Teknologi merupakan bukti bahwa dunia ini terus mengalami perkembangan dan perubahan. Dulu orang harus berjalan jauh demi sebuah pesan singkat dalam sepucuk surat. Kadang memerlukan waktu berminggu-minggu, berbulan-bulan dan bahkan bertahun-tahun agar dapat sampai ke tujuan seperti kisah perdagangan laut bangsa Eropa ke dunia Timur. Kini, perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang pesat menyebabkan batas-batas dunia menjadi kabur dan nyaris tidak dapat dirasakan lagi.
Perkembangan lebih lanjut, teknologi kini tidak hanya dimanfaatkan sebagaimana esensi sebuah alat diciptakan, namun kini paradigma teknologi yang mampu mempermudah kehidupan manusia sudah bergeser ke arah lain dan cenderung tidak dipandang secara substansi melainkan pragmatis emotif atau kegunaan belaka. Dengan kata lain, teknologi hanya digunakan sebagai alat untuk memuaskan hasrat kesenangan saja.
Berbicara mengenai teknologi, sepertinya generasi muda Indonesia sekarang atau bahasa trend yang kini viral adalah “kids zaman now”, sudah tidak asing ketika mendengar teknologi. Bagaimana tidak, rata-rata generasi muda Indonesia lahir dimana era yang kini dikenal dengan information age atau era digital berkembang dengan pesatnya. Seorang balita pun kini sudah akrab dengan gadget, bahkan orang tuanya pun kalah dengan kepintaran anak dalam hal penggunaan teknologi.
Sayangnya, kurang bijak dalam penggunaan teknologi dapat berdampak buruk bagi pengguna teknologi itu sendiri. Terdapat sebuah kasus yang baru-baru ini menjadi perhatian media akibat tidak bijak dalam menggunakan teknologi. Salah satunya adalah kasus dua orang anak yang dikirimkan ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) oleh orang tuanya.
Kasus tersebut muncul di daerah di Provinsi Jawa Timur, tepatnya di Bondowoso. Usut punya usut, dua anak yang masih mengenyam pendidikan di Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) itu diduga mengalami gangguan mental akibat kecanduan game online dan sering mengamuk ketika gadget yang sering ia gunakan disembunyikan atau diamankan oleh sanak keluarganya.
Sangat menyedihkan dan juga sangat disayangkan jika pemuda tersebut harus dikirim ke RSJ hanya karena gangguan mental akibat kecanduan permainan game online. Namun, apa dikata, hanya itulah yang bisa dilakukan orang tua tersebut, untuk mencegah orang didekatnya terluka dan segera menyembuhkan gangguan mentalnya. Dokter yang menangani kasus tersebut, dr. Dewi Prisca mengungkapkan bahwa perlu satu bulan untuk menangani kasus tersebut, itupun dibantu oleh ibunya yang sengaja cuti demi kesembuhan anaknya. Bayangkan jika orang tuanya masih tekun bekerja dan tidak mengindahkan usulan dokter.
Fenomena ini menarik mengingat ini bukanlah kasus yang pertama terjadi di Indonesia. Sudah banyak kasus yang pernah terjadi di Indonesia yang berhubungan dengan gadget dan game online. Seperti aksi pencurian motor demi bermain game online di warnet dan bahkan dalam beberapa kasus menyebabkan kematian akibat perilaku tidak bijak pemain game online dan pecandu gadget. Memang itu adalah hak yang bisa dijadikan kambing hitam dalam setiap kejadian. Namun, pada kasus ini, kebijaksanaan dan kedewasaan dari diri sendiri dan pengawasan dari orang tua serta orang-orang terdekat sangat diperlukan bagi seorang anak.
Dalam kasus yang terjadi di Bondowoso, pada awalnya orang tua membelikan gadget dan laptop guna keperluan pendidikan di sekolahnya, bahkan sekolahnya sendiri yang secara tidak langsung menuntut anak tersebut membeli laptop guna mempermudah penyelesaian tugas. Pada awalnya baik-baik saja, namun lama kelamaan, itikad tidak baik mulai muncul, dari berbohong sudah mengerjakan tugas padahal tidak, mulai bolos sekolah, dan akhirnya seperti yang terjadi sekarang. Prestasi di sekolahnya pun mulai turun drastis. Peneliti dari Ohio State University, Buente dan Robbin (2008) mengungkapkan bahwa internet dapat membuat nilai seorang pelajar menurun.
Selain itu, menurut penuturan dari seorang psikolog, kesibukan orang tua hingga lalai untuk memberikan perhatian kepada anaknya akan memicu sang anak untuk mencari pelampiasan dari kesepiannya kepada hal yang lain, dan saah satunya adalah gadget. Bahkan penulis merasa, bahwa ini berlaku untuk semua jenis biang permasalahan anak muda yang ada di Indonesia.
Bisa jadi, karena alasan “keterpurukan ekonomi” dan perlunya menutupi kekurangan tersebut. Orang tua harus bekerja dan melanjutkan kehidupanya. Secara tidak langsung, hal ini melepaskan atau membagi dua pengawasan dan perhatian orang tua kepada anaknya. Dan inilah yang terjadi di sekitar kita. Sebagai gantinya, orang tua menyerahkan sepenuhnya tugas tersebut pada asisten rumah tangga, pengasuh, teman, guru, bahkan gadget. Sebagai contoh, seorang balita yang menangis diberikan sebuah gadget untuk menghentikan tangisannya dan parahnya itu berhasil sehingga dijadikan kebiasaan. Padahal, Astidtuen, seorang psikolog dan ahli kejiwaan mengungkapkan bahwa seharunya anak yang menangis harus dipeluk oleh orang tuanya agar menimbulkan rasa nyaman di hati anak tersebut. Jika sudah seperti ini bagaimana lagi.
Oleh karena itu, kontrol diri sangat diperlukan guna menahan dorongan seseorang dalam bertindak. Borba (2008) mengatakan bahwa kontrol diri adalah kemampuan mengendalikan perasaan, pikiran dan tindakan agar dapat menahan dorongan dari dalam maupun luar sehingga seseorang mampu bertindak dengan benar. Kontrol diri tersebut dapat digunakan dengan pemanfaatan waktu secara produktif atau sibuk dengan kegiatan produktif dan pengembangan hobi. Dalam kasus ini, dorongan motivasi sangat diperlukan baik dari dalam maupun luar.
Selain itu, hal terpenting yang menjadi fokus utama dalam kasus di atas adalah pengawasan serta perhatian orang tua. Orang tua harus bijak dalam memberikan yang terbaik kepada anak, bukan berarti menyerahkan segalanya kepada apapun termasuk orang lain, karena sejatinya peran orang tua dalam kehidupan seorang anak bagaimana pun tidak dapat digantikan oleh sebuah mesin dengan kecanggihannya. Enstein pernah mengungkapkan, “It has become appallingly obvious that our technology has exceeded our humanity”. Kini terjadi, teknologi melampui sisi kemanusiaan.
Penguatan jiwa dengan pendekatan religius (berlaku bagi semua penganut). Pendekatan religius sejauh ini menjadi cara terbaik yang dapat menjaga seseorang dari perbuatan tidak bijak. Pada hakikatnya, agama adalah sebuah aturan yang pasti begitu pula dengan pelaksanaan ibadahnya. Maka, mendekati agama dan mempelajarinya diharapkan dapat menumbuhkan sikap bijak dan mewujudkan kesehatan jiwa yang baik dan damai. Semua ini terjadi karena agama selalu dipandang sebelah mata dan tidak jarang menampikan keberadaannya walau itu ada di hati kita. Maka, keluarga sangat berperan dalam menumbuhkan jiwa religius terhadap anak, karena kebaikannya tidak hanya untuk anaknya, keluarganya, bahkan dirinya. Tidak akan rugi jika seseorang belajar agama, yang ada adalah dia akan tersesat tanpa agama, seperti halnya teknologi yang tidak digunakan secara bijak akan menampikan sisi manusia dari manusia itu sendiri.
Demikianlah pemaparan yang dapat disampaikan, sejatinya semua pihak berkewajiban untuk saling menjaga dan melindungi, dalam hal ini peran orang tua dalam mengawasi dan mencurahkan kasih sayang pada anak-anaknya sangat diperlukan. Uang tidak akan mampu menggantikan kasih sayang dan tak pula membeli kebahagian, anak membutuhkan orang tua begitu juga orang tua menyayangi anaknya. Semua harus saling melengkapi. Seseorang yang sudah menjadi budak dari teknologi sama halnya orang yang kecanduan narkoba dan sulit dilepaskan dan itu memang penulis dan mungkin sebagian pembaca rasakan tapi inilah kenyataannya. Sehingga langkah terbaik yang dapat dilakukan adalah kontrol diri dan bijak dalam berteknologi.
SIDIK PERMANA
Mahasiswa PPKn Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung
Komentar ditutup.