Keterbatasan Ruang Demokrasi Indonesia di Masa Pandemi Covid-19

demokrasi indonesia
Gambar: Pixabay.com

Akhir-akhir ini Indonesia mengalami polemik kasus yang begitu rumit. Mulai dari kelalaian pemerintah dalam menyelesaikan penyebaran Covid-19 sampai kepada ketidakadilan hukum yang semakin menjadi-jadi. Hubungan kasus tersebut sangat erat terjadi dengan rusaknya demokrasi Indonesia yang telah dibangun sedemikian rupa sejak berakhirnya Orde Baru. Tetapi, seiring berjalannya tahun, demokrasi Indonesia mengalami penyempitan ruang dalam bersuara maupun dalam perlindungan hak asasi manusia.

Beberapa bulan belakangan, Indonesia seakan-akan memiliki kasus yang begitu menumpuk seperti sampah yang kecil-kecil menjadi bukit bahkan memanas. Hal ini menyebabkan ruang publik mengalami kekacauan dengan akibat rusaknya nama pemerintah. Mulai dari hukum, politik, kesehatan, bahkan sosial semuanya hampir diluar kendali atau diatas kata normal. Teror terhadap diskusi akademik sampai kepada keadilan terhadap kasus Novel Baswedan menyebabkan publik bertanya-tanya tentang esensi demokrasi Indonesia.

Pemerintah seharusnya membuka mata yang tajam terhadap kasus-kasus yang terjadi dalam waktu belakangan. Ruang diskusi belakangan ini seakan tertahan dan keadilan hanya ditatap sebelah mata. Hilangnya peran pemerintah dalam merawat demokrasi akhir-akhir ini menyebabkan semakin pudar pula keakraban warga negara dan merusak nilai demokrasi serta hak asasi manusia.

Bacaan Lainnya

Teror Diskusi Akademik

29 Mei 2020, FH UGM menggelar diskusi ilmiah berjudul “Persoalan Pemecatan Presiden Ditinjau dari Hukum Tata Negara” yang menghadirkan Prof. Dr. Ni’matul Huda, S.H,. M.Hum. yang merupakan Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia sebagai narasumber. Namun, ihwal diskusi tersebut batal. Tidak lama setelah itu, terkuaklah sebuah alasan terhadap pembatalan diskusi ilmiah tersebut. Terlihat pada beberapa sumber yang ada, pembatalan diskusi ilmiah tersebut disebabkan karena adanya teror yang terus dilakukan oleh sekelompok orang yang tidak kenal kepada narasumber dan beberapa orang yang terlibat dalam diskusi tersebut. Terornya bermacam-macam mulai dari menelpon narasumber sampai kepada ancaman akan dibunuh. Aksi teror tersebut mempunyai alasan bahwa dalam diskusi tersebut mengandung unsur makar.

Menurut Rektor Universitas Gadjah Mada, tentu saja aksi-aksi teror tersebut dapat merusak tatanan demokrasi Indonesia dalam hal kebebasan berpendapat. Menurutnya, ini hanya sekedar diskusi ilmiah yang menuntut mahasiswa untuk berpikir lebih aktif terhadap demokrasi dan tidak memprovokasi mahasiswa untuk turun kejalan dan menciptakan suatu aksi untuk menurunkan Presiden. Alhasil, wacana diskusi publik yang dibatalkan telah memasuki proses investigasi kepolisian karena dianggap sebagai bentuk kejahatan.

Aksi teror tentu menyebabkan hilangnya hak warga negara dalam menyampaikan pendapat di ruang publik yang sudah tertera dalam UU yang berupa hak sipil dan politik. Karena dibatasi hak-haknya dalam menyampai sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh warga negara terhadap negara. Menyampaikan opini kepada publik sehingga menciptakan ruang publik yang berwarna. Keterbatasan tersebutlah menyebabkan pertumbuhan demokrasi Indonesia semakin mengarah kekanan-kanakan. Publik ingin demokrasi Indonesia semakin dewasa dipenuhi argumen bukan dengan sentimen.

Hilangnya Keadilan

Dua polisi aktif, Rahmat Kadir dan Ronny Bugis melakukan penyiraman terhadap Novel Baswedan pada 11 April 2017. Kasus yang terkubur hingga tiga tahun tersebut kembali muncul ke permukaan ruang publik. Dua polisi tersebut menjadi kasus yang fenomenal di Indonesia. Sebab, Pengadilan Jakarta lewat Jaksa Penuntut Umum, Fedrik Adhar Syarifuddin menyebutkan pelaku hanya diberikan hukuman satu tahun penjara dengan dalih bahwa penyiraman tersebut didasarkan pada “ketidaksengajaan”. Sontak, kasus yang melibatkan Novel Baswedan, Penyidik KPK panas di area ruang publik. Melihat adanya ketidakadilan tersebut menyatakan bahwa hukum Indonesia semakin hari semakin buruk karena hilangnya perilaku etis dari pengadilan untuk membuktikan pengadilan diciptakan untuk adil terhadap warga negara.

Dari kasus tersebut, Bintang Emon membuat semacam video pendek tentang tanggapan melihat kasus Novel Baswedan yang tidak mengandung unsur injustice. Dalam video tersebut, Bintang Emon menyebutkan kronologis yang disandingkan dengan gelak tawa dan juga sedikit mengkritisi hukum yang ada Indonesia. Video itu viral dalam sosial media seperti Instagram, Twitter, dst. Tidak lama setelah itu terjadi, Bintang Emon, Komedian yang digemari oleh beberapa kalangan mengalami serangan berupa fitnah sebagai pemakai narkoba dan semacamnya. Namun, Emon dalam unggahannya menyertakan surat kesehatan bahwa ia bebas narkoba. Tidak lama setelah itu terjadi, beberapa orang berusaha menyerang Emon dengan beberapa cara yang berbeda.

Hukum yang Seharusnya Adil

Hukum di Indonesia sedang dalam masa kritis. Hukum yang sebenarnya diciptakan untuk dibuat seadil-adilnya. Kini, di polarisasi oleh segelintir elit untuk mencapai kepentingannya. Dalam halnya seperti apa yang terjadi pada Novel Baswedan dan Bintang Emon memperlihatkan bahwa hukum di Indonesia sudah tidak sehat. Selain penyebaran Covid-19, hukum, demokrasi, serta HAM juga ikut sakit. Perlakuan yang sebenarnya harusnya menghasilkan sesuatu  yang adil malah menambah kekacauan pada ruang publik. Buruknya, hal tersebut semakin terus menerus terjadi. Apalagi ditambah dengan adanya identitas yang tersembunyi atau disebut dengan buzzer yang saat ini mengacaukan jalan demokrasi di Indonesia.

Perlu menjadi tinjauan kembali atau dilihat kembali bahwa, kini demokrasi Indonesia sedang sakit. Adanya aksi-teror dengan terbatasnya ruang akademik maupun hilangnya rasa adil dalam ruang publik berupa kasus Novel Baswedan dan Bintang Emon melihat sesuatu yang canggung dalam demokrasi. Di satu sisi Indonesia sedang dilanda dengan penyebaran Covid-19. Namun, disisi lain lain demokrasi Indonesia lah yang dilanda Covid-19. Harusnya ada jawaban yang tegas dari pemerintah atas kasus-kasus yang terjadi belakangan ini agar tidak membuat demokrasi Indonesia harus dibarengi dengan fitnah belakang.

M Habib Pashya
Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia

Baca juga:
Covid-19 Masih Mengancam, DPC GMNI Jepara : Pembelajaran Tatap Muka Masih Riskan
Kepedulian Mahasiswa selama Pandemi Covid-19
Covid-19 Belum Tuntas, Kenapa Bahas RUU HIP?

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0811-2564-888
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.