Mati karena penyakit atau mati karena kelaparan? Bagai buah simalakama, inilah opsi yang harus dipilih oleh mayoritas warga negara Indonesia saat ini. Menjadi episentrum pandemi Covid-19 se-Asia, salah satu negara dengan penyebaran virus tertinggi di dunia, dan kebijakan-kebijakan yang mengundang perdebatan kontroversial. Itulah negeri kita, negeri yang saat ini bahkan menjadi pusat perhatian badan kesehatan dunia dan negara-negara besar di dunia.
Dengan kondisi yang sedang rumit, pemerintah selalu didorong untuk melakukan sesuatu hal yang signifikan demi kepentingan rakyat, rakyat golongan bawah terutama. Namun, acap kali kebijakan yang dikeluarkan selalu saja melenceng jauh dari sasaran dan target, bahkan sering mengundang perdebatan diantara dua kubu, yang pro dan kontra. Agak miris memang melihat kondisi di negeri ibu pertiwi saat ini. Lalu, kebijakan apa yang dirasa kurang tepat?
Aturan Pembatasan Sosial
Pada awal bulan April, Pemerintah daerah Jakarta telah menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar atau yang lebih dikenal dengan PSBB. Kebijakan ini menyebabkan sekolah di beberapa daerah meliburkan siswa-siswi, baik sekolah dasar sampai perkuliahan. Alangkah baiknya kebijakan ini diiringi dengan adanya sosialisasi terlebih dahulu agar masyarakat tidak mengalami shock terhadap situasi yang terjadi.
Namun, karena kebijakan yg dirasa terburu-buru membuat mayoritas masyarakat menjadi panik dan bahan stok makanan menjadi langka di beberapa tempat perbelanjaan. Setelah dua pekan dari kebijakan tersebut, pemerintah dituntut untuk melakukan lockdown sebagaimana yang telah dilakukan oleh sebagian besar negara di dunia, seperti Cina dan Italia yang telah melakukan aturan lockdown sejak dini.
Dengan alasan perekonomian, pemerintah hanya melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk memberikan sedikit ruang bagi masyarakat untuk bergerak. Apakah kebijakan tersebut sudah tepat? Hal ini tentu tidak dapat ditelan mentah-mentah.
Kebijakan ini dianggap sebagai keputusan setengah hati, membatasi atau membiarkan sebenarnya? Terhitung sejak PSBB dilakukan, jumlah pasien corona meningkat drastis dan mengapa kebijakan PSBB tidak dapat membendung laju angka pasien corona.
Hal ini dikarenakan kebijakan yang kurang selaras yang dijalankan oleh semua pihak yang berkaitan. Contohnya, tidak semua perusahaan melakukan pekerjaan dari rumah dan transportasi umum yang jumlahnya dibatasi malah menjadi sesak penuh oleh penumpang. Bahkan, informasi, tata pelaksanaan, dan protokol kesehatan yang diumumkan oleh pemerintah daerah tidak tersebarkan secara baik. Beberapa hal tersebutlah yang membuat aturan PSBB menjadi kurang efektif.
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) kedua telah diberlakukan sejak tanggal 14 September hingga dua minggu setelahnya (Kompas). Pengumuman yang baru saja dilontarkan oleh gubernur Jakarta, Anies Baswedan, membuat para pelaku di dunia investasi khusunya investor di bursa efek Indonesia menjadi geram.
Secara otomatis, pergerakan harga mayoritas saham menjadi anjlok dikarenakan kebijakan yang dirasa kurang efektif ini. Pasalnya, hal ini sudah berulang untuk kedua kalinya sejak bulan Maret yang membuat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menjadi yang terendah sejak 5 tahun yang lalu. Padahal, jika pemerintah memilih untuk berdiskusi secara transparan kepada para ahli sebelum memutuskan kebijakan, dampak yang ditimbulkan pada sektor investasi tidak akan lebih parah.
