan individual, dan (d) layanan dukungan sistem (Suherman, 2015).

Layanan responsif merupakan pemberian bantuan kepada individu atau peserta didik yang memiliki masalah dan kebutuhan khusus yang memerlukan pertolongan guru BK/ konselor sekolah dengan segera (Yusuf & Nurihsan, 2010).

Peserta didik yang memiliki gangguan kecemasan akibat serangan asma perlu mendapat pertolongan segera dari guru BK/ konselor Sekolah, agar pesertadidik dapat beraktivitas dengan nyaman kembali tanpa terganggu oleh kecemasan.

Salah satu tugas perkembangan yang harus diselesaikan siswa SMK yaitu aspek kematangan emosional. Kematangan Emosional merupakan kemampuan siswa dalam mengekspresikan dan mengelola emosi secara wajar dan tepat, menerima berbagai aspek yang ada pada diri serta memiliki karakter yang tangguh (Kemendikbud, 2021).

Salah satu target capaian layanan bimbingan dan konseling di SMK, siswa dapat mencapai kemampuan dalam mengekspresikan perasaansendiri secara bebas dan terbuka, tanpa menimbulkan konflik serta memiliki sikap postif, inisiatif, tangguh, dan disiplin.

Berdasarkan pandangan para ahli, ditarik simpulan penting bagi siswa penderita asma untuk memiliki keterampilan mereduksi kecemasan akan serangan asma.

Teknik desensitisasi sistematis diharapkan dapat meningkatkan keterampilan siswa dengan asma dalam mereduksi kecemasannya akan serangan asmasejak dini sehingga memiliki kesehatan mental yang baik guna meminimalisir terjadinya serangan asma kembali.

Dengan demikian, dipandang perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai konseling desensitisasi sistematis dalam mereduksi kecemasan akan serangan asma. Identifikasi dan Rumusan Masalah Penelitian Pada kamus besar Bahasa Indonesia, kata mereduksi berasal dari kata dasar “reduksi” mengandung arti pengurangan atau pemotongan.

Kata mereduksi diartikan sebagai membuat pengurangan atau pemotongan. Menurut Davison, Gerald C.,Meale, & Kring (2018), aktivitas mereduksi gangguan kecemasan umum merupakan suatu kegiatan mengurangi tingkat khawatir mengenai banyak aspek berbeda dalam hidup (termasuk kejadian

Kurang penting agar tidak menjadi kronis, berlebihan, dan tidak beralasan. Kecemasan akan serangan asma berkaitan dengan reaksi individu penderita asma terhadap stresor (keadaan atau peristiwa) serangan asma yang menyebabkan individu terpaksa mengadakan adaptasi atau penyesuaian diri untuk menanggulangi.

Individu yang tidak mampu melakukan adaptasi atau mengatasi stresor akan menunjukkan keluhan-keluhan berupa cemas ataudepresi. Perbedaan reaksi pada kecemasan yang dikeluhkan terhadap psikis yaitu rasa takut atau khawatir, sedangkan pada depresi yang dikeluhkan berupa kemurungan atau kesedihan (Maramis, W.F., 2001).

Desensitisasi Sistematis merupakan sebuah prosedur dimana klien (siswa) berulang kali mengingat, membayangkan, atau mengalami kejadian atau peristiwa yang membangkitkan kecemasan, dan menggunakan teknik relaksasi untuk menekan kecemasan yang disebabkan oleh peristiwa (Richmond, 2013).

1. Metode Konseling Desensitisasi Sistematis

Konseling Desensitisasi Sistematis bertujuan untuk mengubah kebiasaan siswa dalam cara hidup, dan mengganti dengan seperangkat kebiasaan yang produktif yang memungkinkannya untuk mengendalikan hidup.

Dengan kata lain, membantu siswa untuk belajar meninggalkan kebiasaan “buruk” dan mempelajari kembali berbagai kebiasaan baru, kebiasaan “baik” (sehat, produktif). Perilaku kemungkinan besar mirip dengan yang dinikmati ketika dapat menjalani hidup tanpa dihambat oleh kecemasan, panik, atau fobia.

Pada konseling banyak dilakukan intervensi perilaku, namun ada juga rekonstruksi kognitif dalam menghilangkan pernyataan diri negatif untuk membantu siswa mencapai tujuan kembali ke kehidupan normal, tanpa hambatan dan oleh fobia (Rhona M. Fear, 2018).

2. Persoalan yang terjadi pada siswa yang mengalami serangan asma pada siswa saya di sekolah sehingga tergerak saya untuk melakukan pebelitian dengan Teknik yang tepat.

Siswa SMK yang memiliki gangguan kecemasan akan serangan asma dapat diidentifikasi sebagai siswa yang mengalami permasalahan dalam upaya penyelesaian tugas perkembangan remaja aspek kematangan emosi, dan dipandang perlu mendapatakan layanan guru BK/Konselor sekolah.

Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dipaparkan, maka rumusan masalah dalam penelitian yaitu: bagaimana penerapan teknik desensitisasi sistematis pada layanan Bimbingan dan Konseling di SMK Negeri 1 Pulau Punjung untuk mereduksi gejala kecemasan akan serangan asma?

Rumusan permasalah dijabarkan ke dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut: Seperti apa profil karakteristik kecemasan akan serangan asma pada siswa SMK Negeri 1 Pulau Punjung Tahun pelajaran 2022-2023.

Bagaimana desensitisasi sistematis untuk mereduksi kecemasanakan serangan asma pada layanan bimbingan dan konseling di SMK Negeri 1 Pulau Punjung Tujuan umum penelitian yaitu menghasilkan program konseling pada layanan Bimbingan dan Konseling di SMK Negeri 1 Pulau Punjung, untuk Mereduksi Kecemasan akan serangan Asma dengan teknik Desensitisasi sistematis.

Tujuan khusus dari penelitian ini menghasilkan fakta empirik tentang: Profil karakteristik kecemasan akan serangan asma pada siswa SMK Negeri 1 Pulau Punjung Tahun pelajaran 2022-2023. Rumusan program konseling desensitisasi sistematis dalam mereduksi kecemasan akan serangan asma pada layanan Bimbingan dan Konseling di SMK Negeri 1 Pulau Punjung.

Manfaat penelitian secara teoritik Sebagai pengembangan teori Therapy behavioral dalam aplikasi konseling desensitisasi sistematis terhadap siswa penderita asma.

Manfaat penelitian secarapraktis Program konseling desensitisasi sistematis dapat dijadikan sebagai panduan alternatif pada pengembangan program layanan Bimbingan dan Konseling di SMK Negeri 1 Pulau Punjung untuk membantu siswa dengan kondisi kesehatan khusus.

1. Teori Behavioristik

Sesuai judul tersebut, tingkah laku yang diamati yang diharapkan dari siswa adalah peningkatan dalam Mereduksi Kecemasan pada diri siswa.

2. Teori Kognitivistik

Teori kognitivistik memfokuskan pada pengorganisasian Teknik Therapy Desensitisasi Sistematis sehingga dapat Mereduksi Kecemasan yang dialami siswa secara cepat dan tepat.

Tujuannya adalah untuk mengaktifkan kemampuan berpikir peserta didik melalui panca inderanya sehingga Teknik Therapy baru  dapat mereduksi kecemasan dengan cepat dan tepat sehingga tidak sampai pada tingkatan kecemasan yang lebih tinggi lain dan berlanjut pada asma.

Berdasarkan judul penelitian tersebut ada tindakan pengorganisian Teknik Konseling secara sistematis dengan mengunakan Therapy desensitisasi  dengan memanfaatkan Konselor menjadi perantara  yang memudahkan siswa dalam mereduksi Kecemasan saat terjadi

3. Teori Kontruktivistik

Menurut teori konstruktivistik, yang menjadi dasar siswa memperoleh pengetahuan adalah karena keaktifan siswa itu sendiri.

Sebab itu dalam Layanan Bimbingan dan Konseling harus dirancang dan dikelola sedemikian rupa oleh Konselor sehingga mampu mendorong siswa mengorganisasi pengalamannya sendiri menjadi pengetahuan yang bermakna. Karena butuh pengetahuan oleh Konseli/Klien untuk memahami Teknik Model Therapy yang tepat dalam mereduksi Kecemasan.

Berdasarkan Judul tersebut, siswa diberikan pemahaman dengan menggunakan Teknik Therapy Desensitisasi Sistematis yang bisa mereka Pelajari bersama Konselor dan bisa dilakukan praktek mereduksi kecemasan sendiri oleh siswa bila terjadi kecemasan.

METODE KONSELING Desensitisasi yang digunakan dalam Mereduksi Kecemasan sangat bermanfaat bagi siswa yang terserang kecemasan secara tiba-tiba.

4. Teori Konektivitas

Teori konektivitas adalah teori pembelajaran yang mengemukakan bahwa  melibatkan interaksi antara individu dan lingkungannya yang kompleks, dinamis dan saling terkait. Teori ini bagaimana individu membangun pengetahuan dalam Mereduksi Kecemasan atau keterampilan baru dengan orang lain dan teknologi (Model Therapy).

Berdasarkan Tesis yang berjudul Mereduksi Kecemasan dengan teknik Desensitisasi Sistematis akan serangan Asma pada Siswa SMK Negeri 1 Pulau Punjung, diharapkan Therapy Desensitisasi sistematis menjadi salah satu cara ampuh untuk mereduksi Kecemasan Siswa sehingga siswa tidak sampai pada serangan Asma.

Kesimpulan

Siswa yang memiliki gangguan kecemasan akibat serangan asma perlu mendapat pertolongan segera dari guru Bimbingan dan Konseling/guru BK/konselor sekolah sekolah, agar siswa dapat beraktivitas dengan nyaman kembali tanpa terganggu oleh kecemasan.

Tujuan penelitian untuk menghasilkan program konseling desensitisasi sistematis dalam mereduksi kecemasan akan serangan asma, pada layanan Bimbingan dan Konseling di SMK.

Prosedur penelitian menggunakan desain Research and Development meliputi tahapan: (1) Studi Pendahuluan, tujuannya untuk menganalisa kebutuhan akan program konseling desensitisasi sistematis dalam mereduksi kecemasan akan serangan asma; dengan melakukan studi pustaka dan survey lapangan serta membuat desain awal model; (2) Pengembangan draft model, bertujuan untuk mengembangkan desain awal dan melihat keterlaksanaan model yang diajukan, dengan melakukan uji coba model secara terbatas.

Hasil penelitian menunjukkan: (1) profil tingkat kecemasan akan serangan asma pada siswa SMK Negeri 1 Pulau Punjung berada pada kategori tingkat kecemasan sedang; (2) rumusan program konseling desensitisasi sistematis dalam mereduksi kecemasan akan serangan asma dapat dilihat dari terlaksananya layanan bimbingan dan konseling di SMK melalui strategi konseling kelompok yang digunakan pada sesi membangun hubungan baik, menyusun hierarki kecemasan, latihan relaksasi, refleksi dan evaluasi, serta strategi konseling individual pada sesi desensitisasi yaitu mencakup proses paparan, imagery & relaksasi (jika siswa mengalami kondisi tegang pada saat proses paparan dan imagery).

Penulis: 

Ratna Wijayanti, S.Pd., Kons. (2203071002)
Mahasiswa S2 Teknologi Pendidikan Universitas Dharmas Indonesia

Editor: Ika Ayuni Lestari     

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Daftar Referensi

ABKIN. (2018). Kode Etik Bimbingan Dan Konseling Indonesia. Yogyakarta:- Alwisol. (2017). Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press.

Amirav, Israel., dan Newhouse, Michael T. (2020). Astha And COVID-19: In Defense Of Evidence-Based SABA. Journal of Asthma And Allergy. https://www.dovepress.com/by:114.122.102.216

Anastasi, Anne. Dan Urbina, Susana. (2017). Tes Psikologi. Jakarta: Permata Puri Media

Apter, J. T., & Allen, L. A. (1999). Buspirone: Future Directions. National Library of Medicine, 19(1), 86-93.

Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Azmarina, Rani (2015), Desensitisasi Sistematis Dengan Dzikir Tasbih Untuk Menurunkan Fpbia Spesifik. Jurnal Humanitas, 12(2), 90-104. Doi:10.26555/humanitas.v1212.3836.

Azwar, Saifuddin. (2016). Konstruksi Tes, Kemampuan Kognitif. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Azwar, Saifuddin. (2017). Dasar-Dasar Psikometrika, Edisi 2. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Azwar, Saifuddin. (2018). Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Badrujaman, Aip. (2019). Teori dan Aplikasi Evaluasi Program Bimbingan dan Konseling. Jakarta: PT. Indeks

Barlow, D. H., Hayes, S. C., & Nelson, R. M. (1984). The Scientist Practitioner: Research and Accountability in Clinical and Educational Settings. New York: Pergamon.

Berti Tilarso. (2005). Sehat dan Bugar Sepanjang Usia dengan Senam. Semarang: Seminar dan Lokakarya.

Borg, W.R and Gall, M.D. (2003). Educational Research: An Introduction 4 th Edition. London: Longman Inc.

Borkovec, T. D., Alcaine, O. M., & Behar, E. (2004). Avoidance Theory of Worry and Generalized Anxiety Disorder. In R. G. Heimberg, C. L. Turk, & D. S. Mennin (Eds.), Generalized anxiety disorder: Advances in research and practice (pp. 77–108). The Guilford Press.

Borkovec, T.D., & Whisman, M.A. (1996). Psychosocial Treatment For Generalized Anxiety Disorders.171-199. Washington, DC: American Psychiatric Association.

Borkovec, T.D., & Roemer, L. (1994). Generalized Anxiety Disorder. In M. Hersen & R.T. Ammernan (Eds). Handbook Of Prescriptive Treatments For Adults, 261-281. New York : Plenum.

Borkovec, T. D., & Mathews, A. M. (1988). Treatment of Nonphobic Anxiety Disorders: A Comparison of Nondirective, Cognitive, and Coping Desensitization Therapy. Journal of Consulting and Clinical Psychology, 56(6), 877–884. https://doi.org/10.1037/0022-006X.56.6.877.

Colledge, Ray. (2002). Mastering Counseling Theory. New York: Palgrave Macmillan.

Cotugno, J.A. (2009). Group Interventions For Choldren With Autism Spectrum Disorders. London: Jessica Kingsley Publishers Counselor Recordings And Tests (Box 6184, Nashville, TN 37212)

Creswell, Jhon, W. (2012). Research Design: Qualitative And Quantitative Approach. California: Sage Publication.

Crits-Christoph, P., Connolly, M. B., Azarian, K., Crits-Christoph, K., & Shappell,

S. (1996). An Open Trial of Brief Supportive-Expressive Psychotherapy in the Treatment of Generalized Anxiety Disorder. Psychotherapy: Theory, Research, Practice, Training, 33(3), 418–430. https://doi.org/10.1037/0033- 3204.33.3.418

Crosby, F. J. (1976). A Model of Egoistic Relative Deprivation. Psychological Review, 85-113.

Dadang Hawari. (2006). Manajemen Stress Cemas dan Depresi. Edisi 2. Jakarta: Balai penerbit FKUI.

Davison, G. C., & Valins, S. (1969). Maintenance of self-attributed and drug- attributed behavior change. Journal of Personality and Social Psychology, 11(1), 25–33. https://doi.org/10.1037/h0027055

Departemen Pendidikan Nasional. (2014). Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Jakarta: Balai Pustaka.

Di Loreto, Adolph O. (2017). Comparative Psychotherapy An Experimental Analysis. E-book. New York: Routledge.

Diono, A. dkk. (2014). Situasi Penyandang Disabilitas. Jakarta: Kemenkes RI.

Djummond, Robert J., & Jones, Karyn D. ((2010). Assessment Procedures For counselors And Helping Professionals. New York: PEARSON

Erford, Bradley T., et. All. (2010). 35 Techniques, Every Counselor Should Know. New Jersey: Pearson Education, Inc.

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI