Unram: Antara Tukar Guling SPI, Uang Pangkal dan “Sense Of Justice” Yang Tergadai

Saban hari, disebuah media massa, kulihat judul berita bagus sekali. “Unram Menghapus Reguler Sore, Wujudkan Keadilan Pendidikan”. Selain enak dibaca, mahasiswa reguler sore pasti berkaca-kaca membaca berita tersebut. “Berarti Reguler Sore tanda dan bukti ketidakadilan pendidikan” pikirku kala itu. Tetap saja harus disyukuri, ternyata Unram mengakui ada ketidakadilan sistemik, dan bertekad menebus (menghapus) untuk menghadirkan rasa keadilan. Saya tulis dengan bangga di media massa “Terima kasih Unramku”.

Saya mahasiswa reguler sore, masuk lewat jalur mandiri tahun 2015. Kala itu Sumbangan Pembangunan Institusi (SPI) sebanyak Rp 3.000.000 dan SPP sebanyak Rp 2.750.000. Keseluruhannya dibayar tunai Rp 5.750.000. Berlaku untuk semua yang senasib (jalur mandiri) SPP dibayar tiap semester (tak boleh terlambat dari jadwal) sedang SPI untuk sekali saja, semasa kuliah. Setahu saya kala itu semua mahasiswa hukum (reguler sore) yang masuk jalur mandiri dipukul rata. Tanpa memperhatikan ekonomi mahasiswa.

Sedangkan untuk mahasiswa jalur Seleksi Nasional Masuk Perguran Tinggi Negeri (SNMPTN) dan Seleksi Bersama Mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) tidak membayar SPI. Hanya dibebankan Biaya Kuliah Tunggal (BKT) dan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Dengan menggunakan sistem grade (subsidi silang). Mencermati dua fakta perbedaan tajam pembayaran kuliah menurut jenis masuk jalur diatas, saya menyimpulkan mahasiswa reguler sore unram mengalami ketidakadilan pendidikan. Sementara dihapusnya iyalah bukti keadilan. Keadilan Dunia Pendidikan. Seperti yang dijadikan dalil Penghapusan Reguler Sore oleh Unram.

Bacaan Lainnya
DONASI

Mahasiswa jalur SNMPTN dan SBMPTN hanya dibebankan UKT dengan memperhatikan grade. Grade ditentukan berdasarkan kondisi ekonomi mahasiswa. Dengan hitungan sederhana, yang kaya membantu yang miskin. Sebab memberi beban yang sama berat pada punggung yang berbeda daya tampung jelaslah ketidakadilan. Sebagaimana memberikan muatan yang sama pada punggung yang berbeda. Bila lebih jauh bongkar diskursus filosofis seperti yang dilakukan Aristoteles, yang membagi dua jenis keadilan. Keadilan distributif dan Keadilan Komutatif. Dimana dalam keadilan distributif bahwa adil iyalah keberimbangan, sementara komutatif iyalah persamaan. Komutatif inilah yang terlembagaka dalam doktrin negara komunis “sama rata-sama rasa”. Bukankah negara kita Pancasila?

Tahun 2015, 2016, 2017, 2018 sebelum diterapkan uang pangkal pada tahun 2019 saya belum tahu bahwa penetuan SPI dipukul rata untuk mahasiswa reguler sore. Seperti yang kami alami angkatan 2015 (Jalur Mandiri) Sesuai ketentuan Permendrisekdikti No. 39 Tahun 2017 pasal 8 ayat 1, 2, dan 3 yang mengatakan:

1) PTN dapat memungut uang pangkal dan/ atau pungutan lain selain UKT dari mahasiswa baru Program Diplolama dan Program Sarjana bagi:
a. mahasiswa asing;
b. mahasiswa kelas internasional;
c. mahasiswa melalui jalur kerja sama; dan/atau
d. mahasiswa yang melalui seleksi jalur mandiri.
2) Uang pangkal dan/atau pungutan lain selain UKT yang dikenakan kepada mahasiswa baru program diploma dan program sarjana yang melalui seleksi jalur mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d tetap memperhatikan kemampuan ekonomi mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya.
3) Jumlah mahasiswa baru program Diploma dan Program sarjana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling banyak 30 persen dari keseluruhan mahasiswa baru.

Penjelasan Panjang Dr. Kurniawan Ahmad Wakil Rektor II dalam ulasan status facebooknya (23/6) yang saya baca kata per katanya dengan baik, sungguh mencerahkan. Uang Pangkal, yang kami kenal dengan sebutan SPI (sebelum tukar guling) dengan Uang Pangkal dijelaskan secara detail, lengkap dengan dalil hukum dan metodeloginya.

Pertama-tama diterangkan jumlah penerimaan mahasiswa baru Unram 2019 yang jumlahnya 7.390 (tujuh ribu tiga ratus sembilan puluh) dari semua jalur (S1, S2, S3, D3 dan Program Vokasi KLU & Bima). Dijelaskan lebih lanjut dari 7.390 mahasiswa baru Unram bahwa pendidikan S1 dari semua jalur (SNMPTN, SBMPTN, Mandiri) sebanyak 5.850 mahasiswa. Dengan presentasi SNMPTN 20 persen (1.462, 5) SBMPTN 50 persen (2925) dan mandiri sebanyak 30 persen (935). Sedang sisanya 1.540 iyalah untuk kategori S2, S3, D3 dan Program Vokasi.

WR II juga menyajikan contoh rumus, cara memungut uang pangkal berdasarkan ketentuan Permenrisekdikti.
Fakultas Hukum Unram tahun 2019 menerima 600 mahasiswa baru, dengan rumus 30 persen yang dibebankan uang pangkal, maka 180 orang yang akan membayar dengan rumus perhitungan 600x30persen= 180 orang. Apakah 30 persen yang dipungut uang pangkal dari semua mahasiswa baru unram dari semua jalur? Ataukah dari semua mahasiswa jalur mandiri ditiap fakultas 30 persen saja yang dipungut uang pangkal entahlah…?

Baik Teks Buruk di Konteks

Problem SPI yang bertransformasi dengan uang pangkal sebenarnya sangat baik dalam teks. Teks Permerisekdikti. Sayang konteks buruk dilapangan. Penulis ingin menuturkan bahwasanya tak perlu cengeng soal aspek regulasi, baca baik-baik ketentuannya, kita akan cepat memahami. Realisasi aturan main inilah yang bermasalah.

Penulis ingin memaparkan jawaban dari contoh rumus dari Wakil Rektor II Unram bahwa tahun 2015 di Fakultas Hukum Unram (jalur mandiri) uang SPI dipukul rata Tiga Juta Rupiah per mahasiawa. Saya menduga itu juga terjadi ditahun-tahun sebelum uang pangkal diberlakukan. Tak pedulilah Unram dengan kondisi ekonomi mahasiswa, tak peduli 30 persen dari jumlah mahasiswa baru. Itupun bila tafsirnya 30 persen mahasiswa mandiri dipungut uang pangkal iyalah semua mahasiswa baru dari tiga jalur. Maka tepatlah rumusnya. Karena memang hanya 30 persen saja mahasiswa mandiri ditiap fakultas dari semua jalur penerimaan. Clear…!

Tanyakan pada semua mahasiswa mandiri mulai tahun 2015 sampai tahun 2018 apakah mereka berbeda tarif membayar uang SPI…? saya pikir sama saja. Tanpa ada perbedaan dengan memperhatikan kondisi ekonomi mahasiswa, orang tua mahasiswa, dan pihak yang membiayai kuliahnya.

Guling pun diotak atik lalu ditukar posisinya, SPI tak terpakai lagi, sedang mahasiswa mulai dihebobkan dengan kewajiban membayar uang pangkal. Uang pangkal yang sangat luar biasa besarnya. Dibanding dengan SPI tahun-tahun lalu. Padahal tak ada perbedaan eksplisit antara SPI dan Uang Pangkal. Masalah pokok terabaikan. Ketidakadilan tak kunjung diredam.

Di Fakultas Ekonomi dan Bisnis uang pangkal dipatok Rp 3-15 juta; Fakultas Hukum: Rp 9,5 juta; Fakultas Pertanian: Rp 4-4,5 juta; Fakultas Peternakan: Rp 2-3 juta; FKIP: Rp 4 juta; Fakultas Tekhnik: Rp 8-15 juta; Fakultas Matematika dan IPA: Rp 4,5 juta; Fakultas Kedokteran: Rp 30-ratusan juta; Fatepa: Rp 4 juta; bahkan sampai Prodi di bawah Rektor: Rp 8 juta (Website Unram). Dan anehnya Universitas Mataram berpikir spekulatif, bahwa indikator ekonomi mahasiswa ditiap fakultas ditahun 2018 dijadikan dalil untuk menentukan jumlah uang pangkal tahun 2019. Ajaib. Sudahkah Kampus benar-benar teliti mengukur dan meninjau secara objektif kondisi ekonomi mahasiswa 2018 hingga kepedean memukul rata besaran dengan penerapan pangkal ditahun 2019? Aneh.

