Pada tahun 2015, UNESCO mencatat minat baca masyarakat Indonesia hanya berkisar 0.001. Artinya dari 1.000 orang hanya satu orang yang suka membaca buku. Rendahnya tingkat literasi ini, secara tidak sadar, memberi pengaruh besar terhadap kualitas bangsa dan negara itu sendiri. Perlu pembiasaan-pembiasaan sejak dini agar minat dan kemampuan tersebut bisa berkembang dengan baik.
Kemampuan literasi awalnya diartikan sebagai kemampuan membaca dan menulis. Tetapi seiring perkembangan zaman, literasi memiliki makna yang lebih luas dan kompleks. Literasi sekarang ini diartikan sebagai kemampuan mengolah informasi, menghitung, dan memahami bacaan atau data.
Berdasarkan hasil studi Program for International Student Assessment (PISA) tahun 2018, Indonesia menempati peringkat 72 dari 78 negara yang disurvei. Nilai kemampuan membaca siswa Indonesia adalah 371, nilai kemampuan matematika sebesar 379, dan nilai sains adalah 396.
Dari data ini dapat diketahui bahwa minat baca siswa Indonesia masih lebih rendah dibandingkan nilai kemampuan lainnya. Padahal, membaca adalah awalan atau pintu gerbang untuk belajar. Minat baca dan literasi yang rendah bisa mengakibatkan hilangnya kebudayaan dan pengetahuan masyarakat tentang warisan para leluhur.
Dampak Rendahnya Literasi
Secara umum, kemampuan literasi yang baik akan menambah pengetahuan dan pengalaman seseorang. Dengan begitu, seseorang akan mudah untuk bekerja dan memiliki pola pikir yang baik dan juga kritis. Budaya literasi akan membantu meningkatkan produktivitas dan kualitas seseorang hingga kemudian membawa pengaruh besar kepada negara.
Bukan hanya berhubungan dengan pendidikan, literasi juga mencakup bidang lain seperti literasi finansial. Itu adalah kemampuan mengelola uang atau literasi digital yang berarti kecakapan dalam menggunakan teknologi dan internet. Sehingga, kemampuan dan keterampilan yang didapat dari literasi juga dapat dikatakan membantu meningkatkan taraf hidup seseorang.
Tingkat literasi yang rendah mengakibatkan kehilangan atau penurunan produktivitas, masalah ekonomi seperti banyaknya pengangguran, tingginya beban biaya kesehatan, kehilangan proses pendidikan baik pada tingkat individu maupun pada tingkat sosial dan terbatasnya hak advokasi akibat rendahnya partisipasi sosial dan politik.
Dampak Kurangnya Literasi di Bidang Kesehatan
Rendahnya tingkat literasi di suatu negara juga bisa memberi dampak di bidang kesehatan. Kemampuan literasi yang rendah juga menyebabkan rendahnya pengetahuan yang didapatkan. Kesadaran tentang pentingnya budaya hidup sehat berawal dari kesadaran masyarakat akan ilmu pengetahuan dan informasi kesehatan yang ada.
Literasi bukan hanya soal membaca, tetapi juga kemampuan untuk mengolah dan menggunakan segenap potensi juga skill yang dimiliki. Dimulai dari ketidaktahuan akan pendidikan seks, rendahnya kemampuan diri, hingga kekurangan ekonomi menjadi penyebab dari banyaknya kehamilan anak di bawah umur dan juga maraknya kasus aborsi.
Di era yang serba digital ini, kemampuan literasi yang mumpuni begitu penting bagi para pekerja. Dari literasi digital hingga literasi finansial, kemampuan ini tidak hanya harus dikuasai golongan pelajar, tetapi juga semua masyarakat karena hal ini bisa dijadikan tolak ukur kualitas diri seseorang.
Bank Dunia mencatat, tingginya kesenjangan di Indonesia saat ini sebagian besar disebabkan kesenjangan keterampilan (skill gap) yang tentunya terjadi karena rendahnya tingkat literasi. Kesenjangan yang ada ini dapat meningkatkan kriminalitas dan juga angka pengangguran yang semakin tinggi. Oleh karena itu, peningkatan budaya literasi di masyarakat begitu diperlukan.
Usaha Pemerintah dan Masyarakat
Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat. Ini berarti, kualitas pendidikan dilihat dari kemampuan membaca dan literasi bangsa.
Pemerintah sudah melakukan berbagai hal untuk membantu meningkatkan minat baca dan literasi masyarakat seperti membeli hak cipta dari penulis buku teks pelajaran untuk kemudian diunggah ke website Kemendikbud. Masyarakat bahkan diizinkan untuk menggandakan atau memperjualbelikan asal tidak melebihi harga eceran tertinggi yang sudah ditetapkan.
Gerakan Indonesia Membaca (GIM)
Adanya program seperti Gerakan Indonesia Membaca (GIM) dan Gerakan Literasi Sekolah di era kepemimpinan Jokowi ini, menyebabkan munculnya perpustakaan-perpustakaan bergerak di tiap daerah di Indonesia yang langsung datang menemui para pembacanya terutama anak-anak. Dengan begini, orang-orang bisa mendapatkan akses yang lebih mudah untuk membaca.
UU No. 43 Tahun 2007 tentang perpustakaan memberikan secercah harapan kepada budaya literasi Indonesia, tetapi implementasi pemerintah masih jauh dari harapan. Seperti kurangnya buku-buku terbitan terbaru yang sesuai dengan kurikulum yang ada, pemerintah semestinya sigap dalam melakukan pengecekan dan menyediakan buku yang dijadikan sumber ajaran secara tepat.
Sangat disayangkan pula, fokus pemerintah saat ini hanya sebatas pada buku pelajaran saja. Padahal, pemerintah memiliki peran untuk mengetahui apa saja jenis buku yang disukai dan dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan begitu, bisa dipastikan apa saja tindakan selanjutnya yang bisa diambil.
Faktor Lain
Mahalnya harga buku bukan pelajaran seperti karya umum, fiksi, sastra, dan yang lainnya dikarenakan harga produksi yang juga mahal tidak bisa dijadikan alasan dibalik rendahnya minat baca dan budaya literasi yang masih rendah. Jika minat baca masyarakat dan juga pemahaman akan harga suatu karya itu tinggi, tidak peduli berapa harga sebuah buku, masyarakat akan tetap membeli.
Tentunya, semua usaha yang sudah diupayakan pemerintah akan menjadi sia-sia jika tidak mendapat dukungan dari seluruh lapisan masyarakat. Siapa saja bisa membantu meningkatkan budaya literasi. Dengan mengajak masyarakat sekelilingnya untuk membaca dan mengingatkan pentingnya mengolah dan memahami informasi yang didapat sebelum menyebarkannya lebih luas guna menghindari terjadi kesalahpahaman di masyarakat.
Dimulai dari lingkungan terkecil yaitu keluarga, pembiasaan-pembiasaan yang dapat meningkatkan budaya literasi seperti membacakan anak buku cerita sebelum tidur. Selain bagus untuk perkembangan otak anak, hal itu juga bisa menumbuhkan rasa cinta anak pada buku dan membaca. Orang tua bisa menyediakan bacaan ringan dan tidak melarang anak untuk membaca buku selain buku pelajaran seperti novel dan komik.
Syifa Maulidah
Mahasiswa Sampoerna University
Editor: Sharfina Alya Dianti
Baca Juga:
Miskinnya Literasi Digital di Era Milenial
Menumbuhkan Semangat Literasi di Kalangan Mahasiswa
Menumbuhkan Budaya Literasi dalam Diri Sendiri