Ciptakan Kedamaian dengan Budaya Toleransi

Di atas kertas, kita selalu menggadang-gadang bahwa kita adalah bangsa yang toleran. Tidak ada yang salah jika kita menggadang bangsa kita sebagai bangsa yang toleran karena dasar negara kita sendiri adalah Pancasila.

Konstitusi negara kita adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bentuk negara kita adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dan yang jelas semboyan negara kita adalah Bhineka Tunggal Ika yang artinya meskipun berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Jadi toleransi adalah amanat dari para pendiri bangsa.

Arti kata toleransi sendiri adalah suatu sikap saling menghormati dan menghargai antar kelompok ataupun antar individu dalam bermasyarakat, atau dalam lingkup lainnya. Salah satu toleransi yang sering menjadi perbincangan hangat adalah toleransi beragama, entah itu toleransi positif maupun toleransi negatif.

Bacaan Lainnya

Namun sayangnya, sejauh ini lebih sering terjadi kasus-kasus memprihatinkan terkait kurangnya toleransi beragama. Hal ini terjadi karena kurangnya rasa toleransi yang tersemat dalam hati masing-masing manusia.

Sering terjadi kasus-kasus pertengkaran dan keributan yang terjadi hanya karena perbedaaan pandangan dalam hal keyakinan. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya kasus intoleransi beragama di Indonesia sepanjang tahun 2018.

Beberapa kasus intoleransi beragama di tahun 2018 yang cukup memprihatinkan di antaranya yaitu penyerangan terhadap ulama yang menimpa seorang kiai di Lamongan bernama Abdul Hakam Mubarok pada Ahad.

Korban yang merupakan pengasuh Pondok Karangasem Paciran Lamongan tersebut diserang oleh seorang pria yang berlagak gila. Namun, saksi mata yang berada di lokasi mengatakan bahwa tampilan pelaku tak seperti orang gila karena tak tampak kumal. Bahkan, gigi dan baju yang dipakainya tampak bersih. Yang lebih janggal, pelaku diketahui sudah mondar-mandir di lokasi sejak beberapa hari sebelumnya.

Kasus lain juga terjadi di Lumajang. Terjadi perusakan pura di Lumajang di daerah Senduro oleh orang yang tak dikenal. Pelaku menghancurkan setidaknya 3 arca di pura tersebut. Dan pada hari yang sama terjadi pula perusakan pura di Lamongan.

Kasus selanjutnya terjadi di Yogyakarta. Seorang pemuda bersenjata pedang menyerang jemaat di Gereja Santa Lidwina, Desa Trihanggo, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Peristiwa ini menyebabkan Romo Prier dan dua jemaatnya serta seorang polisi mengalami luka berat akibat sabetan senjata tajam. Pelaku asal Banyuwangi, Jawa Timur itu akhirnya dilumpuhkan polisi dengan senjata api di bagian kaki dan perut.

Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyebutkan, pelaku diduga terpengaruh radikalisme hingga melakukan aksi penyerangan ke tempat ibadah. Dia pernah tinggal di Poso dan Magelang. Dia juga pernah membuat paspor untuk pergi ke Suriah, tapi gagal.

Kasus-kasus diatas hanyalah sebagian kecil dari kasus intoleransi beragama di Indonesia. Hal ini membuktikan bahwa tingkat toleransi beragama di Indonesia masih sangat memprihatinkan. Kasus-kasus semacam itu tentunya tidak bisa dan tidak boleh kita biarkan begitu saja.

Harus ada langkah-langkah untuk memperbaikinya. Langkah yang paling utama dan pertama yang bisa kita lakukan yaitu dengan memulai dari diri kita sendiri. Kita bisa membawa diri kita untuk saling menghargai sesama.

Jika hidup saling menghargai atas apa yang menjadi keyakinan masing-masing, pastilah alam ini lebih memanjakan diri pada sang penjaganya (khalifah). Dengan manusia-manusia hidup secara rukun dan saling membantu satu sama lain, maka akan mempererat tali silatuhrrahim yang memperpanjang usia hidup damai.

Sebagaimana kutipan yang dikatakan mantan Pemimpin Negara Republik Indonesia yang ke-empat, KH. Abdurrahman Wahid bahwa “Tidak penting apapun agama atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak tanya apa agamamu.

Cukuplah urusan ibadahmu menjadi rahasia besar dirimu dengan hubungan vertikalmu (hablunminallah), adapun jika seseorang mengetahui rahasiamu dengan membanggakan kebaikan agamamu maka anggaplah itu sebuah bonus yang diberikan kepadamu atas dasar hubungan horizontalmu (hablunminannas).

Retno Palupi
Mahasiswa Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan
Universitas Negeri Semarang

Baca juga:
Benarkah Guru Muslim di Indonesia, Intoleran?
Krisis Pendidikan Karakter, Hanya Sebatas Nilai Sikap
Pendidikan yang Memanusiakan Manusia

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0811-2564-888
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.