Uang pangkal dipatok dengan spekulasi ekonomi mahasiswa terdahulu, padahal wajah-wajah mahasiswa yang kuliah diunram belum diindentifikasi kondisinya. Lalu bagaimana relevansinya dengan penghapusan reguler sore demi keadilan pendidikan yang digemborkan mau diwujudkan. Bukankah dengan dihapusnya reguler sore berarti mahasiswa yang mengikuti jalur mandiri akan menggunakan sistem grade untuk tahun 2019. Saya pikir biarlah “sisa ketidakadilan” ditanggung mahasiswa mandiri sebelum tahun2019 yang menurut hukum dan keadilan ‘tak berlaku surut’. Hingga masih menggunakan logika keadilan ‘sama rata, sama rasa’.

Saya kira kampus harus menghentikan lelucon demi keadilan tapi mengabaikan rasa keadilan. Bila serius bangun diskursus keadilan uang pangkal ini dihapuskan saja! Itupun bila Unram tak mengerti cara memberi beban yang berbeda pada punggung yang berbeda. Jangan daya tampung berbeda, bebannya sama. Itu ketidakadilan.

Tergadainya Keadilan Pendikan dan Cara Mahasiswa Unram Menjawab

Hari-hari yang pelik, tak membuat mahasiswa unram ‘mendiamkan’ masalah. Penulis sendiri menyaksikan bagaimana status WA, Facebook, opini, bahkan ‘nyiyiran’ ramai di media sosial. Seperti menandakan bahwa ketidakadilan sudah akut, dan bendera perlawanan harus dibunyikan. Senafas dengan bertahannya “Demonstrasi” sebagai diskursus pamungkas mahasiswa dalam meneguhkan sikap. Demonstrasi mutlak harus dilakukan, sebab audensi seperti menunjukan sikap kompromi yang perlahan terabaikan juga. Tak tersisa, tak mempan.

Satu per satu isue kampus dilumat dalam diskusi. Offline pun online. Beramai-beramailah dikupas. Mulai soal Gerbang kampus elektronik sampai soal demokrasi kampus yang dinilai timpang menambah lejatnya diskursus gerakan mahasiswa. BEM, DPM, Jebolan OKP, Ormawa Internal kampus, sampai mahasiswa umum seperti penulis larut dalam rasa keadilan yang tergadai. Nalar dan nurani mulai ngamuk, bosan, dan jenuh, setelah sekian lama ditikam ketidakadilan. Batin mahasiswa pun berkumpul dalam semangat merebut keadilan menggema, KETIDAKADILAN HARUS DILAWAN…! 26 Juni 2019 di Rektorat Unram mahasiswa bebondong-bondong menumpahkan beban ketidakadilan dipunggung masing-masing.

BEM Unram akhirnya memimpin komando, diundanglah semua pihak berhimpun untuk konsilidasi isue, mahasiswa menyambut suka cita, berbondong-bondonglah mahasiswa berkumpul, senin-selasa (24-25) pukul 16.00 Wita dilapangan rektorat unram, rumput hijau, dan tembok kampus jadi saksi bisu “solidnya ketidakadilan” dalam berkumpul menghimpun kekuatan, menyajikan pembelaan nalar, bahwa siapapun punya hak yang sama untuk memperjuangkan keadilan.

Apakah Demonstasi akan meruntuhkan tembok ketidakadilan yang direproduksi mesin kapitalisasi pendidikan raksasa serta menandai lahirnya era baru, bertumbuhnya diskursus demokrasi yang sejuk dilingkungan kampus. Walahualam.

Tapi sejarah selalu bercerita, bahwa ketidadilan apapun namanya harus runtuh, meski terbuka ruang baru untuk ekosistem barunya bertumbuh lagi. Lagi-lagi bukan soal sejauh mana efektif hasilnya gerakan mahasiswa, tapi seberapa banyak proses perjuangan dilakukan, sebab sejarah juga bercerita bahwa tembok otorianisme yang dibalut dengan keserakahan rezim, tank, senjata api, kemarahan TNI dan Polri, dan darah-darah rakyat tumpah ruah, gerakan mahasiswa berhasil menaklukakannya.

Meski harus berdemonstrsi berkali-kali, dengan penajaman isue yang berkelanjutan, didukung solidnya semua instrumen mahasiswa, ditambah dengan menyelesaikan tujuan gerakan dari awal, penulis optimis, ruang-ruang untuk memungut keadilan masih terbuka.

Semoga kita semua rela tertatih-tatih dalam jalan juang. Sisanya alam yang akan menyeleksi kepantasan.

Satria Madisa

Baca juga:
Bosan Audensi, BEM Unram Gelar Konsolidasi Akbar Soroti Polemik UKT dan SPI
Uang Kuliah Tinggi Menjadi Problematik Bagi Mahasiswa
Uang Pangkal Rasa Japrem

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI