Berbicara soal agama, selain berfungsi sebagai jalan penuntun ummat manusia, agama juga sebagai penuntun penganutnya untuk mencapai ketenangan hidup dan kebahagiaan di dunia maupun kehidupan darul baka. Agama menurut C. Geertz merupakan (1) a system of symbols, (2) yang punya fungsi psikologikal, (3) kultural, (4) sosial, (5) sehingga moods dan motivations itu nampak seolah-olah realistik (Marzali:2016). Namun di era modern ini masyarakat Indonesia khususnya masyarakat perkotaan sudah mulai akrab dengan munculnya produk-produk yang bermuatan komodifikasi agama, yang mana produk-produk ini banyak yang mendominasi dan bisa bersaing dengan pasar global. Artinya, agama yang awalnya berfungsi sebagai cara bertingkah laku, sebagai sistem kepercayaan atau sebagai emosi yang khusus (J. H. Leuba), kini mempunyai pelebaran atau pergeseran fungsi.
Nilai fungsi agama menjadi sebuah komoditas dan agama itu sendiri mengalami proses komodifikasi (Kamim:2017). Seiring berjalannya dinamika zaman, agama seakan-akan tercampuri oleh kekuatan kapitalisme. Hal ini bisa dibuktikan dengan adanya banyak sektor yang menjadikan agama sebagai komoditi. Kapitalisme pun bisa masuk kedalam keagamaan. Komodifikasi agama di Indonesia sebenarnya tidak hanya ada dalam agama Islam, agama lain juga terdapat komodifikasi agama. Contohnya dalam agama Kristen, saat menjelang hari Raya Natal muncullah komoditi-komoditi (produk) yang menjual barang-barang yang digunakan untuk merayakan Natal, boneka pada saat Natal misalnya. Maka proses komodifikasi agama sudah terjadi secara luas dan hal itu terjadi pada hampir semua agama.
Komodifikasi Agama
Fenomena ini disebut sebagai komodifikasi, karena salah satu definisi dari suatu ahli yaitu Pialang. Komodifikasi menurut Pialang adalah sebuah proses menjadikan sesuatu yang sebelumnya bukan komoditi sehingga menjadi komoditi (Sari:2015). Komodifikasi agama yang saat ini tampak pun beragam. Mulai dari gaya berpakaian, karena saat ini mayoritas perempuan Indonesia mengenakan hijab atau kerudung, dari sanalah trend berpakaian muslim menjadi objek komoditi baru dalam dunia fashion Indonesia, belakangan ini pun banyak brand-brand dalam negeri maupun luar negeri yang aktif memasarkan produknya dengan berbagai macam model, mulai dari gaya berpakaian muslim yang trendy hingga yang syar’i. Brand-brand muslim ini juga mengikuti perkembangan trend busana dari masa ke masa, dan menjual produk serta harga yang bervariasi. Selain trend pakaian muslim, peran tokoh agama pun kini telah melebarkan sayap ke dunia bisnis, contohnya bisnis paytren yang dipimpin oleh salah satu Ustadz kondang Nusantara.
Tak kalah dengan ustadz kondang, kini label halal juga menjadi komodifikasi agama era baru. Dimana label halal yang melibatkan peran negara, Majelis Ulama Indonesia(MUI) misalnya. Label halal menjadi suatu hal yang penting dalam industri pangan Indonesia, karena mayoritas masyarakat Indonesia beragama muslim yang lebih mengutamakan kehalalan suatu produk, masyarakat muslim pun percaya bahwa mengkonsumsi makanan atau minuman yang halal akan menunjang kesehatan manusia serta keberkahan dari Allah, sebagaimana yang disampaikan Allah dalam QS An-Nahl ayat 114 yang artinya : “Maka makanlah yang halal lagi baik dari rizki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah”.
Berangkat dari ayat itulah, halal menjadi isu yang sensitif bagi masyarakat, dan pemerintah memiliki tanggung jawab besar dalam melindungi masyarakat atas kehalalan produk yang ada dipasaran. Selain pemerintah, para produsen mempunyai tanggung jawab atas produknya. Majelis Ulama Indonesia (MUI) merupakan Lembaga Pemeriksa Halal, mengatur penyematan sertifikasi halal secara subsansi dalam sebuah produk.
Berdasarkan Undang-undang No. 3 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal bahwa segala produk yang beredar dan diperjual-belikan di Indonesia wajib memiliki sertifikat halal terkecuali produk haram. Dalam hal ini para produsen bisa menguatkan dan menambah kepercayaan konsumen jika memiliki sertifikat halal. Namun pada kenyataannya, membuat sertifikat halal masih jauh dari angan. Karena tidak semua produsen seperti UMKM bisa melakukannya, dan kebijakan untuk membuat sertifikat halal membuat sejumlah UMKM dan pelaku usaha merasa terbebani.
Biaya yang harus dikeluarkan dalam melakukan pembuatan sertifikat halal pun berbeda-beda di tiap daerah, mulai dari Rp. 2,5 juta, Rp. 3 juta bahkan hingga Rp. 10 juta (Thomas:2019). Belum lagi jika melakukan perpanjangan sertifikasi halal sebesarRp. 2,5 juta, masa berlaku 2 tahun laporan berkala per 6 bulan. Angka tersebut bisa lebih besar lagi apabila perusahaan mempunyai jenis produk lebih dari satu dalam sertifikat akan dikenakan biaya tambahan antara Rp. 1,5 juta hingga Rp. 3 juta, berdasarkan SK 04/Dir/LP POM MUI/XI/07.
Selain itu, komodifikasi agama merembak juga ke sektor perbankan yang dinamakan perbankan syariah. Bank syariah adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, yaitu aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan syariah. Bank syariah juga mempunyai keunggulan yang membuat bank syariah banyak diminati masyarakat, yaitu berorientasi pada bagi hasil, ditambah dengan jual beli dan sewa (Yumanita:2005). Hal ini berdasarkan pada keyakinan bahwa bunga mengandung unsur riba yang dilarang oleh agama Islam. Sedangkan pada bank konvensional pada umumnya landasan beroperasinya berlandaskan bunga.
Pada beberapa contoh yang disebutkan di atas hanya sekelumit contoh dari komodifikasi agama. Dan kenyataannya hampir semua sektor sudah tercampuri komodifikasi agama. Agama pada era globalisasi telah memasuki ruang publik, dan mengalami komodifikasi. Disisi lain tidak baik agama dijadikan komoditi, namun dalam pandangan demokrasi hal ini merupakan keniscayaan bahwa kebebasan individu mengekspresikan naik ideologi dan laku manusia merdeka. Kebebasan inilah yang menimbulkan gesekan bagi penikmat kebebasan, lalu semua berteriak untuk keharusan aturan. Sehingga keberadaan pemerintah dan masyarakat menengah moderat menjadi penting dalam rangka menciptakan keseimbangan sosial.
Cara beragama masyarakat modern hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat ibadah individual dimana agama berperan hanya sebagai pemenuhan kebutuhan spiritual belaka, tidak lagi kebutuhan sosial. Seperti yang sudah disebutkan oleh contoh-contoh diatas, agama kini nyatanya nampak terpengaruh oleh kuatnya arus konservatisme. Dimana warga yang menggunakan produk produk hasil komodifikasi agama atau komodifikasi Islam ingin dipandang religius. Hal ini mematahkan argumen sekularisasi sebagai konsekuensi dari adanya demokrasi(Misrawi:2017), nyatanya masyarakat malah menjadikan agama menjadi salah satu pemantik yang penting dalam demokrasi. Karena faktanyaa demokrasi justru melahirkan masyarakat yang ingin dipandang religius. Semua produk atau komoditi yang mengandung komodifikasi agama kian laris dipasaran dan omzet yang didapatkan dari komodifikasi agama mencapai triliunan.
Annisa Kurnia Rahma
Mahasiswa Sosiologi Agama, UIN Sunan Kalijaga 2018
Editor : Muflih Gunawan
Instagram : @bumiputeraa
Daftar Pustaka
Muawanah, R. 2014. http://etheses.uin-malang.ac.id/1194/6/10410066_Bab_2.pdf . Diakses pada 10 Juni 2020.
Marzali, Amri. 2016. “Agama dan Kebudayaan”. http://jurnal.unpad.ac.id/umbara/article/download/9604/4312 . Diakses pada 10 Juni 2020.
Kamim, Anggalih Bayu Muh. 2017. “Bertahan di Tengah Guncangan Komodifikasi Agama”. https://jmf.fisipol.ugm.ac.id/2017/11/bertahan-di-tengah-guncangan-komodifikasi-agama. Diakses pada 11 Juni 2020.
Sari, S.P. 2015. “Komodifikasi Deteksi Convention; Mading 2D & 3D Championship 2014”. http://digilib.uinsby.ac.id/3709/3/BAB%202.pdf . Diakses pada 11 Juni 2020.
Thomas, Vincent Fabian. 2019. “Repotnya Sertifikasi Halal untuk UMKM Seperti Warteg dan RM Padang”. https://tirto.id/repotnya-sertifikasi-halal-untuk-umkm-seperti-warteg-rm-padang-ejyN . Diakses pada 12 Juni 2020.
Yumanita, D. 2005. “Bank Syariah : Gambaran Umum”. https://www.researchgate.net/profile/Ascarya_Ascarya/publication/304783232_Bank_Syariah_Gambaran_Umum/links/577aa9b408ae355e74f073cc.pdf . Diakses pada 12 Juni 2020.
Misrawi, Zuhairi. 2017. “Menakar Bahaya Kapitalisasi Agama”. https://mediaindonesia.com/read/detail/97202-menakar-bahaya-kapitalisasi-agama . Diakses pada 12 Juni 2020.
Baca juga:
Agama dan Kemiskinan: Sistem Filantropi sebagai Solusi Pengentasan Kemiskinan
Akulturasi Budaya dan Agama di Kalimantan Selatan
Pentingnya Beragama