Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) merupakan sebuah perundingan yang melibatkan beberapa negara di dunia di mana negara-negara tersebut adalah negara anggota dari Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (DK PBB).
JCPOA itu sendiri merupakan kesepakatan yang telah dinegosiasikan antara negara-negara anggota PBB dengan tujuan untuk memastikan adanya kepemilikan program nuklir di Iran dapat berlangsung dengan damai pun menghilangkan sanksi pelanggaran hukum internasional atas kepemilikan senjata nuklir pada sebuah negara berdasarkan mandat yang diberikan oleh PBB, Amerika Serikat, serta Uni Eropa.
Dalam perundingan JCPOA sendiri, Amerika Serikat menekankan kepada Iran bahwa kepemilikan senjata nuklir dipastikan tidak akan terwujud, dengan demikian Amerika Serikat melakukan segala upaya untuk menggagalkan program kepemilikan nuklir Iran dalam berbagai aspek.
Baca Juga: Dinamika Arab Israel Pasca Arab Spring
Selain itu, pada proses negosiasi aktor-aktor internasional mengenai program JCPOA mengakibatkan konflik yang berkesinambungan terhadap dunia internasional dalam aktivitas hubungan internasional bersama Iran yang mana membawa hubungan internasional menjadi tumpang tindih serta mengakibatkan dampak antar sesama negara-negara anggota PBB menjadi rawan konflik.
Di samping itu, perundingan JCPOA yang dimandatkan oleh PBB menghantarkan asumsi dari negara-negara anggota PBB tersebut sebagai ‘balance of power’. (Morgenthau, 1964). Balance of Power sendiri merupakan sebuah teori dalam hubungan internasional mengenai beberapa negara yang memiliki konflik untuk berlomba-lomba dalam mendominasi dunia dalam aspek keamanan serta kemampuan militer.
Oleh karena itu, Amerika Serikat menganggap perundingan JCPOA yang berdasarkan wewenang PBB merupakan suatu kebijakan yang hanya menguntungkan sebelah pihak dan percaya bahwa keinginan Iran atas pemilikan persenjataan nuklir menjadi ancaman bagi aspek keamanan.
Adapun, negara-negara anggota PBB yang terlibat dalam perundingan JCPOA pada tahun 2015 yakni, dari Iran, Amerika Serikat, Rusia, Prancis, Inggris, China, dan Jerman. Namun, sebuah konflik yang mengatas namakan ‘dilema keamanan’ yang dilakukan oleh presiden Amerika Serikat Donald Trump resmi menarik Amerika Serikat secara sepihak dari perundingan JCPOA tersebut.
Baca Juga: Sejarah Penemuan Minyak di Arab Saudi dan Dampaknya
Selain itu, Amerika Serikat bersikukuh untuk mempengaruhi negara-negara sekutu untuk memboikot Iran mengenai kuatnya pendirian Iran atas kepemilikan senjata nuklir tersebut. Oleh karena itu, dalam perundingan JCPOA, PBB menegaskan perizinan kepemilikan senjata nuklir Iran namun adanya batasan dalam penggunaan fasilitas-fasilitasnya.
Dalam hasil kesepakatan yang telah ditetapkan oleh PBB, Amerika Serikat menolak mentah-mentah dan tetap bersikukuh untuk mencabut negaranya dalam perundingan JCPOA dan menjatuhkan kembali sanksi berat kepada Iran atas pelanggaran yang terukir dalam hukum internasional.
Adanya keputusan yang diambil oleh Trump kian menjadi perdebatan bahkan menuai kecaman dari banyak pihak dunia internasional, khususnya Uni Eropa. Pasalnya, ketidakterlibatan Amerika Serikat pada JCPOA tersebut, di prediksi akan memiliki dampak pada aspek-aspek kerjasama internasional, tak terkecuali investasi kilang minyak pada Kawasan Timur Tengah.
Terlebih lagi, Timur Tengah merupakan Kawasan yang sangat rapuh dalam kerjasama internasional sehingga cenderung menghadirkan konflik antar sesama negara Timur Tengah. Selain itu, keluarnya Amerika Serikat dari perundingan JCPOA yang mengatas namakan dilema keamanan, namun sebaliknya merupakan propaganda atau strategi untuk mengintervensi kawasan Timur Tengah dan mendominasi kepemimpinan negara-negara tersebut, terkecuali Iran.
Baca Juga: Kelompok Kurdi Syiah, Sunni, Asyur, Suku Arab di Irak, Maslawi
Dalam situasi yang kian memanas serta konflik besar-besaran di kawasan Timur Tengah menjadikan sistem politik negara-negara tersebut menjadi tidak stabil, sehingga Amerika Serikat menggunakan situasi tersebut untuk mengambil keuntungan bagi negaranya juga mempengaruhi negara-negara tersebut untuk melihat Iran sebagai musuh bagi kawasan Timur Tengah.
Oleh karena itu, dalam pengaruh Amerika Serikat, negara-negara Timur Tengah merasa perlu meningkatkan keamanan negaranya atas nama ancaman eksternal dari Iran yang memiliki kepemilikan senjata nuklir. Terlebih lagi, keberhasilan pengaruh Amerika Serikat dan dominasinya terhadap negara-negara di Timur Tengah menjadikan Iran yang mengakibatkan segala ketidakstabilan tersebut, yang mana dewan keamanan PBB menganggap hal yang sama sehingga berupaya mencabut perizinan kepemilikan senjata nuklir Iran.
Adapun kesuksesan pengaruh Amerika Serikat dalam menggagalkan Iran memiliki senjata nuklir dalam perundingan JCPOA menginginkan kembali adanya keuntungan besar sehingga mengekspos kekurangan perundingan tersebut dalam mengkaji peran Iran yang dianggap menjadi kekuatan yang tidak stabil.
Azka Zenylda
Mahasiswa Universitas Al-Azhar Indonesia
Editor: Diana Pratiwi