Pengaruh Cyberbullying di Media Sosial terhadap Kesehatan Mental Anak Remaja

Cyberbullying
Ilustrasi: istockphoto

Abstrak

Teknologi telah mengubah cara hidup manusia, terutama dalam hal komunikasi dan interaksi sosial. Jejaring sosial media berkembang pesat dengan akses yang mudah dan jangkauan yang luas. Hal tersebut membuat semua kelompok masyarakat begitu aktif dalam penggunaan media sosial dalam kehidupannya.

Selain untuk bersosialisasi dengan menggunakan media sosial juga menjadi wadah untuk mengekspresikan keadaan emosional dengan bentuk ekspresi kemarahan. hal tersebut terkadang disampaikan dengan cara yang tidak pantas, seperti cacian dan hinaan kepada orang lain, keadaan tersebut dapat disebut sebagai cyberbullying.

Maraknya kasus cyberbullying di Indonesia menunjukkan bahwa situasi tersebut sudah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Cyberbullying harusnya menjadi fokus untuk ditanggulangi.

Bacaan Lainnya

Dengan demikian, diharapkan adanya edukasi dan juga pengawasan kepada masyarakat maupun orang tua terhadap dampak cyberbullying di media sosial.

Kata kunci : Cyberbullying, Media Sosial, Kesehatan Mental.

Abstract

Technology has changed the way humans live, especially in terms of communication and social interaction. Social media networks are growing rapidly with easy access and wide reach. This makes all groups of society very active in using social media in their lives.

Apart from socializing, using social media is also a place to express emotional states in the form of expressions of anger. This is sometimes conveyed in an inappropriate way, such as insults and insults to other people, this situation can be called cyberbullying.

The rise of cyberbullying cases in Indonesia shows that the situation has reached an alarming level. Cyberbullying should be the focus to be addressed. Thus, it is hoped that there will be education and supervision for the public and parents regarding the impact of cyberbullying on social media.

Keywords: Cyberbullying, Social Media, Mental Health.

Pendahuluan

Era modern sekarang terdapat berbagai aspek kehidupan mengalami transformasi signifikan. Salah satu faktor utama yang mendorong perubahan tersebut merupakan perkembangan teknologi yang pesat. Teknologi diciptakan untuk membantu manusia, khususnya dalam bidang informasi.

Informasi dan teknologi memiliki hubungan yang erat dan saling melengkapi. Kemajuan teknologi mendorong akses informasi yang lebih mudah dan cepat. Pada gilirannya, membawa perubahan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat (Sitompul, 2018).

Teknologi informasi telah merevolusi cara berkomunikasi dan berbagi informasi. Teknologi telah membuka berbagai peluang untuk menjalin hubungan dan menyebarkan informasi dengan mudah (Warapsari, 2020).

Kemudahan akses dan anonimitas di dunia digital juga memicu berbagai permasalahan etika. Salah satu permasalahan etika berkaitan dengan menyebarkan konten negatif seperti hinaan, ujaran kebencian, dan berita bohong yang dapat merugikan pihak lain (Hafidz, 2021).

Maraknya kasus Cyberbullying di media sosial salah satunya disebabkan oleh sifatnya yang tidak kasat mata. Para pelaku tidak nampak secara fisik memberikan rasa aman saat melontarkan komentar negatif karena tidak melihat dampaknya secara langsung.

Hal tersebut kemudian ditiru oleh orang lain sehingga dapat menciptakan efek berantai yang memperparah situasi. Cyberbullying merupakan bentuk intimidasi dan pelecehan yang dilakukan melalui perangkat teknologi. Pelakunya berniat menyakiti korban dan memanfaatkan berbagai cara untuk mencapai tujuannya.

Keanoniman yang ditawarkan dunia digital menjadi salah satu daya tarik utama bagi pelaku cyberbullying. Kecenderungan rasa aman yang dirasakan para pelaku bullying dengan tanpa harus memandang tanggapan dari korban.

Cyberbullying di media sosial dapat memicu berbagai reaksi, baik dari pelaku maupun korban. Salah satu faktor bahwa pelaku ingin membalas dendam atas perlakuan yang diterimanya di masa lalu. Pelaku ingin merasa berkuasa dan dihormati dengan menindas orang lain.

Keinginan untuk dihormati juga faktor pelaku ingin mendapatkan pengakuan dan popularitas dengan melakukan cyberbullying.

Faktor-Faktor yang mempengaruhi perilaku pelaku dikarenakan keluarga yang overprotektif terhadap pelaku tidak terbiasa menghadapi konsekuensi dari tindakannya dan adanya ketidakmampuan mengendalikan emosi dan impulsnya.

Pembahasan

Keterkaitan Cyberbullying di Media Sosial terhadap Kesehatan Mental Anak Remaja

Dunia sedang mengalami transformasi sosial dan budaya sebagai akibat dari teknologi informasi (internet). Jika pengguna menggunakan internet dengan bijak maka akan banyak manfaat yang didapat. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ibarat dua sisi mata uang yang menandakan masa disruptif.

Tergantung pada bagaimana masyarakat bereaksi, kedua belah pihak akan menjadi peluang atau masalah. Potensi remaja di masa modern semakin matang menjadi individu multi-tasking yang memiliki passion terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi, berpikir kritis, percaya diri, dan memiliki jaringan pertemanan yang luas.

Internet mempunyai pengaruh yang baik, namun apabila disalahgunakan maka akan menimbulkan dampak yang buruk, salah satunya merupakan cyberbullying (Riswanto and Marsinun, 2020).

Menurut penelitian Ayu P. Q. (2018), remaja yang menggunakan media sosial untuk mengekspresikan diri, mengembangkan identitas,  menggambarkan diri, dan menyampaikan kesulitan pribadi. Prevalensi media sosial di kalangan anak muda telah mencampuradukkan isu-isu pribadi dan publik.

Bahwa tidak semuanya dapat di-posting di media sosial, pemilik akun seharusnya dapat menyeleksi segala sesuatu yang masuk ke dalam akun media sosialnya, serta tidak membagikan permasalahan pribadi yang menyebabkan masalah bagi dirinya.

Tingginya ancaman yang timbul dari keadaan cyberbullying, sangat penting untuk terus mengembangkan inisiatif guna memberikan edukasi kepada masyarakat. Para pengguna media sosial harus menggunakan media sosial dengan benar dan bijak serta untuk mengantisipasi segala potensi kerugian yang dapat merugikan orang lain.

Penyebaran rasa emosi yang identik dengan rasa benci dan marah melalui media sosial dianggap sebagai tindakan kekerasan dengan konsekuensi yang luas dan berbahaya. Cyberbullying yang dilakukan oleh para pelaku cenderung merasa lebih superior dibandingkan dengan korban.

Para pelaku melakukan rasionalisasi terhadap tindakan tersebut. Korban dari cyberbullying lebih banyak wanita, dikarenakan wanita lebih aktif media sosial.

Orang tua, guru, dosen, dan orang-orang yang berada di lingkungan korban perlu mewaspadai adanya perubahan terhadap perilaku seperti terlihat sedih, kepercayaan diri yang munurun, tidak mau beraktivitas, pola makan dan tidur yang tidak sesuai, serta enggan melakukan interkasi dengan orang sekitar.

Peranan orang tua harus mengawasi penggunaan media sosial oleh putra dan putri supaya dapat melakukan intervensi jika terjadi masalah. Komunikasi terbuka antara orang tua kepada anak-anaknya penting untuk mencegah cyberbullying.

Kesehatan mental korban cyberbullying dapat terpengaruh secara negatif (distress psikologis) yang berakibat seperti korban mengalami kecemasan sosial, stres emosional, penggunaan zat terlarang, indikasi depresi, serta keinginan dan upaya bunuh diri.

Korban cyberbullying sering mengalami perasaan keputusasaan, kegelisahan, melankolis, kelelahan, rendah diri, sulit berkonsentrasi, sedih, kecewa terhadap keadaan diri sendiri sehingga dapat mendorong kepada tindakan bunuh diri.

Suroya (2021) berpendapat bahwa Ada beberapa bentuk atau tindakan yang berkembang sekarang dalam hal cyberbullying. Cyberbullying dalam bentuk pencemaran nama baik. Pencemaran nama baik merupakan perilaku merugikan yang dilakukan secara daring dengan tujuan menghancurkan reputasi dan martabat seseorang.

Salah satu bentuk yang umum terjadi merupakan penyebaran informasi palsu atau menyesatkan tentang korban melalui platform online. Tindakan tersebut sering melibatkan penyebaran foto atau video memalukan yang dapat menciptakan dampak traumatis dan malu bagi korban.

Gosip negatif yang disebarluaskan dengan tujuan merusak karakter seseorang juga menjadi modus operandi dalam cyberbullying.

Cyberbullying dalam bentuk gosip atau hoaks melibatkan penyebaran informasi palsu atau hoaks tentang seseorang dengan niat untuk merusak reputasinya secara online. Gosip atau hoaks dapat mencakup berita palsu, klaim tidak berdasar, atau gosip negatif yang bertujuan untuk mempermalukan atau merendahkan karakter korban.

Cyberbullying dalam bentuk ancaman dan intimidasi. Ancaman dan intimidasi dapat mencakup penggunaan kata-kata kasar, penghinaan, atau pelecehan secara online dengan tujuan merendahkan martabat atau menciptakan ketakutan pada korban. Ancaman yang disampaikan melalui pesan teks, email, atau media sosial juga merupakan bentuk cyberbullying.

Cyberbullying dalam bentuk ancaman dan intimidasi. Cyberbullying dalam bentuk menyebar foto atau video pribadi tanpa izin, sering kali dikenal sebagai “revenge porn” atau “sextortion,” merupakan perilaku yang merugikan dan melibatkan penyebaran konten intim atau pribadi seseorang secara online tanpa izin.

Pelaku dapat mengunggah foto atau video yang mengekspos korban dalam keadaan yang sangat pribadi atau sensual dengan tujuan merendahkan dan merusak reputasi.

Cyberbullying dalam bentuk mengambil alih akun seseorang. Cyberbullying dalam bentuk pengambilalihan akun melibatkan upaya pelaku untuk menguasai akun korban dengan mengganti kata sandi, memberikan kontrol penuh atas akun tersebut.

Setelah berhasil, pelaku dapat mengubah informasi akun, menghapus konten, atau bahkan menyebarluaskan informasi palsu yang merendahkan melalui akun yang telah diretas.

Dampak dari tindakan tersebut sangat merugikan, mencakup kerugian finansial akibat potensi penipuan atau eksploitasi, kerugian privasi karena pelanggaran data pribadi, dan potensi kerugian reputasi karena penyebaran konten merugikan secara luas.

Dampak Cyberbullying di Media Sosial terhadap Kesehatan Mental Anak Remaja

Menurut Centers for Disease Control, korban cyberbullying memiliki peluang lebih besar kepada remaja yang mengalami masalah akademis. hal tersebut diperkuat dengan pendapat Sartana dan Afriyeni (2018).

Faryadi (2019) memberikan pandangan bahwa menunjukkan adanya keterkaitan antara cyberbullying dengan kapasitas emosional, dan prestasi akademik. Cyberbullying memiliki tiga dampak terhadap kinerja akademik remaja yaitu negatif, netral, dan baik.

Dampak tersebut ditentukan oleh keterampilan korban dalam mengatur emosi, jenis cyberbullying yang diterima, dan sistem pendukung korban. Korban yang menderita akibat yang tidak menguntungkan disebabkan oleh usia dan ketidakmampuan dalam mengendalikan emosi.

Korban yang prestasi akademiknya tidak dirugikan akibat dari berbagai jenis cyberbullying yang tidak ditujukan langsung kepada dirinya atau menimbulkan dampak negatif.

Prestasi akademik korban cyberbullying dapat terjaga bahkan meningkat, jika memiliki kemampuan untuk mengelola emosi dengan baik dan mendapatkan dukungan sosial yang efektif.

1. Dampak Psikologis

Penelitian yang dilakukan oleh Shultz, Heilman, dan Hart (2018) menemukan bahwa cyberbullying di Amerika merupakan bentuk kekerasan melalui media yang dilakukan dengan menyebarkan pesan yang dapat dilihat banyak orang dalam waktu singkat.

Saat cyberbullying terjadi, terdapat interaksi timbal balik antara pelaku dan korban, dengan pelaku yang memulai percakapan dalam 90% kasus dan menguasai 48% percakapan.

Semakin sering menggunakan media sosial, seseorang semakin berisiko mengalami cyberbullying. Hal tersebut sangat berbahaya terhadap generasi muda yang secara psikologis masih tidak stabil.

Cyberbullying biasanya terjadi karena keadaan hubungan yang buruk terhadap keluarga, teman dan pasangan. Buruknya hubungan dapat sebagai faktor untuk penyebab timbulnya cyberbullying melalui media sosial yang berupa tendensi kata yang mengancam ataupun memperolok secara langsung kepada korban.

Tindakan cyberbullying yang dilakukan melalui media elektronik mempunyai konsekuensi psikologis yang besar. Jika dibandingkan dengan penindasan tradisional, korban merasa rentan dan sendirian, serta menderita dampak jangka panjang (Notar, Padgett, dan Roden, 2018).

2. Dampak Psikososial

Berdasarkan temuan penelitian Safaria, Tentama, dan Suyono (2019), Cyberbullying mempunyai dampak psikologis yang merugikan bagi korbannya. Dampak cyberbullying bergantung pada seberapa sering cyberbullying terjadi, seberapa lama cyberbullying berlangsung, dan seberapa parah cyberbullying yang terjadi. Korban cyberbullying menghadapi masalah mental dan pola perilakunya.

Beran dkk. (Syah & Hermawati, 2018) menunjukkan bahwa korban cyberbullying memiliki pengalaman negatif seperti ditegur orang lain di dunia online, sehingga dapat mengakibatkan hilangnya kepercayaan diri, atau menjadi cyberbullying atau dirinya pernah menjadi korban. Ketika cyberbullying terjadi maka mengakibatkan korbannya menangis, merasa malu, kehilangan teman di sekolah, sedih, dan sulit tidur.

3. Dampak Akademik

Menurut temuan Ningrum F.S. dan Zaujatul Amna (2020), terdapat 177 (84,7 %) sampel yang merasa tidak terganggu proses pembelajaran dan merasa aman di sekolah, serta sebanyak 32 (15,3%) sampel merasakan sangat sakit hati, mengganggu pembelajarannya, dan merasa tidak nyaman di sekolah.

Menurut Smokowski, Evans, dan Cotter (2018), viktimisasi cyberbullying memberikan dampak yang merugikan bagi individu di lingkungan sekolah, yang mempengaruhi kapasitas individu selama berada di sekolahnya.

Individu yang menjadi korban cyberbullying kesulitan dalam konsentrasi terhadap keadaan yang dihadapi, menurut Beran dan Li (2018) kehidupan korban cyberbullying akan lebih menderita jika dia menjadi sasaran perlakuan cyberbullying secara rutin.

4. Dampak Fisik

Menurut temuan penelitian Triyono dan Rimadani (2019), korban cyberbullying mengalami berbagai dampak terhadap fisiknya yaitu penurunan kesehatan yang mengakibatkan sakit, kesulitan untuk tidur, nafsu makan berkurang, sehingga hal tersebut yang akan mengakibatkan dampak paling buruk yaitu terjadinya kematian pada korban.

Berdasarkan temuan penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa dampak fisik dari cyberbullying di media sosial pada remaja korban merupakan korban sulit mengontrol pikiran dan sikapnya terhadap apa yang dilakukan temannya sehingga menyebabkan korban merasakan hal yang tidak menyenangkan.

Dampak fisik, tergantung pada tipe kepribadian korban. Berpikir memungkinkan korbannya memiliki pikiran yang membebani sehingga merusak kesehatan fisiknya.

Upaya Penanganan Cyberbullying di Media Sosial terhadap Kesehatan Mental Anak Remaja

Cyberbullying yang terjadi di Indonesia tampaknya dianggap sebagai hal yang normal secara universal. Sehingga, diperlukan pengetahuan yang lebih luas mengenai pengaruh cyberbullying, sehingga masyarakat sadar bahwa permasalahan cyberbullying menjadi hal yang fundamental.

Orang tua harus memainkan peran penting dalam mencegah cyberbullying. Orang tua harus mampu mendidik anaknya mengenai pola perilaku di media sosial yang baik dan harus selalu mengawasi aktivitas media sosial anaknya.

Komunikasi terbuka antara orang tua dan anak diperlukan untuk mengetahui lebih jauh keadaan aktibitas media sosial anaknya. Hal tersebut penting karena banyak orang tua tidak menyadari bahwa anaknya sedang mengalami cyberbullying.

Jika seorang anak mengalami cyberbullying, orang tua harus memberikan dukungan tanpa syarat dan memberi tahu anak bahwa aman dan terlindungi (Rahayu, 2020).

Aktivitas media sosial yang tidak terkendali, serta muatan media soaial yang begitu plural akan memberikan pola pemikiran yang baru terhadap remaja sebagai pengguna terbanyak. Plural dan bebasanya dalam bersosilisasi dalam media sosial akan menyebabkan peningkatan kejahatan media sosial.

Maka, masyarakat dan kepolisian harus bekerja sama untuk mencegah atau mengurangi prevalensi cyberbullying di media sosial.

Meningkatkan pengetahuan agama supaya anak tidak mudah terpengaruh oleh lingkungan luar, menetapkan batasan waktu penggunaan media sosial oleh anak, dan mengontrol akun media sosial anak merupakan beberapa peran masyarakat dalam mencegah atau mengurangi cyberbullying di media sosial (Sakban dan Sahrul, 2018).

Jika dalam setiap lapisan masyarakat melihat adanya cyberbullying, maka hendaknya harus melaporkannya ke aparat penegak hukum seperti polisi.

Tugas polisi dalam rangka tindakan represif tehradap cyberbullying merupakan membimbing para pelaku cyberbullying supaya timbul penyesalan atas tindakannya sehingga menimbulkan efek jera supaya tidak mengulanginya kembali.

Kepolisian dapat melakukan upaya preventif seperti berkolaborasi dengan mahasiswa untuk melakukan sosialisasi terhadap bahaya cyberbullying. Berkerja sama dengan partai politik dalam mengedukasi kader partainya.

Para aparat penegak hukum menetapkan secara tegas pelaku cyberbullying akan diberikan hukuman berat dan mengadakan kompetisi terkait pencegahan cyberbullying dalam bentuk perlombaan ataupun outbond (Sakban dan Sahrul, 2018).

Pemerintah juga memainkan peran penting dalam mencegah dan menangani situasi cyberbullying. Ketegasan pemerintah dalam menerapkan sanksi terhadap pelaku cyberbullying yang berat. Jaminan terhadap kondisi yang aman untuk para korban supaya segera sembuh dari sakit psikis yang diderita selama menjadi korban cyberbullying merupakan tindakan yang harus dilakukan oleh pemerintah.

Komunikasi antara para korban dan pemerintah sebagai pelindung warga negara memberikan kewajiban pemerintah untuk menanggapi atau merespons keluhan atau perasaan yang disampaikan oleh masyarakat sesuai dengan kerangka hukum yang berlaku.

Penjaminan terhadap perlindungan pengguna media sosial secara khusus tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah direvisi dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Pasal 27 ayat (3) UU ITE mengatur bahwa, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan atau mentransmisikan supaya dapat diakses Informasi Elektronik atau Dokumen Elektronik yang mengandung muatan penghinaan atau pencemaran nama baik.”

Selain ancaman pidana yang tertera pada Pasal 27 ayat (3) UU Nomor 19 Tahun 2016 yaitu potensi pidana penjara empat tahun atau denda paling banyak Rp750.000.000 (Marsinun dan Riswanto, 2020).

Sanksi hukum yang dapat diberlakukan terhadap pelaku cyberbullying di media sosial, khususnya berdasarkan ketentuan Pasal 310 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal tersebut secara khusus mencakup individu yang melakukan serangan terhadap kehormatan dan nama baik orang lain dengan maksud supaya perbuatan tersebut diketahui oleh masyarakat umum.

Lebih rinci, Pasal 310 KUHP mengamanatkan bahwa pelaku cyberbullying yang menyerang kehormatan dan nama baik seseorang di media sosial dapat dihukum dengan sanksi penjara selama 9 bulan.

Hal tersebut menunjukkan bahwa hukum memberikan tanggapan yang serius terhadap tindakan yang merugikan dan merendahkan martabat seseorang dalam ranah digital.

Melalui pasal tersebut, legislator menekankan pentingnya melindungi kehormatan dan reputasi individu dari serangan yang dilakukan melalui media sosial (Oetary, 2021).

Pelaku yang secara sengaja menyebarkan informasi palsu, menghina, atau merusak nama baik orang lain di platform media sosial dapat dikenai sanksi pidana berupa penjara.

Sanksi penjara selama 9 bulan tersebut bertujuan untuk memberikan efek jera kepada pelaku cyberbullying, sekaligus menegaskan bahwa tindakan tersebut tidak dapat diabaikan dan berpotensi merugikan secara serius.

Namun, efektivitas dari sanksi tersebut tergantung pada penegakan hukum yang konsisten dan kesadaran masyarakat akan konsekuensi hukum dari tindakan cyberbullying di media sosial.

Pasal 45 Ayat 1 dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mengatur mengenai tindakan ilegal yang berkaitan dengan distribusi, transmisi, atau pembuatan Informasi Elektronik atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 27 Ayat (l) UU ITE.

Pasal tersebut menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan tindakan tersebut akan dikenai sanksi pidana.

Penjelasan pelanggaran pada Pasal 45 Ayat 1 UU ITE melibatkan tindakan distribusi atau transmisi atau pembuatan dapat diaksesnya informasi elektronik atau dokumen elektronik yang mengandung materi yang melanggar kesusilaan.

Kesusilaan tersebut mencakup aspek-aspek tertentu yang melibatkan norma-norma moral dan etika sosial. Pelanggar Pasal 45 Ayat 1 UU ITE dapat dikenai pidana penjara dengan kurungan paling lama 6 tahun atau denda maksimum sebesar Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah).

Hal tersebut menunjukkan keseriusan hukum terhadap tindakan ilegal yang berkaitan dengan muatan yang merugikan kesusilaan dalam ruang digital (Fathur Rohman, 2019).

Pasal 45B UU ITE menetapkan sanksi pidana bagi setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau upaya menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi, sebagaimana diatur dalam Pasal 29 UU ITE.

Pasal tersebut menekankan pelanggaran yang melibatkan penggunaan media elektronik untuk menyampaikan ancaman atau intimidasi kepada individu secara langsung.

Dalam konteks Pasal 45B UU ITE, pelanggaran melibatkan pengiriman informasi elektronik atau dokumen elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau unsur menakut-nakuti secara pribadi, sesuai dengan ketentuan Pasal 29 UU ITE.

Ancaman tersebut dapat melibatkan berbagai bentuk, termasuk ancaman terhadap keselamatan atau integritas fisik seseorang.

Pelanggar Pasal 45B UU ITE dapat dikenai sanksi pidana dengan kurungan penjara paling lama 4 tahun atau denda maksimum sebesar Rp750.000.000 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). Hal tersebut mencerminkan upaya hukum untuk melindungi individu dari ancaman atau intimidasi yang dilakukan melalui sarana elektronik.

Pasal tersebut tidak hanya bertujuan untuk menjamin keamanan dan perlindungan terhadap individu dari ancaman kekerasan secara elektronik tetapi juga memberikan sanksi yang sepadan sebagai deterrence. Sehingga masyarakat menghormati hak-hak individu dan tidak menyalahgunakan teknologi informasi untuk tindakan yang merugikan.

Penutup

Cyberbullying di media sosial memiliki dampak serius terhadap kesehatan mental anak remaja. Transformasi sosial dan budaya yang disebabkan oleh teknologi informasi, terutama internet, memberikan kontribusi besar terhadap munculnya cyberbullying.

Penggunaan internet yang tidak bijak dapat mengakibatkan dampak negatif, terutama di kalangan remaja yang aktif menggunakan media sosial. Para korban cyberbullying memiliki hak untuk menyampaikan perasaan kepada pemerintah, dan pemerintah diharapkan untuk menindaklanjuti sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Pentingnya edukasi masyarakat, terutama pengguna media sosial, untuk menggunakan platform tersebut dengan benar dan bijak juga ditekankan sebagai upaya pencegahan cyberbullying.

Dampak dari cyberbullying mencakup aspek psikologis, psikososial, akademik, dan fisik. Korban mengalami stres emosional, kecemasan sosial, dan bahkan memiliki risiko tinggi terhadap tindakan bunuh diri.

Sehingga, peran orang tua, guru, dosen, dan lingkungan sekitar sangat penting dalam mendeteksi perubahan perilaku korban dan memberikan dukungan yang diperlukan. Upaya penanganan cyberbullying juga perlu dilakukan secara kolaboratif antara berbagai pihak, termasuk orang tua, kepolisian, masyarakat, dan pemerintah.

Penekanan pada pendidikan, pengawasan penggunaan media sosial, pelaporan ke pihak berwajib, serta sanksi yang tegas terhadap pelaku cyberbullying menjadi langkah-langkah yang diusulkan untuk mengurangi prevalensi dan dampak negatif cyberbullying di kalangan remaja.

Pemberian sanksi pemerintah memiliki perangkat hukum yang telah ditetapkan untuk menanggulangi dan memberikan sanksi terhadap pelaku cyberbullying di media sosial. Dua undang-undang yang mencakup hal tersebut merupakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Dalam KUHP ketentuan soal cyberbullying dapat diterapkan Pasal 310, sedangkan dalam UU ITE Pasal 27 dan Pasal 45 dapat dijadikan dasar larangkan tindakan cyberbullying dan Sanksi yang diberikan.

Penulis: Ferdiansyah Saputra
Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Malang

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Ikuti berita terbaru di Google News

Daftar Pustaka

Ayun, P.Q. (2018). Fenomena   Remaja Menggunakan   Media   Sosial   dalam Membentuk Identitas. Channel Vol 2 No.2, Oktober 2018 hal 1-16 ISSN: 23389176.http://download.portalgaruda.org/article.php?article=374823&val=7244.

Azfa, S. (2021). Pengaruh Cyberbullying pada Kesehatan Mental Remaja, Prosiding Seminar Nasional Bahasa Sastra dan Budaya (SEBAYA) Ke-3, 329-338.

Hafidz, J. (2021). Cyberbullying,  Etika  Bermedia  Sosial,  dan  Pengaturan  Hukumnya. Jurnal Cakrawala Informasi,1(2), 15-32.

Hana,  D.  R.,  &  Suwarti,  S.  (2020).  Dampak  Psikologis  Peserta  Didik yang Menjadi  Korban Cyberbullying. Psisula: Prosiding Berkala Psikologi, 1, 20-28.

Marsinun, R., & Riswanto, D. (2020). Perilaku Cyberbullying Remaja di Media Sosial. Analitika: Jurnal Magister Psikologi UMA, 12(2), 98-111.

Omniyi, I., & Nakou. (2018). Bullying in Schools: Psychological Implications and    Counselling Interventions. Journal of Education and Practice, 4 (8): 2222-1735.

Oetary, Y. (2021). Kajian Yuridis terhadap Tindak Pidana dalam Aspek Perundungan Dunia Maya (Cyberbullying): Perspektif Hukum Pidana di Indonesia. e-journal Komunitas Yustisia Universitas Pendidikan Ganesha, 4  (3): 1045-1055.

Rahayu, F. S. (2020). Cyberbullying sebagai Dampak Negatif Penggunaan Teknologi Informasi. Journal of Information System, 8(1), 22-31.

Fathur, R. (2019). Analisis Meningkatnya Kejahatan Cyberbullying dan Hatespeech Menggunakan Berbagai Media Sosial dan Metode Pencegahannya. Seminar Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Komputer Nusa Mandir, 383-387.

Safaria, T., Tentama, F., & Suyono, H. (2019). Cyberbully, Cybervictim, and Forgiveness Among Indonesian High School Students. Turkish Online Journal of Educational Technology, 15(3), 40–48.

Sakban dan Sahrul (2018). Psychiatric Mental Health Nursing: Conceps of Care in Evidence-Based Practice. Philadelphia: F.A Davis Company.

Sitompul (2018). Media Sosial: Perspektif Komunikasi, Budaya, dan Sosioteknologi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Sukmawati, A., Puput, A. and Kumala, B. (2020). Dampak Cyberbullying pada Remaja di Media Social. Alauddin Scientific Journal of Nursing, 1(1), pp. 55–65.

Teasley M (2019). Cyberbullying di Kalangan Remaja. Journal Universitas Airlangga, 3(3):1-10.

Triyono, & Rimadani. (2019). Dampak Cyberbullying di Media Sosial pada Remaja dan Implikasinya terhadap Pelayanan Bimbingan dan Konseling. Jurnal Neokonseling, 1(1), 1–5. https://doi.org/10.24036/0096kons2019

Warapsari, D.(2020). Crowdfunding sebagai Bentuk Budaya Partisipatif pada Era Konvergensi Media: Kampanye#BersamaLawanCorona (Kitabisa.com). Avant Grande, 8(1), 1-19.

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0811-2564-888
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.