Pada bidang UMKM, para pelaku usaha baik mikro usaha maupun makro menjadi pesimis dengan usaha yang sedang dirintis. Pada semester awal 2020, para pelaku usaha telah melewati fase awal dari pandemi corona yang menyebabkan banyak usaha yang ditutup khususnya di sektor pariwisata, konsumsi, dan manufaktur. Terlebih lagi, sebanyak 3,7 juta pekerja di Indonesia menjadi pengangguran (kompas).
Fokus Pemerintah Selama Krisis
Fokus pemerintah pusat yang tidak melakukan lockdown di beberapa tempat adalah untuk mengamankan ekonomi Indonesia dari jurang yang lebih dalam. Kebijakan ini menuai kontra dari ahli epidemiologi yang mengecam keputusan pemerintah karena dianggap tidak serius dalam menangani pandemi. Beberapa ahli ekonomi di Indonesia pun menyambut positif kebijakan ini.
Namun dalam pelaksanaannya, data penyebaran virus corona dianggap tidak transparan dan relevan sehingga hal inilah yang membuat semua orang geram dengan kebijakan-kebijakan yang acap kali dianggap setengah hati.
Jika pemerintah tidak enggan membuka data penyebaran virus secara transparan dan melakukan sosialisasi yang dapat diterima oleh semua kalangan masyarakat, semua orang kemungkinan akan menerima kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Setelahnya, masyarakat diyakini akan mengerti keadaan dan menerima kebijakan yang dibuat oleh pemerintah daerah.
Pada pemberlakuannya, pemerintah menghimbau kepada para pelaku usaha untuk tetap bertahan di masa pandemi agar ekonomi dapat berjalan dengan baik. Namun pada kenyataannya, banyak usaha mikro yang dipaksa tutup demi menghentikan penyebaran virus.
Hal ini membuat masyarakat kecil yang menggantungkan nasib mereka pada usaha kecil-kecilan dan berjualan di ruang publik menjadi korban yang paling menderita disaat masa pandemi kali ini, sudah susah makan rentan terhadap virus pula. Keadaan ini membuat masyarakat tidak mempercayai pemerintah dalam mengatasi pengendalian virus. Acap kali pemerintah dianggap tidak menghiraukan nasib masyarakat miskin.
Bantuan dan Stimulus Ekonomi
Maka dari itu, pemerintah meluncurkan bantuan dan stimulus ekonomi demi menjaga keberlangsungan ekonomi rakyat. Namun pada pelaksanaannya, pertanggal 4 Desember dana yang diserap oleh para pelaku usaha baru terealisasikan sekitar 42,14 persen (CNN Indonesia).
Pada akhir Juni, presiden Jokowi mengungkapkan perasaannya mengenai kinerja pemerintah yang belum memuaskan. Terlebih, ada beberapa kementerian yang belum bekerja secara maksimal untuk mengatasi pandemi. Seharusnya pemimpin negara dapat mengambil keputusan yang tegas dengan memberhentikan atau memberikan sanksi yang tegas kepada Menteri atau jajaran kabinet yang tidak bekerja secara maksimal.
Mirisnya pada awal bulan September, presiden Joko Widodo memberikan mandat bahwa Pilkada tahun 2020 harus tetap dilaksanakan di masa pandemi. Di saat Indonesia menjadi episentrum Covid-19 di dunia, laju penyebaran virus yang meningkat drastis, dan banyak akses kegiatan ditutup, pemerintah malah mengutarakan rencana nya dan akan melakukan Pilkada serentak diakhir tahun 2020. Keputusan ini menjadi ironi tersendiri bagi lika-liku perjalanan pandemi Covid-19 di Indonesia. Ada apa sebenarnya?
Hal yang memprihatinkan lainnya adalah terdapat Undang-Undang, Omnibus Law, yang disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat di masa pandemi. Bukan sesuatu hal yang salah memang terlepas dari isinya. Namun apakah pemerintah tidak memikirkan jika akan banyak orang yang merasa dirugikan akan berdemo dan beramai-ramai untuk mengutarakan suaranya di masa pandemi? Padahal beberapa bulan sebelumnya, banyak masyarakat telah mewanti-wanti disahkannya Undang-Undang tersebut.
Seharusnya pemerintah dapat berpikir dan melakukan sesuatu lebih bijak lagi. Di saat isu kesehatan dan ekonomi menjadi masalah nasional, pemerintah malah secara diam-diam melakukan hal yang tidak selaras dengan solusi membatasi Covid-19. Apakah wakil rakyat telah kehabisan pikiran dan tenaga untuk memberantas isu kesehatan saat ini sehingga pemerintah fokus kepada hal yang sekiranya tidak mempunyai relasi yang kuat dengan isu Covid-19?
Alangkah lebih baiknya, jika wakil rakyat menyuarakan suara rakyat agar pemerintah fokus mengeluarkan kebijakan yang sesuai dengan kondisi saat ini dan mengutamakan rakyat kecil sebagai objek tujuan kebijakan.
Fokus Pemerintah dalam Menghadapi Covid-19
Terdapat beberapa hal yang harusnya diperhatikan oleh pemerintah dalam mengambill kebijakan dimasa pandemi yang sulit saat ini. Akan lebih baik jika fokus pemerintah tidak dipecah menjadi dua hal, ekonomi dan kesehatan. Lebih baik berfokus kepada kesehatan terlebih dahulu kemudian ke sektor ekonomi yang terdampak pandemi.
Hal ini telah dilakukan oleh negara tetangga, yaitu Vietnam. Vietnam telah melakukan lockdown selama dua minggu berturut-turut untuk menekan angka laju pertumbuhan penyebaran Covid-19 di negara itu dan hasilnya memuaskan. Bahkan Badan Kesehatan Dunia (WHO) memberi ganjaran dan pujian positif terhadap negara ini.
Pemerintah di Vietnam ini juga dianggap tegas dengan memberlakukan aturan untuk membatasi warga negara dari maupun luar negeri dan membatasi pergerakan masyarakat dalam kurun waktu tertentu. Seharusnya pemerintah Indonesia harus banyak belajar dari negara tetangga, Vietnam.
Setelah isu kesehatan benar-benar telah reda, di situlah waktu yang tepat untuk memperbaiki ekonomi di negara ini. Tentunya, memperbaikinya akan lebih mudah karena tidak ada rasa khawatir akan terinfeksi atau gelisah saat melakukan kegiatan ekonomi. Selain memfokuskan diri kepada satu masalah, data mengenai pandemi pun harus dikeluarkan secara transparan dan harus didiskusikan oleh semua pihak. Karena pada dasarnya, keterbukaan akan membukakan jalan yang tepat dan kepercayaan antara semua pihak akan menyatukan elemen menjadi satu kesatuan.
Selain itu, stimulus yang dianggarkan oleh negara harusnya dapat diserap lebih efektif dan efisien lagi oleh pemangku jabatan di pemerintahan untuk masyarakat. Bantuan selama pandemi seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan Prakerja harus dialokasikan kepada pihak yang tepat. Satgas yang dibentuk untuk mengatasi Covid-19 seharusnya dituntut untuk mengawasi aliran dana agar sampai tepat sasaran dengan melakukan berlapis-lapis prosedur agar pengawasannya terkendali.
Pemerintah juga dituntut untuk menjadi lebih inovatif demi mengatasi masalah kesehatan, pandemi Covid-19, yaitu mengkampanyekan teknologi sebagai sarana yang fleksibel di masa pandemi dan berdiskusi bersama masyarakat untuk membahas hal yang seharusnya dilakukan. Solusi tersebut diharapkan dapat mencegah polemik dan kontroversial yang akan timbul dikalangan mayoritas Warga Negara Indonesia.
Bambang Tri Atmojo
Mahasiswa Sampoerna University
Editor: Sharfina Alya Dianti
Baca Juga:
Pandemi Corona dan Tindakan Lucu Pemerintah Kita
Gaya Pemerintahan Jokowi di Saat Pandemi Virus Corona
Menuntut Transparansi Pemerintah