Wabah Corona Virus Disease (COVID-19) berhasil mencetak sejarah baru dalam peradaban Indonesia. Bagaimana tidak, jika dahulu berjuang dilakukan dengan angkat senjata. Saat ini, perjuangan menyelamatkan Indonesia dapat dilakukan dengan “rebahan” di rumah saja. Sepele memang, tapi begitulah cara yang dinilai paling efektif untuk mencegah penyebaran virus.
Sejak Presiden Jokowi berpidato tanggal 16 Maret 2020, selama 12 hari, jumlah pasien positif corona mencapai 1155 orang pertanggal 28 Maret. Tak hanya korban, melemahnya nilai rupiah, pembatasan tempat keramaian, pengusiran oleh petugas keamanan, hingga penerapan sistem pembelajaran daring diseluruh jenjang pendidikan menjadi dampak bahaya pandemi ini.
Bagi
mahasiswa semester akhir, penyebaran virus COVID-19 ini ibarat simalakama.
Bagaimana tidak, diakhir masa studinya, tak hanya menghadapi pandemik, tapi
juga akademik berupa Skripshit. Permasalahannya bukan pada konsep #DirumahAja,
tapi sistem yang tidak jelas alur dan bentukannya. Bila komunikasi dengan dosen
yang ditemui tanpa social distancing di kampus saja sering terjadi bias,
apalagi harus secara online. Maupun seandainya, okelah kita “sepakat” dengan
bimbingan online, platform dan regulasi yang ditawarkan pihak kampus toh juga tidak
jelas penampakannya.
Pada hakikatnya, bimbingan dan pembelajaran itu memiliki konsep yang berbeda. Tujuan pembelajaran, menurut Cak Bloom digolongkan menjadi 3 taksonomi: kognitif (ben pinter), afektif (ben gak kakean pola), dan psikomotorik (ben terampil). Nah, sejak tahun 1990-an diperkenalkan dengna konsep CBT, model pembelajaran online memang berkhasiat untuk meningkatkan kemampuan kognitif. Sehingga, seandainya perkuliahan diganti dengan sistem online, dengan sintak yang sesuai, takkan mempanguhi perkembangan peserta didik. Bahkan, Prof. Dr. I Nyoman Sudana Degeng, mengajarkan kita untuk bergerak “Dari keteraturan menuju kesemrawutan”. E-leaning merupakan bagian what should a learning environment provide.
Tapi masalahnya, konsep tersebut berbeda dengan bimbingan yang lebih menekankan pada “Interaksi”. Hanya mahasiswa tingkat akhirlah yang akan merasakan betapa berharganya sebuah interaksi, terkhusus dengan dosen pembimbing. Bagaimana rasanya dicampakkan, menebak-nebak ketidakjelasan, memahami tulisan model art scribbling, dan bersabar dalam mencari sosok yang dirindukan. Jelas, semua gejolak itu tidak akan bisa digantikan dengan sistem online. Bukannya tidak sepakat, jujur, jauh sebelum COVID-19 mewabah, sebagaian dari kami, mahasiswa akhir yang telah berjuang melawan ketidakjelasan juga telah memutuskan untuk melakukan social distancing. Tanpa diminta ataupun diintruksikan, social distancing dengan dosen pembimbing itu sudah hal yang biasa dilakukan, bapak ibu.
Sebagai kaum yang terdampak social distancing jauh sebelum COVID-19 mewajibkan untuk #DirumahAja, kebijakan yang dikeluarkan ibarat fatamorgana, asyik tapi menipu. Minimal, setidaknya kalau mau buat kebijakan tentang bimbingan online juga mempertimbangkan beberapa aspek. Setidaknya, prinsip interaksi sosial yang gagas oleh Soerjono Soekanto juga bisa terpenuhi. Karena, pada hakikatnya, mahasiswa akhir yang masih dalam tahap bimbingan membutuhkan kontak sosial dan komunikasi.
Dari awal memang yang menjadi masalah bukan pada medianya, tapi tidak adanya efek antara komunikan dengan komunikator, kalau demikian bagaimana kontak sosial bisa terpenuhi. Gampangnya, percuma dibuat online kalau bapak dan ibu dosen tidak memberikan tanggapan.
Mulai dari ketidakjelasan prosedur itulah, akhirnya muncul permasalahan kedua, penelitian. Saat ini, kondisi COVID-19 semakin membahayakan, dalam waktu yang singkat terjadi peningkatan jumlah korban mencapi 500%. Dampaknya, banyak sekolah yang mengganti pembelajaran melalui daring. Mahasiswa akhir dari jurusan pendidikan apalagi keguruan pasti kalang kabut. Bimbingan sulit, penelitian pun tak bisa.
Terakhir adalah dampak yang paling riskan, beresiko, dan menimbulkan kegelisahan tidak hanya dikalangan mahasiswa, tapi juga orang tuanya. Masalah itu adalah Uang Kuliah Tunggal (UKT). Aturan tentang UKT dimulai pada waktu Pak Nuh, melalui Permendikbud No. 55 Tahun 2013. Disana dijelaskan bahwa konsepnya adalah biaya kuliah tunggal yang ditanggung setiap mahasiswa berdasarkan kemampuan ekonominya, dan telah dikurangi biaya yang ditanggung oleh Pemerintah. Seiring pergantian mentri, direvisilah hingaa ke Permenristek-Dikti No. 39 Tahun 2017. Dijelaskan bahwa usulan UKT diusulkan oleh kampus kemudian ditetapkan oleh Mentri. Peraturan itu berlakukan mulai tanggal 27 Mei 2017 hingga ada peraturan baru yang menggantikan.
Ya begitulah, meskipun peraturannya jelas, tetap saja pihak birokasi kampus mengedepankan semboyan, “Kalau ada yang ribet, kenapa memilih yang mudah”. Mendapatkan rincian penggunaan UKT menjadi hal yang tabu. Pada prinsipnya, kuliah membayar iuran, tapi tidak jelas peruntukannya untuk apa. Membayar, tapi gak tau untuk apa.
Begitulah derita mahasiswa akhir di tengah Corona. Mau bimbingan tidak diberikan prosedur yang jelas. Hendak penelitian tapi seluruh akses tempat penelitian sudah ditutup. Dan ketika memilih untuk tetap melakukan social distancing, UKT semester depan fardu ain untuk dibayar.
Pada akhirnya, dengan #Rebahan dan #Dirumahaja tidak bisa menjadi kamu untuk jadi pahlawan secara instant sahabat. Semua orang terdampak COVID-19, begitupun mahasiswa semester akhir. Secara tidak langsung, juga akan berdampak pada perekonomian keluarga setelah wabah mereda. Sudah waktunya kita suarakan perubahan, #Bergerakdari #Dirumahsaja tentunya cukup dengan #Rebahansaja.
Fitrah Izul Falaq
Mahasiswa Universitas Negeri Malang